Halo, terima kasih atas ucapan yang diberikan untuk author. semoga doa baik juga kembali kepada readers semua yah! Gimana part ini? kira-kira apa yang terjadi dengan Rena ya?
"Gamma, sebenarnya kita mau kemana?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Serra tatkala mobil yang dikemudikan oleh sang suami tak kunjung tiba di tempat tujuan. Sudah 30 menit lamanya waktu yang telah mereka lalui, tentu membuat Serra bertanya-tanya sejauh apa te.pat yang akan mereka kunjungi malam ini? Lalu, sebenarnya acara apa yang akan ia hadiri bersama sang suami? Pertanyaan itu juga masih belum terjawab oleh Serra.Sedangkan Gamma yang duduk di kursi kemudi, hanya melirik sekilas sang istri dari balik kaca mata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya.Lelaki itu kemudian menggeser pandangannya kembali fokus kepada jalanan yang cukup padat di malam hari. Ah, sebenarnya Gamma sudah memilih jalan alternatif agar cepat sampai tujuan mereka. Sayangnya, tetap saja ada ribuan kendaraan yang sedang memadati jalanan itu."Gamma?" panggil Serra kembali karena Gamma masih enggan membuka suaranya. Dengusan napas kasar terdengar dari Gamma. "Ikut saja dulu. Nanti kau juga tahu, Ra!" jawab
Kotak merah berlapis kain beludru itu terbuka. Menampilkan sebuah kalung emas dengan sebuah liontin berbentuk bunga yang penuh dengan permata. Lalu di sebelahnya, ada sebuah cincin juga dengan permata bunga yang cukup besar dan sebuah gelang. Serra yakin, semua perhiasan itu bukan berasal dari toko emas biasa. Serra tahu itu karena kotak itu sendiri sudah membawa nama "diamond" pada nama toko yang terbordir kecil di bawah penutupnya. Lalu, Permata yang ada di hadapan Serra saat ini berkilauan. Ia jamin siapapun yang melihat benda-benda di dalam kotak itu akan terpana. Serra semakin yakin ketika pengakuan dari suaminya meluncur bebas dari bibirnya, "Aku memesannya khusus untukmu. Di toko perhiasan langganan ibu. Kau suka?"Andai Gamma tahu, bahwa Serra lebih dari suka. Dan, Sungguh sampai saat ini Serra masih terngaga. Tidak percaya bila ia akan mendapat sebuah hadiah yang begitu luar biasa dari Gamma,suaminya."Ga—Gamma? Ini .... Untukku?" Serra melontarkan pertanyaan itu untuk Gam
Sepasang kaki jenjang milik Gamma melangkah dengan lebar. Pria itu berusaha menyamakan langkah dengan sang istri yang juga sedang berjalan dengan setengah berlari. Entah apa yang terjadi, Gamma juga belum bisa memastikannya. Tetapi dalam hati putra tunggal Pranadipta itu hanya bisa menebak ada sesuatu yang terjadi dengan Rena – Adik Serra – karena berhubungan dengan rumah sakit. Selain itu, wajah sang istri terlihat bergitu khawatir dan cemas. Bahkan mungkin sampai lupa bila ada sebuah janin yang rentan dalam perutnya yang masih rata. Di sisi lain, Serra masih berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ada dalam kepalanya saat ini adalah segera sampai di rumah sakit, tidak peduli dengan lalu Lalang dan keramaian di koridor restaurant. Beberapa kali Serra juga hampir menabrak seseorang karena tidak fokus. Ya, Wanita itu mendadak kalut Setelah mendapatkan kabar dari madam Lily bahwa sang adik sedang kritis dan kini berada di ruang ICU. “Ra! Serra, tunggu!” teriak Gamma berusaha mengejar sang i
Langkah kaki Serra terhenti ketika sepasang matanya menangkap Seorang pria berkemja putih yang sedang berdiri di depan pintu ruangan bertuliskan ICU. Itu William, adik iparnya. Lelaki itu sedang bersandar pada sebuah dinding berkelir biru muda, kedua tangannya terlipat di depan dada dan kepala mendongak seakan meredam air mata yang sempat jatuh terlalu deras. William seraya mengigit bibirnya sendiri serta menggelengkan kepalanya kea rah Serra dan Gamma. Serra sendiri tidak tahu mengapa tangan kanan suaminya itu berada di tempat ini. Tidak hanya itu saja, penampilan William malam ini terlihat kacau. Mata yang sembab dan berair, juga pakaian kantornya yang terlihat sudah kusut. Tubuh perempuan itu semakin menegang ketika melihat Madam lily sudah duduk dengan keadaan lemas pada sebuah kursi. Tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tetapi melihat kedua insan di hadapannya saat ini sudah menggambarkan bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat ini kepala Serra hanya berisi pertanya
Gamma mendaratkan tubuhnya pada kursi di samping sebuah brankar berwarna biru muda, tempat dimana Serra — istrinya — berada dengan hati-hati. Sekarang ini Gamma dan Serra sedang berada di Unit Gawat Darurat. Seorang tenaga medis memanggilnya saat sang istri baru saja membuka mata setelah beberapa saat yang lalu sempat tak sadarkan diri. Melihat kondisi Serra saat ini, ulu hatinya terasa sakit bak ditikam belati tajam. Perempuan yang tengah mengandung anaknya itu tergeletak lemas tak berdaya, kedua matanya bengkak dan berair bahkan sampai saat ini masih terus mengeluarkan cairan bening itu.Ia tahu, hati Serra pasti terluka.Di samping perempuan itu sudah berdiri seorang perawat juga seorang dokter yang sedang mengisi sebuah dokumen.Pria yang masih mengenakan sweater berwarna kuning gading itu, berusaha menguntai sebuah senyum. Ia harus lakukan itu untuk memberi dukungan kepada Serra, meski saat ini kepala Gamma terasa mau pecah. Tidak tahu hal yang mana duku yang akan ia lakukan. Pr
Tenggorokan Gamma saat ini terasa kering kerontang bak tak dialiri air selama beberapa hari. Pria itu susah payah menelan ludahnya sendiri. Dalam hati ia juga merutuki kebodohannya yang tak sempat berpikir dan menyusun scenario agar tak menemui kejanggalan seperti ini. Namun, Semua itu di luar kendalinya. Rena mendadak kritis juga tak pernah ia duga bahkan ketika sampai di tempat ini lalu dokter menyatakan adik iparnya meninggal, itu juga bukan rencananya. Hah! Rumit! Jika sudah begini, Gamma harus menajwab bagaimana? Apakah ini waktunya jujur dengan Serra bahwa memang ia yang membiayai semua keperluan Rena di rumah sakit selama ini? Ah, tapi jangan! Ia tidak mau Serra terkejut kembali apalagi bila mengetahui Gamma telah mendonorkan darah untuk Rena. “Kenapa kau diam, Gamma?” tegur Serra ketika suaminya belum juga menjawab pertanyaan yang ia berikan beberapa saat lalu. Pria yang telah menjadi suami sah Serra itu lantas membuang napas pelan. Selanjutnya tangan kekar Gamma bergerak m
Suasana duka menyelimuti makam milik keluarga Pranadipta, Pilu yang sejak hari lalu bertalu kini menimbulkan bekas yang membiru dalam kalbu. Bahkan awan turut mengabu, seakan berkabung untuk hati yang sendu. Cuaca pagi ini mendung. Awan-awan gelap itu tampak menggantung dan sebentar lagi bersiap menghujam bumi dengan hujan. Rintik kecil mulai bermunculan walau jarang. Meskipun hanya beberapa orang yang berkumpul di tempat ini, akan tetapi dukungan dan doa yang diberikan untuk Rena terasa begitu kuat. Rasa kehilangan yang dalam menggerakkan hati mereka untuk tulus mngiringi kepergian Rena dengan doa-doa. Di antara orang-orang yang sedang berdiri mengelilingi pusara bertabur bunga mawar itu hanya Serra, Romana, William, juga Gamma yang berjongkok seraya menabur beberapa sisa kelopak bunga di atas gundukan tanah yang basah itu. Ya, jenazah Rena sudah dikebumikan beberapa saat yang lalu. Serra tidak lagi menangis, walau beberapa kali sempat terlihat oleh Gamma bagaimana istrinya menye
“Ada apa denganmu, Will?” Gamma menghampiri sang adik yang sedang menatap kosong ke arah jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tetapi bisa Gamma lihat dengan jelas bagaimana wajah kacau adiknya itu. Sebelumnya ia tak pernah melihat William sekalut ini, sekalipun masalah yang sedang mereka terima cukup rumit dan buruk. Bahkan lelaki itu tak menoleh kala Gamma menyapanya. “What are you doing?” tanya Gamma seraya menepuk bahu William membuat laki-laki berbaju biru itu berjingkat karena terkejut. “Kau? Hah! Kau membuat jantungku hampir meledak, sialan!” William membuang napas kasar seraya memegang dadanya yang kini berdentam hebat. Lelaki itu memejamkan mata kemudian memperbaiki aliran napasnya sendiri. “Kenapa kau ke sini tidak ketuk pintu, sih?” Seketika itu juga tertawa. “Oiya? Asal kau tahu, Aku sudah mengetuk pintu bahkan memanggilmu tetapi kau tidak menyahut, malah melamun ke arah jendela seperti pria yang sedang putus cinta!” Desahan panjang keluar dari bibir William. “