“Aku di… kantor Kai.”
“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”
Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.
“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.
“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”
“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”
“Ketemu, yuk.”
“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”
“Ya udah, aku ke sana ya.”
“E-eh, jangan—”
Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Kristal hanya bisa menghela napas.
Ya sudah, lebih baik kukerjakan semuanya lebih cepat saja, pikir Kristal sambil kembali membaca dokumen di hadapannya dengan cepat.
Sudah satu jam berlalu sejak ia mengerjakan tugas barunya dan Kristal sudah mulai memahami hal-hal yang harus ia kuasai mengenai Big Screen. Perempuan itu mencoba menepis pikirannya yang mengatakan kalau Shiana jelas-jelas tidak menyukainya.
Setidaknya, ia mencoba untuk berpikir positif dulu.
Ponselnya yang diatur dengan mode getar sedikit mengejutkannya saat bergetar singkat. Tanpa membuka kunci layarnya, Kristal membaca pesan terbaru dari Renjana yang tampil di layarnya.
Aku sudah di lobi, kutunggu di MAXX Coffee ya.
Perempuan berambut panjang dan hitam legam itu menoleh ke arah ruangan legal manajer yang berdinding kaca, namun ia taidk menemukan sosok Shiana di sana. Kepalanya menoleh ke sekitar, tapi tak kunjung menemukan sosok atasannya itu.
Akhirnya Kristal memutuskan untuk menghampiri salah satu legal staff yang mejanya paling dekat dengannya. Seorang lelaki yang Kristal perkirakan baru berumur sekitar 24 tahun.
“Hei,” sapa Kristal dengan ramah, untungnya lelaki itu juga membalas sapaannya dengan ramah.
“Saya ada perlu sebentar untuk turun ke lobi, mau izin ke Bu Shiana tapi beliau nggak ada. Kalau beliau cari saya, bisa tolong sampaikan saya ke lobi sebentar?”
“Oh, bisa, bisa. Nanti saya sampaikan ke Bu Shiana.”
Kristal tersenyum senang lalu pamit untuk ke lobi. Sejak hari pernikahannya, ia memang agak membatasi pertemuannya dengan Renjana. Bisa dibilang mereka baru bertemu dua kali, padahal dulu minimal sekali seminggu mereka akan bertemu.
Rasanya Kristal belum siap untuk Renjana bisa melihat kesedihannya yang terpampang jelas. Mungkin itu sebabnya juga Renjana yang khawatir padanya langsung menyusulnya ke sini.
Begitu sampai di lobi, Kristal langsung melangkah menuju gerai MAXX Coffee. Di sana, ia melihat sosok Renjana tengah duduk membelakanginya. Sahabatnya itu memilih meja yang ada di sisi dinding kaca gedung.
“Kristal? Ngapain kamu di sini?”
Teguran yang ia dapat saat baru saja masuk ke gerai coffee shop tersebut membuat langkahnya terhenti. Di hadapannya, sosok Shiana tengah berdiri menghadang jalannya.
“Oh, Bu Shiana di sini rupanya.”Kristal bicara setenang mungkin. “Saya tadi mau izin nemuin temen saya sebentar, tapi Bu Shiana nggak ada.”
“Alasan aja kamu,” tukas Shiana tak suka. “Karena kamu pergi tanpa izin, silakan kamu kembali ke atas untuk—”
“Sore, ladies.”
Kristal menoleh untuk mendapati Renjana kini berdiri di belakang Shiana. Shiana pun ikut menoleh ke belakangnya dan sedikit terkejut mendapati sosok Renjana Putri, istri dari Aiden Ganendra si kasanova paling dicari di Jakarta, menyapanya.
“Y-ya?” Aura intimidatif yang dikeluarkan Renjana hampir setiap saat itu rupanya berhasil membuat Shiana tergagap.
Kristal memang bisa menjadi sosok yang intimidatif di ruang sidang atau menghadapi orang-orang yang menyebalkan di pekerjaannya. Tapi berbeda dengan Renjana, yang bisa menjadi sangat intimidatif dan menyeramkan bahkan tanpa ia inginkan.
Sepertinya kerasnya kehidupan Renjana selama ini mampu membuatnya terlihat untuk selalu diperhitungkan baik-baik oleh orang lain.
“Anda siapa?” tanya Renjana dengan sopan walau nada suaranya terkesan dingin.
“Saya Shiana, legal manager di Big Screen.” Shiana mengulurkan tangannya dengan cepat, yang untungnya dibalas oleh Renjana.
Mengetahui siapa Kristal sesungguhnya, tentu membuat Shiana juga tahu siapa sosok Renjana. Renjana sendiri sudah sangat sering masuk kanal berita karena prestasinya atau rumah tangganya.
“Saya Renjana, sahabat Kristal. Dan maaf sebelumnya, saya yang meminta dia untuk ke sini menemui saya.”
Shiana mengangguk kaku. Walau ia merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Renjana, ia ingin mencoba keberuntungannya sekali lagi. “Tapi saya hanya kasih dia waktu dua jam untuk membaca semua dokumen yang harus ia review lagi ke saya.”
Satu alis Renjana naik, tak suka dengan bagaimana Shiana dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia meminta Kristal melakukan hal yang mustahil.
“Kamu nggak tahu, ya, siapa Kristal ini?”
Kristal menatap Renjana yang justru tengah menatap Shiana dengan tajam. Perempuan itu langsung menarik tangan Renjana hingga sahabatnya hampir terkesiap kaget.
“Apa kita bisa tunda bahas dokumennya setengah jam lagi, Bu Shiana?” tanya Kristal dengan cepat. “Setengah jam, paling lama.”
Shiana tidak suka dengan hal yang diminta Kristal, tapi tak mungkin juga ia bersikap kejam di depan Renjana. Bagaimanapun ia punya imej yang harus dijaga.
“Baiklah, setengah jam lagi, saya tunggu.”
Begitu Shiana melangkah keluar, Renjana langsung menarik Kristal ke meja yang tadi ia tempati. Beruntung coffee shop itu tak terlalu ramai hingga tak ada yang menyadari drama barusan.
“Kenapa kamu bersikap kayak gitu?”
“Aku nggak mau kamu mengumumkan statusku sebagai istri Kai di sini,” jawab Kristal jujur.
Renjana mengerutkan keningnya. “Memangnya Kai nggak memberi pengumuman tentang pernikahannya?”
Kristal sudah tak peduli lagi apakah ia terlihat menyedihkan atau tidak di hadapan Renjana. Ia menggeleng pelan.
“Dia cuma mengumumkan kalau dia menikah ke jajaran C-officer. Level manajer ke bawah cuma tahu rumor-rumor aja.”
“Oh my God…,” desis Renjana pelan. “Dan kenapa kamu cegah aku barusan? Bagaimanapun cepat atau lambat orang-orang akan tahu statusmu dan Kai. Toh kalian nggak menyembunyikan ini rapat-rapat juga.”
“You know him, Jan.” Kristal berkata dengan lemah. “And you know me. Kalau dia nggak mau ada yang tahu tentang aku, maka aku nggak akan memberi tahu orang lain.”
Renjana menggeleng perlahan, prihatin dengan nasib Kristal. “Cinta memang bisa membuat orang-orang jadi bodoh ya,” komentar Renjana pelan.
Kristal mengerucutkan bibirnya. “Tolong berkaca, kamu ke Aiden bukannya sama aja? Cuma nggak ketahuan orang aja, sedangkan aku gampang dibaca orang lain.”
“Iya, iya, aku tahu itu.” Renjana mengedikkan bahunya. “Tapi… apa kamu baik-baik aja?”
“Kurasa iya.” Kristal mengangguk ragu. “Kurasa aku baik-baik aja selagi orang-orang di sini nggak tahu kalau Kai adalah suamiku atau nggak mengungkit soal pernikahanku di depan wajahku dan Kai.”
***
Ting.
Denting lift menyadarkan Kai kalau ia sudah tiba di lobi gedung. Ia melangkah keluar dan menuju MAXX Coffee. Jam tiga sore seperti saat ini adalah waktu rutinitas minum kopinya terlaksana.
Karena sedang ingin mencari suasana baru dan mencoba untuk tak merisaukan kehadiran Kristal hari ini di kantornya, Kai pun memutuskan untuk membeli kopinya sendiri. Biasanya Rangga sudah siap sedia membelikan kopinya.
“Satu cafe latte,” pesan Kai pada barista yang menerima pesanannya di counter.
Saat ia tengah memperhatikan kue-kue yang terpajang di display sembari menunggu kopinya jadi, samar-samar ia mendengar namanya disebut.
“Aku nggak mau kamu mengumumkan statusku sebagai istri Kai di sini.”
Suara itu tak keras, cenderung rendah dan agak berbisik. Namun kondisi MAXX Coffee yang sepi membuatnya bisa mendengarnya dengan jelas. Saat ia mencari pemilik suara yang ia kenal, matanya menangkap sosok Kristal dan Renjana tengah duduk di meja yang tak jauh dari counter area.
Dia lagi, keluh Kai dalam hati. Baru sehari perempuan itu bekerja di sini, tapi rasanya Kai sudah melihatnya di mana-mana.
Kai menegakkan tubuhnya yang tadinya sedikit membungkuk untuk memperhatikan detail kue yang ada. Namun, kini nafsu makannya sudah hilang.
Saat ia ingin cepat-cepat pergi dari sana, telinganya kembali menangkap suara Kristal.
“Kurasa aku baik-baik aja selagi orang-orang di sini nggak tahu kalau Kai adalah suamiku atau nggak mengungkit soal pernikahanku di depan wajahku dan Kai.”
Kai menahan diri untuk tak mendengus. Lelaki itu menyugar rambutnya dengan geram.
Apa dia sampai harus bicara selugas itu di gedung ini? Saat ada aku yang juga mendengarnya? Dia yang meminta untuk menikah denganku, kenapa juga kesannya dia yang malu karena pernikahan ini?
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha
[Kehamilan Kristal. Minggu kelima.]Kai yang baru pulang bekerja memanggil Kristal, saat ia tidak menemukannya di ruang tengah atau di ruang makan. “Tata?”Karena tidak ada sahutan, Kai berpikir mungkin Kristal ada di kamar. Mengingat akhir-akhir ini istrinya mudah sekali merasa mengantuk.“Mas?”Panggilan itu membuat langkahnya terhenti dan kembali turun dari dua anak tangga yang sudah ia naiki. Matanya menangkap sosok Kristal yang melongok ke arahnya dari teras samping.“Lho, di sini kamu ternyata,” ucap Kai saat menghampiri istrinya dan memeluknya. Kemudian ia mencium kening dan bibirnya seperti biasa. “Ngapain malem-malem di luar?”“Lihatin bintang.” Krista
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya