Home / Rumah Tangga / Istri yang Terpaksa Kau Nikahi / BAB 2 — KARTU IDENTITAS

Share

BAB 2 — KARTU IDENTITAS

last update Last Updated: 2022-08-12 00:25:19

Dering suara ponsel memaksa Gamma membuka kelopak mata. Kedua alis spontan menyatu ketika rasa pening menyerang kepala dan lampu terang itu membuat indra penglihatannya harus beradaptasi dengan cahaya.

Gamma mengerang. Ia terduduk sembari memegang dahinya. Rasa mual telah membawa sebagian isi perutnya berada diujung kerongkongan. Apa yang terjadi semalam ia tak mengingatnya dengan baik, hanya ingatan samar sebuah runtutan kejadian yang membawanya ke hotel ini.

Ah, ya, ia telah dikhianati kekasihnya. Lalu apalagi ini? Bau alkohol yang sangat pekat, baju berserakan di mana-mana, bantal dan guling bahkan terlempar dari tempat seharusnya. Lalu botol-botol minuman yang jumlahnya lebih dari tiga itu juga tergeletak begitu saja di lantai. Kamar hotel ini bagaikan kapal pecah.

Kacau.

Gamma lalu menyingkap selimut yang ia gunakan, and than, Damn! Dia tak mengenakan sehelai benang pun. Perlahan-lahan, ingatan Gamma mulai muncul walau masih berupa potongan puzzle. Semalam ia menghabiskan malam dengan bersenang-senang. Bersama dewi malam yang ... masih virgin, mungkin.

Ia pikir begitu karena ia melihat bercak darah yang cukup banyak di tempat tidurnya.

Gamma lalu meraih ponsel —yang masih berdering—yang tak jauh dari posisinya. Setelah berhasil membaca dengan baik siapa penelponnya, ia kemudian mengusap layar untuk menjawab panggilan.

Madam Lily.

"Ya, Madam?" jawab Gamma sedikit menahan mualnya.

["Gamma, Sesuai dengan pesan yang kukirim semalam, Aku janji, akan mengirimkan penggantinya malam ini. Gratis kau tak perlu membayar."]

Dahi laki-laki itu spontan berkerut. "Pengganti apa maksudmu, Madam?"

["Apa kau tak membaca pesanku? Semalam, Laura tidak bisa ke kamarmu karena dia jatuh dari tangga saat ingin turun dari lantai club dan sepertinya cideranya cukup parah."]

"Kau tak perlu minta maaf, Madam, justru aku yang harus berterima kasih karena kau sudah mengirimkan seorang gadis padaku."

["Gadis? Hei, berapa botol minuman yang kau teguk hingga pagi ini kau masih berhalusinasi?"]

"Ck! Aku sadar, aku tidak berhalusinasi. Bukankah, Madam sendiri mengirimkan aku gadis perawan?"

["Astaga, Jika aku mengirimkan gadis itu aku tak perlu repot-repot menelponmu, Gamma. Dan, ya, jaman sekarang sangat sedikit populasi gadis, kau harus ingat itu."]

Gamma menyugar rambutnya. Mendadak panik dan bingung siapa perempuan yang bercinta dengannya semalam? "A–apa? Jadi Madam tidak mengirim siapapun?"

["Sungguh, aku tidak mengirim siapapun, Gamma. Aku baru akan mengirimkannya malam ini. Bagaimana? Apa kau memberiku maaf untuk kesalahan ini?"]

Gamma terdiam sesaat berusaha mencerna kata-kata Madam Lily dan menggabungkan peristiwa yang ia ingat dengan baik. Namun pada akhirnya ia memilih menyerah sebelum mendapat jawaban. “Ck! Kau tak perlu mengirimkan siapapun lagi, Madam,” ujarnya kemudian.

["Jika kau berkata begitu, baiklah. Tetapi aku masih penasaran dengan siapa kau bermain semalam? Jika benar masih virgin, kau harus bertanggungjawab, Gamma. Karena bisa jadi perempuan yang kau jamah semalam adalah gadis baik-baik."] Madam Lily berkata dengan nada menakut-nakuti. ["Dan .... Pikirkan kemungkinan, Bagaimana jika dia hamil anakmu?"] Dengan tawanya yang menggelegar, sambungan telepon itu diputus oleh Madam Lily.

Gamma meremas rambutnya frustasi setelah melempar ponselnya ke arah samping. Damn, it! Kenapa bisa salah seperti ini? Bagaimana jika gadis itu benar-benar hamil? Sungguh ia tak melihat satu pun benda elastis yang selalu ia bawa kemana-mana itu.

Tidak lucu jika ia dituntut karena menghamili seorang perempuan yang tidak ia kenal, bukan? Ia tak yakin dengan darah itu. Namun kondisi saat ia terbangun sudah memperkuat hipotesa.

Gadis baik-baik?

Tidak mungkin! Jika benar gadis baik-baik maka tidak akan pergi ke tempat seperti ini. Ah, Gamma tak ingin memikirkan itu. Kepalanya makin berdenyut nyeri saja.

Perlahan Gamma beranjak dari tempat tidurnya, dengan kepala pening, ia memaksa tubuhnya untuk bergerak lalu memunguti satu persatu pakaiannya. Namun tangannya berhenti ketika mendapati sebuah kartu tanda pengenal.

ID Card Pegawai hotel ini.

[ Serra Adelina Putri. ]

***

“Apa kau yakin dia tinggal di apartemen itu? Bahkan, bangunan itu sama sekali tak terlihat layak ditinggali.” Gamma berbicara melalui telepon sembari terburu-buru menaiki anak tangga menuju kamar.

Pria itu baru saja sampai di rumahnya. Memang tidak langsung ke kantor, ada beberapa laporan yang harus ia ambil dan juga beberapa materi rapat yang ia tinggalkan. Rambutnya tidak lagi acak-acakan, baju tidak lagi kusut dan tentunya ia telah menjadi direktur yang siap bekerja di pagi hari — jauh dari pertama ia bangun tidur di hotel tadi—mungkin orang yang melihatnya tak akan menyangka jika semalam ia hancur berantakan.

[“Aku sangat yakin, Gamma. Awalnya aku sendiri memang tidak percaya karena tempat itu sungguh memprihatinkan. Tetapi, memang nyatanya seperti ini. Dari informasi yang aku peroleh, ia memang tinggal di sana. Serra Adelina Putri tinggal di kamar nomor 720. Tidak punya keluarga, dan bekerja sebagai pelayan hotel dengan gaji yang lebih rendah dari harga sewa apartemen.”]

Kedua alis Gamma semakin bertaut dalam. Bagaimana bisa seseorang menyewa apartemen jika gaji yang diperoleh saja lebih rendah? "Apa katamu? Bagaimana bisa?"

"Ya, dia bisa mendapatkan apartemen itu dari Madam Lily, si Tua itu yang membiayai apartemennya. Itu informasi yang aku dapatkan dari orang di sana."

Seorang pria menjelaskan dengan detail apa informasi yang baru saja ia dapat. Setelah menemukan ID Card tadi, Gamma meminta Wiliam —orang kepercayaannya—untuk menyelediki sang pemilik tanda pengenal itu.

“Ada lagi?” tanya Gamma setelah membuka pintu kamarnya. Kini lelaki itu berjalan ke sudut ruangan dan mengambil berkas-berkas yang harus ia bawa.

[“Sejauh ini, baru itu informasi yang aku dapatkan untuk Serra. Lagipula, untuk apa kau bertanya tentang gadis itu? Kurasa informasi ini sangat tidak penting.”]

“Bukan, hanya .... beberapa hari lalu dia melamar sebagai office girl, aku hanya ingin tahu saja,” jawab Gamma bohong, tentu tak mau jika Wiliam menertawakannya karena kekonyolan yang sudah ia lakukan semalam bukan? Gamma kembali berdeham, “Lalu untuk Adam? Apa kau memiliki informasi tentangnya?”

Wiliam bergumam pelan. [“Adam hari ini terbang ke Bali, dia mengambil jadwal penerbangan pagi. Dan, ya, dia pergi sendiri.”]

Gamma menyimak setiap penjelasan Wiliam seraya merapikan berkas-berkas bertumpuk itu ke dalam sebuah map. Setelahnya, pria itu duduk dengan kepala yang bertumpu pada sikunya seraya memijat kepala yang terasa sedikit pusing.

“Berapa hari dia pergi?”

[“Menurut sekretarisnya, dia pergi lumayan lama, sekitar dua mingguan.”]

“Baiklah, terima kasih, Will, tunggu aku di kantor aku punya sebuah rencana dan aku butuh kerja sama denganmu.”

Sambungan terputus setelah Wiliam mengiyakan apa kata-kata Gamma. Pria itu kemudian mengatur napas sejenak. Tangannya kini sibuk mengurut pelipisnya sendiri.

“Apa yang kau rencanakan, Sayang?” Mengetahui ada orang lain selain dirinya, Gamma menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sang ibu sedang berdiri membawa nampan berisi susu dan roti gandum. “Sepadat itu rencanamu, sehingga kau tak pulang semalam? Kau berhutang penjelasan padaku, Son.”

“Bu? Maaf, semalam aku —”

“Security dan Sekretarismu mengatakan jika pulang lebih awal.” Sang ibu meletakan segelas susu dan sepiring roti itu di meja Gamma. Sesaat kemudian, kedua netranya sejurus dengan manik hitam milik putranya. Menyusuri bulatan hitam itu begitu lekat, namun ada jawaban lain yang diberikan oleh mata Gamma.

“Aku —”

“Kau bahkan tidak menginap di apartemen Rossa.”

Ah, andai bukan ibunya, Gamma sudah memperingatinya untuk tak menyebut nama wanita itu lagi. Ia hanya bisa mendengkus lemah.

Baiklah, baiklah, berbohong jika ia tidur di kantor dan apartemen wanita itu rasanya tidak mungkin. Tidak ada pilihan. Akan lebih baik jika ia bicara apa adanya.

“Aku menginap di hotel, Bu, semalam ada meeting di club dan selesai tengah malam, jadi karena terlalu lelah, aku checkin hotel saja, maaf tidak mengabari ibu.”

Ibunya menggelengkan kepala saja. “Lain kali, kabari ibu. Biar ibumu ini tidak cemas.”

Pria itu lantas mengangguk. “Em, nanti Gamma akan adakan makan malam bersama dengan keluarga Rossa. Tolong ibu urus ya untuk masalah makanan?”

Raut wajah muram dari ibunya seketika berubah cerah. “Makan malam? Dalam rangka apa?”

“Malam ini, kan, perayaan 4 tahun hubungan kami. Gamma ingin memberikan kejutan kepada Rossa,” ujarnya sembari menerbitkan sebuah senyum kecil di bibirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (13)
goodnovel comment avatar
Ratih Fitriya
kejutan mau bongkar perselingkuhan Rosa
goodnovel comment avatar
Nova Vaw
Cuman video
goodnovel comment avatar
Meida Sitanggang
good good good
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri yang Terpaksa Kau Nikahi   BAB 286 — AKHIR YANG BAHAGIA

    “Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi

  • Istri yang Terpaksa Kau Nikahi   BAB 285 — PANGGIL SAJA DIA PAPA

    “Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen

  • Istri yang Terpaksa Kau Nikahi   BAB 284 — BERDAMAI DENGAN MASALAH

    “Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be

  • Istri yang Terpaksa Kau Nikahi   BAB 283 — GET WELL SOON, GRANDMA!

    “Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak

  • Istri yang Terpaksa Kau Nikahi   BAB 282 — I MISS YOU SO MUCH, SON!

    Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke

  • Istri yang Terpaksa Kau Nikahi   BAB 281 — KEINGINAN ANEH

    Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status