Setelah hampir satu jam berkutat di dapur, akhirnya satu mangkuk besar Tuna Kuah Kuning sudah tersaji di meja makan. William menambahkan bawang merah goreng di atas kuah yang baru saja mendidih itu. Selesai sudah tugasnya memasak makan malam untuk manusia-manusia yang tinggal di rumah ini. Sebenarnya, memasak ikan adalah hal yang paling ia benci. Bau amis yang sulit hilang itu merepotkan baginya. Namun, tidak ada resep lain yang terpikirkan William, saat menemukan dua bungkus ikan tuna fillet yang masih segar di dalam lemari pendingin. Tak ada sayuran hijau, tidak adad aging. Benar-benar hanya ikan tuna itu saja. Lalu beberapa buah tomat dan bumbu dapur. Alhasil ia terpaksa membuat ikan tuna kuah kuning ini. Kendati tak menyukai proses memasaknya, tetapi William tetap saja lahap jika menyantap hidangan itu. Ada yang berbeda dari aktivitas William kali ini. Pria itu memang terlihat berkutat di dapur sendirian. Namun, sebenarnya ia tidak sendiri. Ada sosok yang sedang menemaninya seca
Sebuah amplop cokelat yang mendarat di meja mengambil alih fokus Gamma. Terlalu serius mencermati pekerjaan membuatnya tak menyadari jika seseorang telah masuk ke dalam ruang kerja ini. Pria yang sedang berkutat dengan layar laptopnya itu lantas mendongakkan kepala mencari tahu seseorang yang kini berdiri di hadapannya kendati ia tahu bukan orang asing yang bisa melakukan hal semacam ini. Melemparkan barang sembarangan dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan William? Hanya dia yang bisa datang ke rumah ini sesuka hati. Lelaki itu meleparkan dirinya pada sebuah kursi di hadapan Gamma. Jas kerjanya sudah ditanggalkan entah kemana, dasi yang melingkar pada lehernya sudah terlepas, dan kemeja berwarna biru muda yang dikenakan sudah tergulung setengah lengan. Sebuah helaan napas kasar meluncur bebas darinya, membuat Gamma menegakkan badan dan mengernyitkan dahi, bertanya-tanya dalam hati tentang hal serius apa yang sedang dikerjakan oleh adiknya itu sehingga penampilannya kacau seperti ini.
Serra membentangkan baju bayi bergambar jerapah dengan kedua tangannya. Kedua sudut bibirnya terangkat membayangkan betapa lucunya jika ada seorang bayi yang mengenakan baju ini. Namun, sesaat kemudian yang muncul dalam hati hanyalah tusukan jarum yang terulang puluhan kali. Kumpulan rasa bersalah yang sejak kemarin diredam olehnya kembali muncul ke permukaan.Tidak bisa ia tepiskan sebuah fakta yang tersaji dihadapannya saat ini, bahwa tidak ada bayi yang mengenakan tumpukan baju-baju bayi di ruangan ini.Wanita yang tengah mengenakan baju berwarna merah muda itu lantas membuang napas pelan, berusaha menyurut genangan air yang mulai berhimpun di pelupuk mata. Selanjutnya Serra melipat baju berbahan baby terry itu menjadi lebih kecil. Ditumpuknya baju itu pada sebuah lemari khusus. Semua baju yang tergelar di hadapannya ini adalah pilihan Gamma. Entah berapa kodi baju yang dibeli oleh suaminya, tetapi lemari yang disiapkan untuk menyimpan baju putranya itu penuh, bahkan tak cukup sek
“Gamma, maaf aku kesiangan hari ini, jadi aku hanya memasak nasi goreng saja.” Serra menyajikan sepiring menu sarapan di atas meja. Lebih tepatnya di hadapan Gamma yang baru saja datang. Suaminya itu sedang sibuk mengenakan jam tangannya. Kemudian duduk di sebuah kursi di samping Serra yang sedang berdiri kegerahan. Wanita itu mengibaskan-ngibaskan tangan, lalu mengambil sebuah tisu dari sebuah box berwarna ungu dan menyeka butiran keringat yang mengalir di wajahnya. Penampakan dapur pagi ini tak seperti biasanya. Beberapa bahan makanan berserakan di atas cabinet dapur, pan penggorengan, pisau dan beberapa alat memasak masih teronggok kotor di sana. Serra memang belum sempat membereskannya. Jangankan mencuci, memasak nasi goreng saja ia hampir tak memiliki waktu. Terlebih, ia hanya sendiri sekarang. Bi Sumi sudah kembali ke rumah ibu mertuanya beberapa hari yang lalu. Serra yang memintanya sebab Sudah dua bulan lamanya asisten rumah tangga kepercayaan keluarga Pranadipta itu tingga
“Sayang? Apa yang kau bawa itu?” Gamma mengernyitkan dahi kala sang istri datang membawa sebuah buket bunga mawar putih. Tidak peduli dengan bunga itu, tetapi yang menjadi masalah adalah perubahan raut wajah Serra. Terlihat Lesu dan sebuah bongkahan kaca pada kedua bola matanya. Apa yang terjadi dengannya? Tidak tahu. Pria bertubuh kekar itu belum menemukan jawabannya. Sepengetahuan Gamma, ia meninggalkan Serra hanya untuk menerima panggilan dari William sebentar. Pun Serra tadi sedang asik membereskan dapurnya. Memang sih, tadi saat berbincang dengan adiknya, Gamma sempat mendengar sebuah suara bel yang berdering. “Ra?” tegur Gamma kepada Serra yang masih bungkam seribu Bahasa. Serra hanya menoleh sebentar ke arahnya. Setelahnya terdengar sebuah helaan napas. “Bunga untukmu,” jawab wanita itu singkat, jelas, dan padat. Tangannya terulur lalu memberikan buketan bunga itu kepada Gamma membuat tekukan pada dahinya semakin dalam. “Untukku?” beo lelaki itu dengan perasaan bingung yan
“Apa katamu? Bagaimana bisa? Bertahun-tahun aku berhubungan dengan wanita sialan itu, tapi aku tidak pernah melihat dan mendengar nama Bian sama sekali!” Gamma membuat punggunggnya lebih berjarak dengan kursi. Kedua matanya sudah memicing tajam ke arah William, meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya. Tangannya lalu terulur mengembalikan sebuah benda pipih dengan layar menyala itu kepada pemiliknya. William menganggukkan kepalanya pelan. Lelaki itu menerima ponsel yang dikembalikan oleh Gamma kemudian meletakkan di atas meja. Setelahnya ia mencerup kembali kopi hitam miliknya. “Jelas kau tak melihatnya karena dia ada di penjara karena kasus obat terlarang! Dia baru keluar beberapa hari setelah kau memutuskan hubungan dengan Rossa. Aku juga baru tahu itu, kau harus berhati-hati, Gam. Aku yakin, mereka pasti akan terus mengincar Serra saat ini.” “Aku harus mengatur rencana kalau begitu. Di kejadian lalu, kita masih beruntung karena Serra masih bisa bertahan, tapi bagaimana dengan ren
Helaan napas panjang telah keluar dari bibir Gamma kala menginjakkan kaki di lantai ruang tamu rumahnya. Akhirnya setelah siang yang begitu berat dan panjang sudah ia lalui. Laki-laki itu cukup beruntung Rapat dengan beberapa manager proyek petang ini bisa segera berakhir dengan begitu damai. Tidak terbayang bagaimana kalutnya Gamma jika rapat itu hanya mengundang amarahnya kembali. Baiklah, lupakan pekerjaan itu. Saat ini yang ada dalam pikiran Gamma hanyalah Serra. Arloji yang melingkar pada tangan kirinya menunjukkan pukul delapan malam. Ia bermain tebak-tebakkan dengan batinnya sendiri, apakah istrinya itu sudah terlelap? Ah, Bukan. Itu tak penting. Maksudnya, apakah ia baik-baik saja? Sejak tadi siang fokus terbelah menjadi dua. Pekerjaan di kantor dan juga Serra di rumah. Semoga malam ini tidak ada pertengkaran. Doa itu terus ia rapalkan dalam hati, berharap sang pencipta mengabulkannya. Semoga saja begitu. Sampai pada akhirnya ia tiba di ruang tengah. Lampu ruangan ini me
“Sudah larut, Gam. Kau masih tak ingin pulang juga?” tanya William seraya memberikan segelas air mineral kepada Gamma yang sedang menghibur diri dengan sebotol vodka. Pria yang tengah mengenakan piyama berwarna hitam itu tidak menghitung berapa sloki cairan beralkohol yang diteguk kakaknya. Namun, ia melihat dengan jelas sebotol vodka yang ada di meja bundar miliknya itu sudah hampir tandas. “Aku menginap.” Sebuah jawaban singkat keluar dari bibir Gamma. Pria itu duduk bersandar pada kursi seraya memejamkan matanya. Satu tangannya menyangga dahi dan satu tangan lainnya memegang gelas sloki berisi cairan bening. Kening pria itu berkerut dalam, wajahnya muram, dan rambutnya sudah berantakan. Baru tadi siang, William menceramahinya untuk mengendalikan diri dan ia berharap Gamma akan mengingatnya baik-baik. Akan tetapi, sepertinya pesan itu bagai masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Malam ini saat baru saja merebahkan diri, ia dikejutkan dengan kedatangan Gamma di rumahnya, la