Sore itu langit mendung, udara sedikit pengap. Setelah berkeliling menjajakan buburnya sejak pagi, Nayara memutuskan untuk berhenti sejenak di pelataran taman kota. Ia duduk di bangku yang menghadap air mancur, membelai perutnya yang semakin berat. Bayi di dalam kandungannya bergerak pelan, seolah memberi tanda bahwa ia ikut merasakan kelelahan sang ibu.
“Sebentar lagi kita pulang ya, Nak,” bisiknya lirih sambil tersenyum lembut. Nayara menoleh ke arah keramaian di sisi lain taman. Sebuah mobil hitam mengilap baru saja berhenti di depan restoran mahal yang berdiri mewah di seberang jalan. Dari dalam mobil, turun seorang pria tinggi bersetelan jas, rambutnya tersisir rapi, dan posturnya tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali Nayara melihatnya. Dia Alvano, Langkah Nayara membeku melihat pria itu. Pria itu berjalan tenang, diikuti seorang wanita bergaun krem muda dengan heels tinggi yang mencolok. Wajahnya terlihat berseri-seri, tangannya menggandeng lengan Alvano seolah mereka sepasang kekasih yang sedang dalam momen bahagia. Nayara tak bisa memalingkan wajahnya dari mereka. Matanya terus mengikuti setiap gerakan Alvano, bahkan ketika wanita di sampingnya—Vanya—menyentuh dada pria itu dan tertawa manja, Nayara hanya diam terpaku. Jantungnya berdebar begitu cepat, tapi bukan karena cinta. Bukan pula rindu, melainkan rasa sakit. Sakit yang begitu dalam karena ia tahu—lelaki yang dulu mencintainya, yang memeluknya erat saat badai datang, kini menggenggam tangan wanita lain di depan umum. Tanpa rasa bersalah, tanpa sedikit pun menyadari bahwa dari seberang jalan, seseorang yang mengandung darah dagingnya sedang menatap dengan mata berkaca-kaca. Air matanya tidak jatuh, tapi dadanya terasa sesak. Bahkan saat Vanya menyuapi Alvano sebuah potongan kue dan pria itu tidak menolak tidak pula terlihat terganggu Nayara hanya bisa tersenyum pahit. Nayara sadar diri bahwa dia bukan siapa-siapa lagi. “Jadi selama ini ... ini yang kamu lakukan di balik semua dinginmu itu?” bisiknya dalam hati. “Kamu bilang aku pembohong, kamu usir aku lalu setelah itu kamu biarkan dirimu didekati wanita lain seolah tidak pernah terjadi apa-apa.” Kakinya mulai gemetar. Ia ingin lari, ingin menjauh dari pemandangan yang merobek hatinya itu. Tapi tubuhnya terlalu lelah. Perutnya menegang, tanda kontraksi ringan mulai datang, tapi ia menahannya. Tidak sekarang. Tidak di tempat umum. Dengan susah payah, Nayara berdiri dari bangku taman. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya, dan memutar arah secepat mungkin. Ia tak bisa membiarkan Alvano melihatnya. Tidak sekarang. Tidak seperti ini—dalam keadaan lusuh, hamil besar, dan dipenuhi luka. Ia menyeret langkah, menahan napas agar tak pecah jadi isak. Ia bahkan tak tahu ke mana harus pergi, hingga akhirnya tubuhnya membawanya kembali ke tempat satu-satunya yang bisa ia sebut rumah: kontrakan kecilnya. Pintu kayu usang itu berderit saat ia dorong perlahan. Ia masuk, mengunci pintu, lalu bersandar pada dinding di belakangnya. Nafasnya berat, tangannya refleks menyentuh perut yang kembali terasa kencang. “Tenang ya, Sayang. Mama baik-baik saja,” bisiknya pelan, berusaha menenangkan diri. Tapi air mata yang sempat tertahan akhirnya jatuh juga. Tangisnya pecah di dalam kesunyian kamar sempit itu. Suara isak kecil menggema, tak ada yang mendengar, tak ada yang memeluk. Nayara berjongkok di dekat ranjang tipis, tubuhnya gemetar karena emosi yang meluap tanpa bisa ia tahan lagi. Ia marah, marah pada dirinya sendiri karena masih berharap Alvano akan mencarinya. Marah pada takdir yang mempertemukannya kembali dengan pria itu dalam kondisi seperti ini. Marah karena meskipun sudah dibuang, ia masih mencintai lelaki yang sama. Tangannya meraih selembar selimut dan memeluknya erat, seolah itu adalah pelukan dari seseorang yang tak mungkin datang lagi. “Aku nggak boleh lemah, aku harus kuat buat kamu,” ucapnya lirih sambil memeluk perutnya lagi. Setelah beberapa lama, tangisnya mulai mereda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap tembok kosong di depannya. Wajah Alvano muncul lagi dalam pikirannya. Tatapan datarnya. Sentuhannya yang dulu begitu hangat. Senyumnya yang kini hanya menjadi kenangan. “Kalau kamu benar-benar bahagia sama dia ... aku ikhlas,” katanya pelan, meskipun hatinya jelas-jelas berkata sebaliknya. Namun ia tidak bisa terus menyimpan dendam. Dendam hanya akan membebani dirinya dan bayi yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Ia harus sembuh. Ia harus melupakan masalalu nya.Nayara termenung membayangkan betapa marahnya Alvano pada Eko saat pria itu menyakitinya. Bayang-bayang Alvano memukul habis Eko membuat Nayara ingin menangis.Bukan karena merasa kasihan dengan nasib Eko, namun Nayara sedih karena ternyata Alvano bukan membantu dirinya tapi hanya melindungi Vanya.“Jadi waktu itu dia bukan tulus menolong aku, tidak bisa diam biarkan. Aku harus menanyakan hal ini padanya.” Nayara meremas tas yang dia pakai.Dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, Nayara berniat masuk ke dalam ruangan VIP di klub langit untuk mencari Alvano.Namun baru selangkah Nayara ingin masuk, tapi langkahnya terpaksa terhenti karena seseorang menahannya. “Hai cantik, aku sangat merindukanmu.” Dia adalah Tuan Ari yang sengaja menahan langkah Nayara.“Tuan, sekarang bukan jam kerjaku. Mohon jaga sikapmu.” Nayara bersikap dingin, berbanding terbalik dengan seperti apa sikapnya saat di hadapan Alvano tadi.“Justru aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” jawab Tuan Ari, “aku
“Tak kusangka, di klub langit ternyata ada wanita secantik ini. Tuan Alvano memang hebat, aku sangat menyukai gadis ini.” Tuan Ari berkepala botak begitu senang disodorkan Nayara oleh Alvano.Alvano sendiri terlihat santai sambil menuangkan minuman ke dalam gelas kecil, Nayara justru duduk diam dengan perasaan berkecamuk di samping Tuan Ari.“Syukurlah kalau Anda menyukainya, malam ini gadis ini adalah milikmu.” Alvano menatap Nayara. “Layanilah Tuan Ari dengan baik, aku akan memberikan bonus yang besar padamu.” Terlihat jelas bahwa Alvano sedang merendahkan Nayara.Nayara tersenyum, dia tidak terpengaruh sama sekali. “Mari, Tuan Ari.” Nayara justru akan melakukan tugasnya bekerja di sini dengan baik. “Aku akan tuangkan minuman, mari kita berselang sebentar.” Nayara mengajak pria gendut berkepala botak itu untuk minum-minum lebih dulu.“Baiklah, kamu sangat bagus. Aku memang tidak salah menilai, kamu ini sungguh membuatku sangat senang.” Tuan Ari sangat merasa puas dengan keberadaan
Alvano yang sedang tidur tampak begitu gelisah, dahinya mengernyit dan kepalanya bergerak tak tenang. ‘Dasar brengsek, cepat lepaskan dia’ Alvano mengalami mimpi buruk dan melihat anak kecil berbicara dalam mimpinya. ‘Dasar penjahat, lepaskan dia!’ Alvano semakin gelisah dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Alvano melihat seorang pria berpakaian serba hitam dan juga memakai masker hitam keluar dari mobil BMW. Pria itu hendak melukai anak laki-laki dengan sebilah pisau, tapi anak perempuan yang pemberani menangkis pisau itu sampai anak perempuan itu yang akhirnya terluka. Anak laki-laki itu terkejut sampai berteriak kencang. “Aaaaaa!!!” Alvano berteriak sampai terduduk dan terbangun dari tidurnya. Nafas Akan memburu, dadanya naik turun karena lagi dan lagi dia memimpin cuplikan masa kecilnya. Alvano menatap kedua tangannya bergetar dan berkeringat dingin. “Vanya, apa aku sudah berpikir berlebihan tentang kamu?” Alvano jadi kepikiran dengan Vanya gadis yang Alvano anggap seba
Alvano benar-benar menemui Clarissa dan Vanya, tapi bukannya bersikap hangat seperti biasanya, kali ini Alvano justru lebih sibuk dengan ponselnya sehingga menimbulkan rasa canggung di antara mereka.“Ekhm!” Clarissa berdehem kecil sambil mencubit kecil paha Vanya seperti memberi kode pada putrinya itu.Vanya tersentak lalu memasang senyum terbaiknya. “Kak, Alvano. Katanya terjadi masalah di pekerjaan mu, iya kah?” tanya Vanya dengan suara lembutnya yang tentunya dibuat-buat.“Hah.” Alvano meletakkan ponselnya. “Darimana kamu bisa tau?” Alvano menaruh rasa curiga.“Aku mendengar dari temanku, hari itu dia pergi ke klub Langit. Dia bilang dia bertemu dan melihat Kak Nara dikepung oleh para preman, katanya dia langsung melapor ke polisi. Tapi saat dia melihat lagi orangnya sudah tidak ada lagi, apa kamu tahu tentang hal itu?” celoteh Vanya panjang lebar.Alvano menyeruput teh hangatnya. “Apakah menurutmu aku tau hal itu?” Bukannya menjawab pertanyaan Vanya, Alvano malah balik bertanya l
Alvano menyeret Nayara ke dalam sebuah kamar, Alvano melempar kasar tubuh wanita itu ke atas ranjang lalu menindihnya dari atas. “Argh!” Nayara sampai meringis saat sikunya tertekuk di atas kasur. “Berani juga kamu berselingkuh di depanku, bagian mana dari diri Hanan yang lebih baik dari aku?” Alvano sungguh sangat marah saat ini.Alvano mencengkram dagu Nayara dengan sangat kasar sampai wanita itu kesakitan. “Jangan menghina temanku!” Nayara berusaha melepaskan diri dari Alvano.Alvano terkekeh sinis. “Teman?”Nayara memalingkan wajah, rasanya sudah sangat muak sekali menghadapi Alvano yang selalu ikut campur tentang hidupnya padahal sudah menyakitinya berkali-kali. “Kalau begitu, aku sangat penasaran bagaimana rasanya bermesraan dengan seorang teman?” Lagi dan lagi Alvano menyerang Nayara dengan pikiran-pikiran yang tak benar itu.“Lebih nikmat aku atau dia?” Nayara semakin muak mendengar pertanyaan seolah-olah dirinya ini adalah seorang wanita murahan di mata Alvano yang masih
“Alvano, apa yang sebenarnya kau pikirkan?” Dokter Hanan semakin geram dengan kelakuan Alvano.“Apa begitu besar keinginanmu untuk memiliki Nayara?” Alvano tersenyum miring lalu menatap tajam Nayara. “Apa masih berani menyangkal kalau anak ini adalah anak Hanan?”Tuh kan, Alvano benar-benar berpikir yang tidak-tidak. “Stres.” Nayara tertawa sumbang sambil menggelengkan kepalanya.Alvano selalu menuduhnya tanpa bukti dan selalu tidak mau mendengarkan penjelasannya.“Sangat disayangkan, selama kita tidak bercerai, selama itu pula dia akan menjadi anak haram yang harus disembunyikan.” Alvano menunjuk Rayhan yang berada di dekat Dokter Hanan.Alvano membungkuk sampai tingginya sama rata dengan Rayhan. “Sepertinya kamu tidak akan bisa hidup lebih lama lagi ya? Ini adalah karma dari hubungan haram kalian.” Alvano menatap Dokter Hanan dan Nayara secara bergantian.“Kau sudah sangat kurang ajar, Alvano!” Dokter Hanan hendak menampar Alvano.Tapi sebelum itu terjadi, Alvano sudah lebih dulu t