Hujan turun dengan deras di luar jendela, membasahi jalanan dan menciptakan riuh samar di tengah keheningan malam. Pukul dua lewat dua puluh lima menit pagi, Naraya terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Perutnya mengeras, nyeri yang familiar menjalar dari tulang belakang hingga ke pusar. Ia mengerang pelan, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang datang bertubi-tubi.
“Tidak ... bukan sekarang.” Namun tubuhnya tak bisa dibohongi. Kontraksi itu nyata, lebih kuat dan intens dari sebelumnya. Dengan susah payah, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat kasurnya. Ia menggulir daftar kontak, tapi tak satu pun nama yang bisa ia andalkan. Tidak ada keluarga. Tidak ada teman dekat. Dan pria yang seharusnya berada di sampingnya pun tidak bisa Nayara harapkan. Dengan napas yang tersengal, Naraya bergegas keluar kamar, tubuhnya bergetar karena rasa sakit. Ia mengetuk pintu tetangganya, Bu Ningsih—seorang ibu paruh baya yang selama ini sesekali menawarinya makanan hangat dan sapaan ramah. Tak lama, pintu terbuka. “Ya Allah, Naraya! Kamu kenapa, Nak?” tanya Bu Ningsih panik melihat tubuh Naraya yang basah kuyup, wajah pucat, dan keringat dingin mengucur dari pelipisnya. “Bu ... saya mau melahirkan, tolong antar ke rumah sakit,” jawabnya terbata. Tanpa banyak tanya, Bu Ningsih langsung memanggil suaminya dan meminta bantuan. Dengan cepat, mereka membawa Naraya ke mobil tua milik mereka dan melaju menembus hujan malam. Setibanya di rumah sakit, Naraya langsung dibawa ke ruang bersalin. Tangannya menggenggam erat kain sprei ranjang, menahan setiap kontraksi yang datang semakin sering. Air ketubannya sudah pecah saat masih di mobil. Tak ada waktu untuk menunggu. “Tarik napas, Bu Naraya. Satu, dua ... keluarkan perlahan. Oke, sekali lagi!” seru bidan yang mendampinginya. Naraya menggigit gigi, menahan jerit. Rasanya seperti tubuhnya dirobek dari dalam. Tapi ia tahu, tak ada yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. Seorang dokter wanita masuk, wajahnya serius. “Ibu Naraya, siapa yang mendampingi Anda? Suami? Keluarga?” Naraya menoleh lemah. Matanya berkaca-kaca, tapi suaranya tegas, nyaris dingin. “Saya sendirian. Anak sebatang kara. Ayah dari bayi ini sudah lama pergi.” Dokter itu terdiam sesaat, lalu hanya mengangguk pelan. “Baik. Kita akan bantu sebaik mungkin. Kamu kuat, Bu Naraya. Bertahan sebentar lagi.” Di sisi rumah sakit yang lain, seorang pria tampak duduk di ruang tunggu IGD dengan tangan memegang kening. Alvano. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek. Sejak sore tadi, jantungnya terus berdebar keras dan kepalanya pusing. Awalnya ia pikir hanya stres kerja, tapi rasa itu tak kunjung hilang. Ia menatap dinding ruang tunggu, entah mengapa perasaan tidak nyaman terus merayap dalam dadanya. Seperti ada sesuatu yang penting yang seharusnya ia temui malam ini. Tapi apa? Perawat memanggil namanya, dan ia berdiri lemas untuk diperiksa. Namun saat melintas di depan ruang bersalin, ia terhenti. Terdengar suara jeritan—suara perempuan yang sedang melahirkan. Suara itu ... entah kenapa membuat hatinya bergetar. Alvano menoleh. Ia tak tahu siapa yang ada di balik pintu itu, tapi suara itu terdengar familiar. Seolah memanggil bagian jiwanya yang kosong. “Pak?” tanya perawat, menyadarkan lamunan Alvano. “Ah ... iya,” gumamnya, melangkah lagi. Ia menggelengkan kepala. “Bukan urusanku.” Ia tidak tahu bahwa beberapa meter darinya, seorang perempuan sedang berjuang melahirkan anaknya, darah dagingnya. Naraya menangis. Bukan karena lelah semata, tapi karena rasa sepi yang begitu pekat. Setiap kontraksi datang, ia merasa seperti hanyut dalam kehampaan. Ia ingin memanggil nama seseorang siapa pun untuk berada di sisinya. Tapi yang ia punya hanya dinding-dinding kosong dan suara medis yang dingin. Waktu seakan berhenti. Dalam keputusasaan, Naraya memejamkan mata dan mengerahkan seluruh tenaganya. Satu tarikan napas panjang. Satu jeritan. Dan akhirnya tangisan bayi menggema. Tangisan yang mengisi seluruh ruang, menghapus semua rasa sakit untuk sesaat. Air mata Naraya jatuh membasahi pipinya. Bayi mungil itu diletakkan di dada Naraya—merah, kecil, dan persis seperti ayahnya. “Selamat, Bu Naraya. Bayi Anda laki-laki. Sehat dan kuat.” Naraya menggenggam jemari kecil bayinya. Ia tersenyum di antara lelah dan lukanya. “Hai ... maaf ya kamu lahir tanpa siapa-siapa di sini. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa sendirian,” bisiknya lirih. Di ruangan berbeda, Alvano memegang hasil pemeriksaannya. Jantung normal. Tekanan darah stabil. Dokter bilang mungkin hanya stres atau terlalu banyak pikiran. Namun rasa sesak di dadanya belum juga hilang. Ia berdiri di depan jendela besar, menatap hujan yang masih turun. “Kenapa rasanya seperti aku kehilangan sesuatu?” gumam Alvano.Hari pemeriksaan DNA akhirnya tiba. Rumah sakit swasta yang terkenal dengan kerahasiaan pasiennya menjadi saksi langkah-langkah berat yang membawa masa lalu dan masa depan bertabrakan.Nayara duduk di ruang tunggu bersama Rayhan yang sudah mulai membaik, meski tubuhnya masih ringkih. Ia menggenggam tangan kecil putranya erat-erat, seakan tak ingin ada satu detik pun terlepas darinya. Mata Nayara sembab, namun sorotnya penuh keyakinan. Ia tahu kebenaran akan berpihak padanya.Di sisi lain, Alvano duduk dengan rahang mengeras, mencoba menahan badai emosi yang bergolak di dadanya. Ia masih terbayang kata-kata Nayara malam itu, juga tatapan mata Rayhan yang terasa familiar. Namun egonya menolak untuk langsung percaya. Satu-satunya jalan adalah hasil tes DNA.Dan tentu saja, Vanya ada di sana. Wanita itu tidak bisa melepaskan tangannya dari lengan Alvano, meski lelaki itu tampak jengah. Senyum tipisnya penuh perhitungan. Dalam benaknya, hasil tes DNA harus dimanipulasi. Ia tidak boleh memb
Alvano berdiri dengan tangan terkepal, napasnya memburu, matanya berkilat seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti belati yang menusuk jantung Nayara.“Kenapa kau masih di sini, Nayara?” suaranya dingin dan penuh ejekan. “Kalau kau benar-benar peduli dengan anak itu, seharusnya kau pergi jauh-jauh dariku. Jangan terus menempel hanya untuk mencari perhatian. Aku muak!”Nayara menahan perih di dadanya, kedua tangannya menggenggam erat tubuh kecil Rayhan yang masih panas. Air mata terus menetes, membasahi rambut anaknya. “Alvano… tolong, hentikan kata-kata itu. Kau tidak tahu betapa aku sudah berusaha.”“Berusaha?” Alvano menyeringai sinis. “Berusaha apa? Berusaha mengais sisa-sisa simpati dariku? Atau berusaha menjatuhkan Vanya dengan cerita murahanmu itu?”Nama Vanya lagi. Nayara menggigit bibirnya, darah hampir keluar. Hatinya mencelos setiap kali mendengar wanita itu disebut-sebut. Ia sudah lelah. Sungguh lelah.“Aku tidak perna
“Gimana jika aku memberitahumu satu hal, kalau dulunya adalah aku orang yang menyelamatkanmu, bukan Vanya.”Deg!Kalimat itu menghantam dada Alvano lebih kuat daripada pukulan apa pun. Wajahnya langsung menegang, matanya menyipit menatap Nayara. Hawa dingin seketika merambat di udara.“Ulangi kata-katamu barusan.” Suara Alvano rendah, tapi penuh ancaman.Nayara menatapnya dengan sorot mata yang penuh keberanian meski tubuhnya gemetar. “Aku yang menyelamatkanmu, Al. Bukan Vanya. Semua yang kamu tahu selama ini salah.”Senyum miring terbentuk di bibir Alvano. Namun itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum sinis yang dipenuhi amarah. “Kau… benar-benar lancang, Nayara.”“Aku tidak sedang berbohong,” Nayara bersikeras. “Aku ada di sana waktu itu. Aku yang menolongmu, bukan Vanya. Aku tidak peduli kalau kamu tidak percaya, tapi itu kenyataannya.”BRAK!Tangan Alvano menghantam meja di sebelahnya sampai gelas-gelas di atasnya berjatuhan. “Cukup, Nayara! Jangan pernah kau sebut-sebut na
Nayara termenung membayangkan betapa marahnya Alvano pada Eko saat pria itu menyakitinya. Bayang-bayang Alvano memukul habis Eko membuat Nayara ingin menangis.Bukan karena merasa kasihan dengan nasib Eko, namun Nayara sedih karena ternyata Alvano bukan membantu dirinya tapi hanya melindungi Vanya.“Jadi waktu itu dia bukan tulus menolong aku, tidak bisa diam biarkan. Aku harus menanyakan hal ini padanya.” Nayara meremas tas yang dia pakai.Dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, Nayara berniat masuk ke dalam ruangan VIP di klub langit untuk mencari Alvano.Namun baru selangkah Nayara ingin masuk, tapi langkahnya terpaksa terhenti karena seseorang menahannya. “Hai cantik, aku sangat merindukanmu.” Dia adalah Tuan Ari yang sengaja menahan langkah Nayara.“Tuan, sekarang bukan jam kerjaku. Mohon jaga sikapmu.” Nayara bersikap dingin, berbanding terbalik dengan seperti apa sikapnya saat di hadapan Alvano tadi.“Justru aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” jawab Tuan Ari, “aku
“Tak kusangka, di klub langit ternyata ada wanita secantik ini. Tuan Alvano memang hebat, aku sangat menyukai gadis ini.” Tuan Ari berkepala botak begitu senang disodorkan Nayara oleh Alvano.Alvano sendiri terlihat santai sambil menuangkan minuman ke dalam gelas kecil, Nayara justru duduk diam dengan perasaan berkecamuk di samping Tuan Ari.“Syukurlah kalau Anda menyukainya, malam ini gadis ini adalah milikmu.” Alvano menatap Nayara. “Layanilah Tuan Ari dengan baik, aku akan memberikan bonus yang besar padamu.” Terlihat jelas bahwa Alvano sedang merendahkan Nayara.Nayara tersenyum, dia tidak terpengaruh sama sekali. “Mari, Tuan Ari.” Nayara justru akan melakukan tugasnya bekerja di sini dengan baik. “Aku akan tuangkan minuman, mari kita berselang sebentar.” Nayara mengajak pria gendut berkepala botak itu untuk minum-minum lebih dulu.“Baiklah, kamu sangat bagus. Aku memang tidak salah menilai, kamu ini sungguh membuatku sangat senang.” Tuan Ari sangat merasa puas dengan keberadaan
Alvano yang sedang tidur tampak begitu gelisah, dahinya mengernyit dan kepalanya bergerak tak tenang. ‘Dasar brengsek, cepat lepaskan dia’ Alvano mengalami mimpi buruk dan melihat anak kecil berbicara dalam mimpinya. ‘Dasar penjahat, lepaskan dia!’ Alvano semakin gelisah dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Alvano melihat seorang pria berpakaian serba hitam dan juga memakai masker hitam keluar dari mobil BMW. Pria itu hendak melukai anak laki-laki dengan sebilah pisau, tapi anak perempuan yang pemberani menangkis pisau itu sampai anak perempuan itu yang akhirnya terluka. Anak laki-laki itu terkejut sampai berteriak kencang. “Aaaaaa!!!” Alvano berteriak sampai terduduk dan terbangun dari tidurnya. Nafas Akan memburu, dadanya naik turun karena lagi dan lagi dia memimpin cuplikan masa kecilnya. Alvano menatap kedua tangannya bergetar dan berkeringat dingin. “Vanya, apa aku sudah berpikir berlebihan tentang kamu?” Alvano jadi kepikiran dengan Vanya gadis yang Alvano anggap seba