Clara selalu percaya bahwa pernikahannya dengan David adalah segalanya—sampai ia menemukan kenyataan pahit bahwa suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Dikhianati oleh dua orang terdekat, Clara merasakan amarah dan sakit hati yang begitu dalam. Dalam kebingungan dan keputusasaan, ia bertemu kembali dengan Erick, mantan kekasihnya yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Didorong oleh rasa sakit dan keinginan untuk membalas dendam, Clara pun membiarkan dirinya larut dalam hubungan terlarang bersama Erick. Namun, yang awalnya hanya pelarian berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Clara menyadari bahwa cintanya pada Erick tidak pernah benar-benar padam. Ketika David akhirnya menyesali kesalahannya dan memohon kesempatan kedua, Clara dihadapkan pada pilihan sulit: kembali ke suaminya yang menyesal atau mengikuti kata hatinya yang telah jatuh cinta lagi pada Erick. Dalam pergulatan antara cinta, pengkhianatan, dan penebusan, Clara harus menemukan jawaban atas pertanyaan terbesar dalam hidupnya—siapa yang sebenarnya memiliki hatinya? Sebuah kisah penuh emosi tentang kehilangan, penyesalan, dan cinta yang lahir dari luka terdalam. follow akun gn : BalqizAzzahra follow IG author : Fatmawati1472 follow FB author : I'ts cover by : Maya lephtyatie Maysaroh ( FB )
View More🍁🍁🍁
Hujan turun deras di luar, menampar kaca jendela dengan irama yang kacau. Langit malam menghitam pekat, seakan turut menggambarkan suasana hati Clara yang diliputi kekecewaan. Dia berdiri di depan meja makan, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan gemetar yang perlahan merayap ke sekujur tubuhnya. Di hadapannya, David duduk dengan ekspresi kosong, matanya merah, bukan karena tangis, tetapi karena amarah yang dipendam terlalu lama. “David, aku sudah bilang padamu. Aku sudah periksa ke dokter spesialis. Tidak ada yang salah denganku, aku subur. Kita hanya perlu bersabar dan berusaha lebih keras lagi agar bisa punya anak,” suara Clara bergetar, mencoba menjelaskan untuk kesekian kalinya. David menegakkan tubuhnya, menatap istrinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Lima tahun, Clara. Lima tahun kita menikah, dan masih belum ada tanda-tanda. Kamu pikir aku bisa terus bersabar?” Clara menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh. “Bersabarlah, David. Ini bukan salah kita. Kita hanya perlu tetap bersama, berusaha lebih keras dan percaya—” David mendengus, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan kasar. “Percaya? Percaya pada apa? Pada angan-angan kosong? Kamu tahu, Clara, aku lelah. Aku lelah mendengar alasan yang sama berulang kali.” Clara terdiam. Udara di antara mereka menjadi semakin berat. Bukan pertama kalinya mereka bertengkar soal ini. Namun, setiap kali perdebatan terjadi, Clara selalu berharap ada akhir yang berbeda. Harapan yang selalu berakhir dengan kekecewaan. David tetap saja menyalahkannya karena tak kunjung hamil dan memberikan keturunan seperti yang dia inginkan. David berdiri dengan gerakan kasar, meraih jaketnya yang tersampir di sandaran kursi. Clara tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti biasa, setelah pertengkaran mereka mencapai titik tertentu, David akan pergi. Meninggalkannya sendiri dengan perasaan yang menganga lebar. “David, tolong. Jangan pergi.” Suaranya nyaris berbisik, mencoba meraih tangan suaminya. David menepisnya tanpa berpikir dua kali. “Aku mau cari udara segar.” Clara menggeleng, matanya mulai membasah. “Udara segar yang kamu cari ada di dalam bar, bukan?” David tidak menjawab. Dia hanya menatapnya sekilas sebelum membuka pintu dan melangkah keluar, membiarkan udara dingin dan rintik hujan masuk ke dalam rumah mereka. Tanpa menoleh, David menutup pintu dengan keras di belakangnya. Clara tetap berdiri di tempatnya, mendengar deru mobil David yang menjauh. Tangannya mengepal, menahan isak yang akhirnya pecah. Dalam lima tahun pernikahan mereka, inilah yang selalu terjadi. Siklus tanpa akhir. Harapan yang dipatahkan. Cinta yang perlahan berubah menjadi luka. Di luar, hujan terus turun. Suara derasnya seakan berbisik di telinga Clara, menyampaikan kenyataan pahit yang selama ini coba ia hindari. Mungkin, sekeras apa pun ia berusaha, tidak akan ada lagi tempat untuk dirinya di hati David. *** David menyesap birnya perlahan, matanya menatap kosong ke dinding bar yang dipenuhi poster-poster tua. Musik lembut mengalun, tapi tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya dari masalah yang baru saja meledak di rumah. Seperti yang sudah bisa ditebak, perdebatan dengan Clara terjadi lagi. Masalah yang sama, argumen yang berulang, dan emosi yang semakin memuncak. Ia bahkan sudah lupa bagaimana awalnya pertengkaran itu dimulai, tapi ujungnya selalu sama—Clara yang menuduhnya tidak lagi peduli, dan David yang merasa lelah harus selalu membela diri. "Jadi, kali ini apa yang membuatmu kabur ke sini?" suara familiar mengejutkannya. Thomas, sahabatnya sejak kuliah, sudah duduk di sebelahnya tanpa perlu diundang. Pria itu tersenyum kecil sambil melirik bir yang belum habis di tangan David. David menghela napas. "Hal yang sama, Tom. Sepertinya kami memang tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalah ini." Thomas tertawa pendek. "Aku sudah menduga. Clara memang keras kepala. Dan kamu, sahabatku, juga tidak jauh berbeda." David hanya mengangkat bahunya. Ia tahu Thomas tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, ia tak tahu lagi cara untuk menghadapi situasi ini tanpa berakhir dalam pertengkaran yang melelahkan. Thomas mengamati sahabatnya itu dengan tatapan penuh pemahaman. "Kamu tahu, Dav, terkadang kamu hanya perlu mencari hiburan di luar. Sesuatu yang membuat hidupmu sedikit lebih ringan." David menatapnya dengan alis berkerut. "Maksudmu?" Thomas tersenyum, sedikit nakal. "Kekasih gelap, Dav. Kamu butuh seseorang yang bisa membuatmu merasa dihargai lagi. Sesuatu yang berbeda dari rutinitas pernikahan yang membosankan itu." David tertawa kecil, meskipun dalam hatinya ada rasa tidak nyaman yang menggelitik. "Kamu bercanda, kan? Aku tidak mungkin melakukan itu." Thomas mengangkat bahu dengan santai. "Kenapa tidak? Bukan berarti kamu harus meninggalkan Clara. Kamu hanya butuh sesuatu untuk menjaga kewarasanmu. Sesuatu yang bisa membuatmu merasa hidup lagi." David terdiam. Dia tahu Thomas selalu lebih bebas dalam memandang kehidupan, tidak terikat dengan norma-norma yang dianggapnya membosankan. Namun, ide itu terasa begitu asing baginya. Selama ini, meskipun pernikahannya penuh dengan pertengkaran, ia tidak pernah berpikir untuk mencari pelarian dengan cara seperti itu. "Aku mencintai Clara," kata David akhirnya, suaranya lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri. Thomas tertawa pelan. "Aku tidak bilang kamu harus berhenti mencintainya. Aku hanya bilang, kamu butuh sesuatu yang bisa membuatmu merasa lebih baik. Tidak ada yang perlu tahu. Tidak ada yang perlu terluka." David menatap ke dalam gelas birnya, pikirannya berkecamuk. Ia tidak akan pernah mengkhianati Clara, bukan? Tapi di sisi lain, rasa lelah yang semakin menumpuk dalam pernikahan mereka terasa semakin nyata. Apa yang harus ia lakukan? Thomas menepuk pundaknya pelan. "Pikirkan saja, Dav. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebosanan dan pertengkaran yang sama berulang kali." David hanya menghela napas, dia termenung sesaat kemudian mendesis lirih. "Sepertinya aku memang membutuhkan sesuatu yang baru untuk menghibur diri." Bersambung....Tangis bayi menggema di ruang bersalin, disusul suara tangis bahagia dari Clara yang terbaring lemah namun tersenyum lega. Di sampingnya, Erick menggenggam erat tangan sang istri sambil menatap dokter yang membawa seorang bayi mungil dalam selimut biru."Selamat ya, Pak Erick, Bu Clara. Bayi laki-lakinya sehat dan kuat," ucap sang dokter.Erick nyaris tak bisa menahan air matanya saat sang perawat menyerahkan bayi itu ke pelukannya. Jantungnya berdegup cepat, takjub, dan penuh syukur saat menatap wajah kecil yang masih merah namun begitu sempurna.“Dia... luar biasa,” bisik Erick lirih, air mata menetes perlahan dari sudut matanya. “Terima kasih, Clara. Terima kasih banget...”Clara tersenyum lemah namun bahagia. “Akhirnya... dia datang juga ya.”Erick menunduk, menyentuhkan keningnya ke kening sang bayi. “Selamat datang, pangeran kecilku... Radja Pratama.”Clara menoleh pelan. “Kamu sudah siapkan nama?”Erick mengangguk. “Iya. Radja, karena dia pewaris kita. Pratama, karena dia yang
Langkah kaki David terasa berat saat keluar dari lobi hotel, ditemani Agnes yang masih berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kacamata hitam dan masker. Mereka berjalan cepat, seolah dikejar waktu dan rasa malu yang masih menggantung di udara.Namun, nasib berkata lain."David?" suara yang sangat dikenalnya membuat David langsung berhenti melangkah. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Clara bersama Erick—mantan istrinya dan sahabat lama yang kini jadi rekan bisnis.Agnes spontan membeku di sampingnya.Clara tersenyum tipis, pandangannya tajam menyapu dari atas ke bawah. "Kalian berdua... dari dalam hotel?"David segera bersikap tenang. "Kami tidak bersama. Kebetulan saja kami masing-masing ada urusan di hotel ini."Agnes mengangguk cepat, seperti ayam disemprot air. “Iya, benar. Aku... aku ada meeting juga tadi pagi. Sendiri. Bukan sama dia.”Clara mengangkat alis, menyilangkan tangan. “Oh, ya? Tapi kenapa kalian keluar bareng... dan pakai baju yang sama kayak kemarin malam?”David meli
Lampu neon berkedip cepat saat musik berdentum dari segala penjuru ruangan. Aroma alkohol dan parfum mahal bercampur menjadi satu di udara. David duduk di salah satu sofa VIP bersama Deren, asistennya yang paling setia. Gelas demi gelas ditenggak, masing-masing mencoba melupakan kekacauan yang baru saja terjadi dalam hidup David—perceraian dengan Clara, wanita yang dulu ia cintai, dan pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.“Minum lagi, Pak. Lupakan semuanya malam ini,” ujar Deren sambil menyodorkan segelas tequila.David menerima tanpa protes. Wajahnya sudah memerah, pandangannya mulai kabur. Namun rasa kosong di dadanya terasa lebih kuat dari efek alkohol mana pun. Ia tertawa keras tanpa alasan, berusaha mengubur rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantui.Beberapa jam berlalu, mereka berdua benar-benar mabuk. Deren bahkan tak mampu berdiri tegak, sementara David berjalan terhuyung-huyung menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar. Kepalanya berdenyut, dan setiap langkah sepe
Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Zoya berdiri di depan jendela apartemennya, memandang rintik hujan yang membasahi jalanan. Di belakangnya, Danis duduk di sofa dengan ekspresi muram, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi permintaan Zoya. "Aku sudah memutuskan, Danis," suara Zoya terdengar tegas namun lirih. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu." Danis menatapnya lekat, hatinya terasa diremas. "Aku hanya ingin bersamamu dan anak kita, Zoya. Aku merasa lebih dihargai saat bersamamu dibandingkan dengan…" Ia menghentikan kalimatnya, enggan menyebut nama istrinya. Zoya menarik napas dalam. "Danis, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang hubungan yang tidak jelas. Aku tidak mau anak kita tumbuh dalam situasi yang penuh kebohongan dan ketidakpastian. Jika kau ingin berada di sisi kami, selesaikan dulu semuanya. Aku tidak akan menerima separuh hatimu." Danis men
Clara menghela napas panjang saat duduk di teras rumahnya, menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya. Hidupnya terasa lebih damai akhir-akhir ini. Tidak ada lagi gangguan dari Agnes yang selama ini selalu berusaha mengusik ketenangannya. Bahkan, David pun sudah jarang muncul di hadapannya. Semua terasa begitu tenang, begitu sempurna, apalagi dengan kehadiran Erick, suami yang selalu setia di sisinya.Erick muncul dari dalam rumah, membawa segelas jus jeruk dan menyerahkannya kepada Clara. Ia tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil mengelus perut Clara yang semakin membesar."Tidak ada," jawab Clara, tersenyum kecil. "Aku hanya menikmati momen ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasa tenang seperti ini."Erick tersenyum, lalu mencium kening istrinya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita buat hari ini lebih menyenangkan. Bagaimana kalau kita pergi ke kedai jus favoritmu?"Mata Clara berbinar. "Itu ide y
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments