Charlie POVPanggilanku sudah berkali-kali tidak dijawab oleh Dita. Membuatku panik, hingga di kesekian kalinya barulah panggilanku tersambung. Namun suara akrab yang menjawab itu membuatku meninggalkan rapat besar.Bahkan ayah sampai bingung. Tidak, persetan dengan semua acara itu. Kenapa…kenapa suster Theresa yang menjawab?Begitu tiba di panti asuhan, suster Theresa mengantarku ke ruang tamu. Tempat dimana Dita sedang tertidur pulas di sofa.“Kau mengenal nak Dita, Charlie?”“Kenapa suster kenal?”“Tentu saja, dia dulu dirawat disini waktu kecil. Namun itu tidak lama, karena dia mendapatkan beasiswa.”“Beasiswa?”Mendengar penjelasan itu membuatku bingung. Kenapa Dita selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah wanita yang selama ini aku cari?“Sus, kau ingatkan dulu aku sering datang kemari dan mencari gadis yang tiba-tiba pergi?” aku menatap suster Theresa serius.“Iya.”“Berapa banyak anak yang diterima beasiswa?”“Hanya Dita yang sesuai dengan ciri-ciri yang kau berikan. T
Dita POVPagi sekali aku sudah berangkat menuju rumah sakit, meninggalkan Charlie yang pagi itu masih tertidur sangat lelap. Aku bahkan berusaha untuk melepas tangannya dari pinggangku.Resepsionis masih sepi, aku memeriksa beberapa berkas-berkas obat yang masuk. Namun kali ini ada yang aneh, ada beberapa jenis obat merek baru yang masuk. Apa ini ada hubungannya dengan percakapan itu?Berulang kali aku memastikan bahwa tidak salah, namun perkiraanku tidak meleset. Sepertinya ada yang aneh dengan sistem rumah sakit dalam beberapa bulan terakhir.Suara langkah membuatku buru-buru menutup berkas itu. Dan wajah wanita yang paling kubenci muncul dihadapanku. Dokter Lady. Wanita itu menatapku rendah.Dia terus berjalan memasuki ruang bangsal, berhenti selangkah didepanku. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, namun itu bukan hal yang baik.“Ada apa…”ByurrrBadanku mematung, mataku menatap Lady tidak percaya. Dia menyemburkan air dingin padaku, bahkan aku tidak tahu jika dia akan melakukann
Charlie POV“Bagaimana keadaannya?”“Sudah jauh lebih baik, tuan muda. Rumah sakit itu berafiliasi dengan kita, namun ada yang aneh.”Laporan Yuan cukup memberikanku alasan untuk membunuh para koruptor itu hari ini. Apa mereka pikir sebagai pihak swasta kami akan diam saja? Negara ini difasilitasi oleh banyak investor. Tetap saja akan ada oknum yang menginginkan harta lebih.Padahal sudah diberikan fasilitas yang menunjang. Dasar manusia memang tidak akan pernah puas dengan apa yang mereka miliki.“Kartu Merah.”“Kami akan melakukan eksekusi, tuan Muda. Perintah diterima, ah iya, perintah dari tuan Xu, akan ada makan siang di rumah hari ini. Beliau juga ingin melihat Dita.”“Sejak kapan ayah kembali?”“Pagi ini, dijemput di bandara militer.”“Baiklah, aku akan pergi.”Ruangan sepi begitu Yuan dan orang-orang kepercayaan lainnya pergi. Cahaya matahari menembus melewati jendela, membuat semua terlihat jelas. Kadang aku berpikir, sampai kapan harus menjalani hidup seperti ini?Meski aku
Sepanjang perjalanan menuju rumah, mobil benar-benar hening. Sesekali Charlie menatap Dita yang hanya diam saja, tidak mengatakan apapun. Termenung menatap ke arah jendela. Entah karena pernikahan yang mendadak atau apa, Charlie tidak cukup paham. Di lampu merah, mobil mereka berhenti. Dita menatap ke arah kelap-kelip lampu malam. Pikirannya benar-benar dipenuhi berbagai pertanyaan saat bermimpi semalam. Ada hal yang salah. Dita menarik nafas dalam, dia tidak duduk dengan tenang di kursinya. “Pakailah, udara begitu dingin. Kita akan tiba sebentar lagi.”Tubuh Charlie yang mendadak mendekat membuat Dita perlahan memundurkan badan, namun tatapannya terkunci oleh manik milik Charlie. Keduanya tenggelam dalam tatapan itu dengan waktu yang cukup lama. Sebelum Dita menyadari keadaan itu dan hendak memalingkan wajahnya. Namun Charlie jauh lebih gesit. Dia menahan wajah Dita agar tetap menghadapnya. Membuat Dita gugup. “Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa itu perkara pernikahan itu? Aku ju
Dita duduk di taman tidak jauh dari rumahnya. Dengan pakaian yang masih sama. Dia bahkan belum sempat menggantinya. Tidak lama Dita kembali menangis, namun bukan karena masalah di rumah. Tapi karena merasa janggal dengan isi hati dan pikirannya. Seolah ada kehidupan lain yang sedang menunggunya. “Kenapa…kenapa sakit sekali disini,” bisik Dita menunjuk dadanya. Dia merasa kehilangan seseorang. Disamping hatinya, Dita menyadari bahwa dia tidak sempurna, dia paham bahwa itu menjadi kekurangannya. Menikah dengan Firdaus, awalnya membuat Dita senang. Namun lama-lama ibu mertuanya dan Bella semakin mengolok-olok dirinya yang tidak kunjung hamil. Kebencian itu semakin hari semakin bertambah. Dita tidak tahu harus mengeluh kepada siapa. Ibunya di kampung pasti akan merasa sedih mengetahui dirinya seperti ini. Bahkan kepada ibunya, Dita tidak pernah melakukan yang terbaik. Setiap membeli kado, Dita membeli yang termurah. Itu benar-benar menyakiti hatinya. Namun apa yang harus Dita lakukan
“Dari mana saja kau? Aku menyuruhmu untuk mengerjakan laporan medis tapi tidak kunjung selesai juga?” Justin meneriaki Dita begitu wanita itu muncul di meja resepsionis. Dita dengan panik mencari keberadaan Aminah. Wanita itu sudah berjanji untuk melakukan tugasnya.“Dok, tadi saya menjenguk pasien. Jadi….”“Halah, alasan. Kau ini sama seperti suamimu, tidak berguna sama-sekali. Jika kau tidak bisa bekerja dengan baik, maka jangan berada di rumah sakit ini.”Justin membenci Firdaus.Awalnya dia tidak sebenci itu pada Dita. Namun karena mengetahui wanita itu adalah istri rivalnya, dia jadi membencinya juga. Semua orang yang berhubungan dengan Firdaus, dia membenci mereka.“Maaf dok, saya akan segera menyelesaikannya.”“Tidak usah. Kamu itu tidak bisa diandalkan memang.” Justin pergi melengos begitu saja.Dita mengepalkan tangannya, segera duduk di kursi dan mulai mengetik lagi. Sosok yang sejak tadi dia cari baru saja menampakkan wujudnya setelah 15 menit berlalu. Sekarang hanya ada me
“Permisi sus, bagian resepsionisnya dimana ya?”Langkah Dita berhenti saat melewati taman di depan lobby. Wanita yang sepertinya berusia 40 tahunan berdiri di depannya dengan 2 anak kecil yang sepertinya berusia 6 dan 8 tahun. Wajah wanita itu sedikit kusam. Dita tersenyum.“Ibu tinggal masuk saja ke dalam, lalu tepat di depan pintu akan ada meja resepsionis. Atau tunggu sebentar.” Dita menghampiri satpam yang berjaga di depan pintu. “Mas…tolong antarkan ibu ini ke meja resepsionis ya.”Seorang satpam yang usianya masih muda hanya menatap Dita. Tidak mengindahkan permintaan itu sama-sekali. Untungnya ada satpam lain yang usianya sudah lanjut, segera menghampiri Dita dengan tersenyum. “Oh iya mbak Dita.”“Makasih ya sus.” Dita mengangguk dan segera menuju ke kantin. Perutnya sudah kelaparan sejak tadi, dan dia harus segera mengisinya sebelum kembali bekerja lagi. Perasaan Dita hancur, tadi pagi ibu mertuanya datang dan kembali mencerca dirinya.Itu adalah pagi yang lebih buruk. Terle
Maaf. Sepertinya saya tidak bisa nanti malam.Charlie menghela nafas. Dia tengah duduk sendirian di restoran, sambil membaca pesan dari Dita. Makanan di depannya belum disentuh sama-sekali. Hari ini adalah ulang tahunnya, Charlie berharap bisa menghabiskan malam ini bersama dengan seseorang untuk kali ini saja.Tapi…sepertinya keinginannya tidak akan pernah terjadi.Harapannya selalu pupus, dan mungkin Charlie tidak beruntung kali ini. Gambar makanan di atas meja baru saja terkirim pada Dita. Lalu dia meletakkan ponselnya di atas meja. Menatap kosong bangku di depannya.Beberapa pelayanan menatap iba Charlie.“Permisi Mr.Charlie.”“Ah iya? Ada apa ya?” tatapan Charlie jatuh pada seorang pelayan yang berdiri di sebelahnya.“Selamat ulang tahun, ini ada kue ulang tahun dari pemilik restoran. Anda selalu menghabiskan malam hari di saat ulang tahun Anda di sini. Beliau menyampaikan bahwa anda orang yang hebat.”“Benarkah? Terima kasih atas hadiahnya.”Potongan kue itu dan tulisan kecil di