Gadis baik-baik?
Tidak mungkin! Jika benar gadis baik-baik maka tidak akan pergi ke tempat seperti ini. Ah, Gamma tak ingin memikirkan itu. Kepalanya makin berdenyut nyeri saja.Perlahan Gamma beranjak dari tempat tidurnya, dengan kepala pening, ia memaksa tubuhnya untuk bergerak lalu memunguti satu persatu pakaiannya. Namun tangannya berhenti ketika mendapati sebuah kartu tanda pengenal.ID Card Pegawai hotel ini.[ Serra Adelina Putri. ]***“Apa kau yakin dia tinggal di apartemen itu? Bahkan, bangunan itu sama sekali tak terlihat layak ditinggali.” Gamma berbicara melalui telepon sembari terburu-buru menaiki anak tangga menuju kamar.Pria itu baru saja sampai di rumahnya. Memang tidak langsung ke kantor, ada beberapa laporan yang harus ia ambil dan juga beberapa materi rapat yang ia tinggalkan. Rambutnya tidak lagi acak-acakan, baju tidak lagi kusut dan tentunya ia telah menjadi direktur yang siap bekerja di pagi hari — jauh dari pertama ia bangun tidur di hotel tadi—mungkin orang yang melihatnya tak akan menyangka jika semalam ia hancur berantakan.[“Aku sangat yakin, Gamma. Awalnya aku sendiri memang tidak percaya karena tempat itu sungguh memprihatinkan. Tetapi, memang nyatanya seperti ini. Dari informasi yang aku peroleh, ia memang tinggal di sana. Serra Adelina Putri tinggal di kamar nomor 720. Tidak punya keluarga, dan bekerja sebagai pelayan hotel dengan gaji yang lebih rendah dari harga sewa apartemen.”]Kedua alis Gamma semakin bertaut dalam. Bagaimana bisa seseorang menyewa apartemen jika gaji yang diperoleh saja lebih rendah? "Apa katamu? Bagaimana bisa?""Ya, dia bisa mendapatkan apartemen itu dari Madam Lily, si Tua itu yang membiayai apartemennya. Itu informasi yang aku dapatkan dari orang di sana."Seorang pria menjelaskan dengan detail apa informasi yang baru saja ia dapat. Setelah menemukan ID Card tadi, Gamma meminta Wiliam —orang kepercayaannya—untuk menyelediki sang pemilik tanda pengenal itu.“Ada lagi?” tanya Gamma setelah membuka pintu kamarnya. Kini lelaki itu berjalan ke sudut ruangan dan mengambil berkas-berkas yang harus ia bawa.[“Sejauh ini, baru itu informasi yang aku dapatkan untuk Serra. Lagipula, untuk apa kau bertanya tentang gadis itu? Kurasa informasi ini sangat tidak penting.”]“Bukan, hanya .... beberapa hari lalu dia melamar sebagai office girl, aku hanya ingin tahu saja,” jawab Gamma bohong, tentu tak mau jika Wiliam menertawakannya karena kekonyolan yang sudah ia lakukan semalam bukan? Gamma kembali berdeham, “Lalu untuk Adam? Apa kau memiliki informasi tentangnya?”Wiliam bergumam pelan. [“Adam hari ini terbang ke Bali, dia mengambil jadwal penerbangan pagi. Dan, ya, dia pergi sendiri.”]Gamma menyimak setiap penjelasan Wiliam seraya merapikan berkas-berkas bertumpuk itu ke dalam sebuah map. Setelahnya, pria itu duduk dengan kepala yang bertumpu pada sikunya seraya memijat kepala yang terasa sedikit pusing.“Berapa hari dia pergi?”[“Menurut sekretarisnya, dia pergi lumayan lama, sekitar dua mingguan.”]“Baiklah, terima kasih, Will, tunggu aku di kantor aku punya sebuah rencana dan aku butuh kerja sama denganmu.”Sambungan terputus setelah Wiliam mengiyakan apa kata-kata Gamma. Pria itu kemudian mengatur napas sejenak. Tangannya kini sibuk mengurut pelipisnya sendiri.“Apa yang kau rencanakan, Sayang?” Mengetahui ada orang lain selain dirinya, Gamma menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sang ibu sedang berdiri membawa nampan berisi susu dan roti gandum. “Sepadat itu rencanamu, sehingga kau tak pulang semalam? Kau berhutang penjelasan padaku, Son.”“Bu? Maaf, semalam aku —”“Security dan Sekretarismu mengatakan jika pulang lebih awal.” Sang ibu meletakan segelas susu dan sepiring roti itu di meja Gamma. Sesaat kemudian, kedua netranya sejurus dengan manik hitam milik putranya. Menyusuri bulatan hitam itu begitu lekat, namun ada jawaban lain yang diberikan oleh mata Gamma.“Aku —”“Kau bahkan tidak menginap di apartemen Rossa.”Ah, andai bukan ibunya, Gamma sudah memperingatinya untuk tak menyebut nama wanita itu lagi. Ia hanya bisa mendengkus lemah.Baiklah, baiklah, berbohong jika ia tidur di kantor dan apartemen wanita itu rasanya tidak mungkin. Tidak ada pilihan. Akan lebih baik jika ia bicara apa adanya.“Aku menginap di hotel, Bu, semalam ada meeting di club dan selesai tengah malam, jadi karena terlalu lelah, aku checkin hotel saja, maaf tidak mengabari ibu.”Ibunya menggelengkan kepala saja. “Lain kali, kabari ibu. Biar ibumu ini tidak cemas.”Pria itu lantas mengangguk. “Em, nanti Gamma akan adakan makan malam bersama dengan keluarga Rossa. Tolong ibu urus ya untuk masalah makanan?”Raut wajah muram dari ibunya seketika berubah cerah. “Makan malam? Dalam rangka apa?”“Malam ini, kan, perayaan 4 tahun hubungan kami. Gamma ingin memberikan kejutan kepada Rossa,” ujarnya sembari menerbitkan sebuah senyum kecil di bibirnya.Tepat setelah agenda negosiasi dengan klien selesai, Gamma meminta Wiliam bertemu dengannya di ruang rapat. Ada beberapa hal penting yang harus dia diskusikan bersamanya. Tentang rencananya pada pesta nanti malam dan juga tentang Sera.Pikiran pria itu kini berkecamuk pada banyak hal. Sungguh ia tak bisa tenang sebelum memastikan bahwa perempuan itu tidak mengandung anaknya. Ia bahkan seperti remaja ABG yang sering berpikir berlebihan. Tidak bisa ia pungkiri kata-kata madam Lily tadi pagi benar-benar mengganggu pikirannya. Bagaimana jika benar perempuan itu hamil? Niatnya hanya ingin mencari pelampiasan, namun malah menimbulkan malapetaka!"Ada apa?" tanya Wiliam setelah ia mendudukan diri di depan Gamma. Namun, Gamma masih saja terbuai dalam lamunannya. Lantas Wiliam mengibaskan tangannya. "Gamma?" Gamma pun tersadar. Kemudian, ia mengambil sebuah flashdisk berwarna putih dari kantong jasnya dan menyerahkannya pada William."Nanti malam ada pesta makan malam bersama keluarga Rosa,
Dua minggu kemudian. Di tempat lain.Seorang perempuan sedang terduduk lemas, bibirnya pucat dan terkatup rapat menahan rasa mual masih mendominasi. Pagi ini sudah terhitung empat kali ia mengunjungi kamar mandi, menumpahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sera, merasa aneh dengan tubuhnya beberapa hari terakhir. Terlebih, selepas malam yang suram itu.Oh, tidak! Itu malam yang menjijikan baginya! Tangan Sera kini meremas-remas pakaian yang ia gunakan. Berulang kali dirinya menggigit bibirnya sendiri sembari memijit kepalanya yang terasa pening. Apa benar dugaannya, jika ada sesuatu yang tumbuh dalam tubuhnya? Ia gelisah, sungguh. Sudah dua minggu perempuan itu menantikan periode haid yang seharusnya datang satu minggu yang lalu, tetapi sampai hari ini ia tak kunjung mendapatkannya. "Aku harus bagaimana?" desahnya frustasi.Daya kerja otaknya untuk berpikir tiba-tiba menurun. Seperti orang bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa saat ia termenung, mengambil napas p
Pria bernama William itu menarik sudut bibirnya kembali. Berbeda dengan Gamma yang memasang muka datar dan bersedekap mengamati pembicaraan antara William dengan Sera. Lelaki itu memilih untuk sibuk dengan pikirannya sendiri."Kami menawarkan jalur alternatif agar masalah ini tidak berbuntut panjang dan merugikan kedua belah pihak," ujar William lalu menyerahkan bendelan kertas yang ia pegang kepada Sera, dan perempuan itu menerimanya.Sejenak, Sera kembali menatap kedua pria di depannya dengan seksama."Kami akan memberikan kompensasi yang setimpal, asalkan Anda tidak melaporkan Tuan Gamma kepada pihak yang berwajib dan membawa perkara ini ke jalur hukum," jelas William lagi.Sera gegas mencermati kata perkata dalam barisan kalimat itu dengan seksama. Dahinya terus berkerut dari awal kalimat hingga akhir paragraf. Dalam perjanjian itu, tertulis Sera sebagai pihak terkait yang bersedia untuk tidak menggugat Gamma, dan mereka akan memberikan kompensasi uang senilai 800 juta.Bagaimana
Gamma berdiri di depan sebuah kamar VIP rumah sakit dengan gelisah. Kedua tangannya masih berada pada saku celananya. Meski raut wajahnya masih tampak tenang dan datar, tak bisa dipungkiri saat ini Gamma sedang memikirkan banyak hal.Sedangkan Sera masih tergeletak lemas di atas brankar rumah sakit dalam ruangan itu. Perempuan itu harus menjalani rawat inap selama beberapa hari sampai kondisinya pulih dan stabil. Mau tidak mau Gamma harus menyetujui usulan dokter agar Sera beristirahat total. Lebih parahnya lagi sekarang ia sedang bersandiwara menjadi suami Serra. Dokter sudah memanggilnya beberapa saat yang lalu dan memberitahunya kabar yang seharusnya membuatnya bahagia— jika saja ia sudah menikah. Tetapi kali ini tidak. Kabar itu justru membuatnya pusing tujuh keliling.Gamma tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua ketakutannya selama dua minggu ini benar-benar terjadi. Malam yang kalap itu menghadirkan sebuah janin yang kini berusia dua minggu dalam perut Sera.Anaknya. Darah da
Suara ketukan pintu berkali-kali terdengar, tetapi tidak mampu membuat Gamma tersadar dari lamunannya yang entah sedang berada di mana. Pria itu duduk di bibir ranjang, menatap kosong pada jendela kamar yang sedang terbuka lebar.Seperginya Gamma dari rumah sakit tadi, entah mengapa sekarang ia merasa tidak tenang. Ada banyak hal yang bercampur menjadi satu dalam benaknya. Apa perempuan itu baik-baik saja? Batinnya bertanya-tanya. Namun, logikanya berusaha menyadarkannya. Kenapa juga dia harus peduli dengan Sera? Ah, perempuan itu semakin membuatnya pusing. Ditambah lagi, ia telah meloloskan kata-kata yang tidak ingin ia lakukan.Mungkin, kalimat yang tepat untuk Gamma saat ini adalah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua minggu lalu pernikahannya dengan Rosa batal, dan minggu depan, ia harus menikahi perempuan yang tidak ia inginkan hadir dalam hidupnya.Beberapa detik setelahnya terdengar suara pintu terbuka. William telah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu hanya bisa menggeleng ket
Suara ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai juga panggilan dari istrinya terdengar jelas di telinga Gamma. Wanita itu memanggil namanya berulang kali. Namun, pria itu berusaha mengabaikannya, menulikan telinga, bahkan mempercepat tempo langkahnya. Ia sedang memburu waktu untuk cepat-cepat berada dalam kantornya. Tetapi bukan Serra jika ia tidak memiliki tekad yang kuat. Sebelum suaminya menjauh, Serra buru-buru melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menyusul Gamma dan mengikutinya dari belakang. "Gamma! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menahan lengan Gamma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dengan malas. diiringi dengan decakan kesal yang keluar dari bibir pria itu. "Apa lagi? Kau membuang waktuku, aku harus bekerja!" tegurnya setelah membalikkan badan dan berhadapan dengan perempuan itu. Sementara Serra justru memberikan reaksi yang berbeda. Tatapannya datar dan rahangnya mengatup rapat. Tak berapa lama kemudian, Perempuan itu melemparkan map beserta kertas putih yang d
Di kantor. Gamma baru saja tiba di ruangannya setelah ia selesai rapat dengan kolega bisnisnya. Program pembangunan sebuah hotel yang berada di pulau Bali menguras Pikirannya hingga berakibat pada kepalanya yang terasa pening tiba-tiba. Padahal, pagi tadi ia sudah sarapan seperti biasa dan sudah makan siang sebelum rapat dimulai tadi. Pun biasanya ia tak ada masalah bila terlambat makan siang. Pria itu memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kini kian menjalar di kepalanya. Di susul dengan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya. Apa ia telah salah makan? Argumen itu tentu tidak mungkin, makanan yang dipesan sekretarisnya selalu dari tempat catering yang sama dan Gamma juga sudah berulang kali makan menu tersebut. Tidak ada masalah selama ini. Namun, siang ini ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Gamma lalu menekan-nekan layar pada ponselnya yang kini telah menyala dalam genggaman. Detik setelahnya ia mendekatkan benda pipih itu di telinganya. Pada dering yang ketiga barula
Aroma kaldu yang menguar di seluruh ruangan membuat lengkungan di bibir Serra terbit dengan sempurna. Ada senandung kecil yang ia nyanyikan setelah mencicipi hasil masakannya sore ini. Hari ini entah mengapa perutnya bisa diajak berkompromi. Bahkan, rasa mual yang beberapa hari belakangan menderanya juga seakan sirna, sekalipun ia mencicipi atau mencium bau amis.Sudah empat jam lebih pula ia berkutat di dapur hanya untuk memasak satu panci kecil sup ayam dan ikan nila goreng. Bukan tanpa alasan ia membuat dua menu itu, sejak kemarin keinginannya untuk menyantap makanan itu sangat besar.Ya, Serra memang sengaja memasak porsi kecil saja, itu pun sudah cukup untuknya dan Gamma—Jika pria itu mau.Besar harapannya agar pria itu mau makan malam di rumah ini. Walaupun sikap Gamma menyakitinya, tapi dalam hati yang paling dalam, ia ingin menjadi istri yang berbakti pada suaminya sendiri.Meskipun hanya sembilan bulan lamanya. Sekalipun Serra hanyalah istri yang terpaksa Gamma nikahi. Setida