"Bagaimana rencana pertunangan kita?" Raihan bicara tanpa menoleh pada Ratu. Saat ini mereka sedang makan siang bersama di salah satu restoran yang berada tak jauh dari Anggada Jaya. "Kamu atur aja! Aku mau tinggal beres," sahut Ratu yang juga tetap fokus pada menu makan siangnya. "Kedua orang tua kita ingin kita bertunangan sebelum Analea menikah. Berarti minggu depan kita sudah harus bertunangan." Kali ini Raihan mengangkat wajahnya untuk menoleh pada Ratu. Belakangan ini menurutnya Ratu tidak terlalu ketus seperti biasanya. "Kita pakai WO saja. Nanti biar asistenku yang atur semuanya," lanjut Raihan. "Ya, itu lebih baik. Pokoknya, aku tinggal beres," ulang Ratu. "Apa kamu tidak ingin menentukan tema seperti apa yang kamu mau?" Ratu menggeleng. "Terserah aja. Bebas." Kening Raihan berkerut. Ia memandang Ratu yang masih saja tidak menoleh padanya. Wanita itu terus fokus menikmati makan siangnya. "Kamu yakin?" tanya Raihan lagi. "Yakin. Lagipula tujuan pertunangan ini berbed
"Jangan ngomong sembarangan! Enak aja nuduh aku main sama om-om!" sahut Ratu tak terima. Raihan menyeringai, lalu kembali bergumam. "Apes aku! Ternyata dapat barang bekas!" "Raihaaan!" jerit Ratu tertahan. Andai saja para tamu dan keluarganya sudah tidak ada di ruang gedung yang luas itu, mungkin ia sudah protes habis-habisan pada Raihan. "Untung saja pertunangan ini bukan yang sebenar-benarnya," lanjut Raihan lagi hingga Ratu kembali diam. Ia pun menyadari tujuan mereka bertunangan memang hanya untuk menjalankan misi masing-masing. Acara pertunangan Ratu dan Raihan selesai. Saat keduanya sedang di kamar rias masing-masing dan bertukar pakaian, para keluarga masih berkumpul dan berbincang di lokasi acara. "Rein, aku senang. Akhirnya kita bisa berbesan dan menjadi satu keluarga." Yuda menepuk pelan bahu Rein. "Sebaiknya kita percepat pernikahan mereka," tambah Salma. "Tidak, nanti saja setelah Analea dan Fabian menikah," sahut Rein tersenyum melirik pada Analea dan Fabian. Salm
"Apa maksudmu? Mereka tertukar?" Wajah Yuda menegang. Ia memandang Rein sahabatnya itu dengan intens. "M-maaf, Yuda. Tepatnya ..., ada yang menukar mereka. Hal ini baru kami sadari setelah mereka dewasa. Kami juga sudah melakukan test DNA." Rein mulai merasa bersalah dan gugup. "Mas Yuda, duduklah! Kita bicarakan hal ini dengan tenang!" Suara lembut Salma terdengar menenangkan. Wanita itu berhasil kembali mengajak Yuda untuk duduk di sampingnya. "Kenapa kamu begitu ceroboh, Rein? Tidak biasanya kamu seperti ini." Yuda mendengkus kasar. "Mas Yuda, Rein juga manusia biasa yang tentunya tidak sempurna. Tenanglah dulu!" Salma mengusap.lengan Yuda hingga pria itu kini lebih tenang dan duduk bersandar."Ya, aku manyesal. Padahal dulu Maira sudah ber usaha mengingatkan aku bahwa ia merasa anak yang ia rawat berbeda dengan yang ia lahirkan. Tapi, aku sudah terlajur jatuh cinta pada Ratu hingga menganggap Maira mengada-ada saat itu." Rein menjelaskan dengan pelan. "Siapa yang melakukan
"Ana, bagaimana persiapan pernikahanmu, Sayang? Acaranya dua hari lagi. Apa yang harus mama kerjakan?" Maira menghampiri Analea yang baru saja selesai menelepon. Sejak setelah sarapan tadi, Analea tidak keluar kamar dan sibuk menghubungi beberapa orang lewat ponselnya. "Acaranya sudah siap semua, Ma. Lusa kita akan datang lebih pagi karena akan dirias dulu." Maira mengangguk. Kemudian kembali bicara. "Tapi sejak tadi mama lihat kamu sibuk sekali. Apa ada masalah?" "Sedikit pekerjaan kantor yang belum selesai, Ma. Tapi sudah beres, kok," sahut Analea. Meski ia sudah cuti beberapa hari ini, namun ada saja orang kantor yang menghubunginya. "Syukurlah. Kamu harus banyak istirahat," ungkap Maira yang ternyata diikuti oleh Rein di belakangnya. "Ehmm ... Ana, kalau begitu mulai besok biar Daddy yang ke kantor. Daddy dengar perusahaan memang sedang sibuk-sibuknya karena beberapa proyek besar yang berhasil kamu dapatkan." Analea terkejut melihat Rein tiba-tiba muncul. "Daad?" "Ya, Say
"Sebaiknya kamu pikirkan hal ini, Rein. Ini demi kebaikan Ratu juga. Terlalu lama kita memanjakannya hingga ia tidak bisa apa-apa. Semua serba ada, semua serba dilayani." Maira terus bicara dengan hati-hati. Ia paham betul seperti apa Rein memanjakan Ratu sejak kecil Sedangkan Analea tak lagi meneruskan pendapatnya setelah melihat respon dari sang Daddy yang sepertinya belum mendukung. "Hmmm ...Ya, kamu benar. Tapi ... nantilah aku pikirkan. Saat ini kita fokus saja pada pernikahan Analea. Aku sendiri yang akan mengatur semua keamanannya. Jangan sampai ada penyusup yang masuk." Rein memandang Analea dan Maira secara bergantian. Kemudian ia meraih ponselnya untuk menghubungi orang-orang kepercayaannya. "Aku ke kamar dulu, Dad." "Aku juga," sambung Maira. Rein mengangguk pada Analea dan Maira yang keluar dari ruang kerjanya secara bersamaan. Beberapa saat kemudian tampak Ratu telah rapi dengan blouse dan celana jeans ketatnya keluar dari kamar. Ia menghampiri Rein di ruang kerja.
"Silakan, Mbak, ruangannya di sana!" Polisi yang mengantar Ratu menunjuk arah dimana mereka bisa bertemu dengan Alif. "Iy-iyaa," sahut Ratu gelagapan. "Sial, kenapa aku malah gugup begini?" bathin Ratu. Ia menyadari ucapannya pada Rein sebelum ia pergi tadi. Ia mengatakan lebih baik pergi menemui ayah kandungnya yang mungkin sedang mengharapkan kedatangannya. "Bagaimana ini?" Ratu semakin gugup. Ia memandang Sumi yang terus melangkah dengan semangat di depannya. "Yang masuk hanya satu orang saja! Bergantian!" tegas seorang polisi yang berjaga di sebuah ruangan tertutup. Sumi menoleh ke belakang seakan meminta izin pada Ratu. "Sana kamu masuk!" ketus Ratu sambil mengangkat dagunya. Dengan gerak cepat Sumi masuk ke sebuah ruangan. Ia melihat Alif duduk dibalik kaca yang menghalangi mereka berdua. Pada kaca itu terdapat beberapa lubang agar suara mereka terdengar saat saling bicara. "Bang ..., Bang Gondrong baik-baik aja, kan?" Sumi langsung duduk berhadapan dengan Alif yang d
"Hallo Pak Rein!" "Lily, segera kirim email pada saya mengenai hasil kontrak dengan klien tadi!" Suara Rein terdengar begitu mendominan dari seberang sana. "Maaf, Pak Rein. Tapi ..." Belum selesai Lily bicara, panggilan telepon telah ditutup oleh Rein secara sepihak. Lily hanya menghela napas panjang. "Bagaimana ini Ratu? Pak Rein pasti marah." Ratu hanya mengangkat kedua bahunya. "Marah sama kamu, kan? Bukan sama aku. Sudah bagus aku bantuin kamu tadi." Ratu pun bergegas melangkah menuju kubikelnya yang ada di lantai bawah. "Ratu tunggu! Kamu harus bertanggung jawab pada Pak Rein!" Lily berteriak , namun Ratu tak menghiraukan dan terus melangkah pergi. "Bagaimana ini? Bagaimana kalau perhitungan aku tadi memang salah dan bikin rugi perusahaan? Daddy pasti marah besar sama aku." Ratu bicara sendiri sambil berjalan. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat cepat. Tidak hanya takut dimarahi oleh sang Daddy. Tapi ia juga akan merasa malu karena telah membuat rugi perusahaan. "Sem
"Daddy ...! Daddy marah sama aku?" Suara Ratu bergetar karena ketakutan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat Rein semarah itu. Tatapan pria yang dulu sangat menyayanginya itu sangat nyalang hingga menusuk ke relung hatinya yang paling dalam. "Setelah menipuku, kamu masih berani pulang ke rumahku? Kamu sengaja mau menjatuhkanku?" Suara Rein menggelegar hingga Maira dan Analea yang berada di dalam berlari keluar. "Nggaaak, Daad. Aku nggak ada maksud menjatuhkan Daddy. Justru aku ingin membantu pekerjaan Daddy." Ratu ingin meyakinkan Rein, namun ia tau itu akan sia-sia. "Diam kamu! Aku bilang serahkan proyek itu pada asistenku. Tapi kamu melakukannya sendiri. Dasar bodoh ...!" Ratu terhenyak mendengar bicara Rein yang sangat berbeda. Rein bicara dengannya menggunakan kata aku. Rein juga mengatakan dirinya bodoh." "Daddy ...." Air mata Ratu pun berjatuhan tanpa henti. Baru kali ini Rein semarah itu padanya. Sampai-sampai ia tak lagi sanggup berkata-kata. Hanya isak tangis yang t