Santi terdiam dia tak menyangka sekarang justru Ani yang datang, bersama Rika sang adik ipar yang terlihat masih melamun."Sudah hampir seminggu, kapan kau balik ke kota, Ka. Bukankah kau bilang cutimu hanya seminggu?""Memangnya kenapa kalau Rika masih disini. Kau tak perlu mengurusi anakku, Santi."Sekali lagi Santi terkejut mendengar suara ibu Alam. Wanita itu terlihat kesal padanya, sebenarnya apa yang salah dari pertanyaannya."Rika sudah di pecat dari pekerjaannya. Rumah sakit tak mau memiliki pegawai yang punya skandal dengan suami orang.""Kau juga tak perlu buka mulut selebar itu, Ani. Dasar mulut ember, apa tak bisa kau saring informasi sebelum kau sebarkan."Kali ini Ani yang kena omelan ibu mertuanya. Sedangkan Santi hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Dia tak tau kalau Rika sekarang benar-benar sudah hancur.Kuliah begitu lama dan mengabiskan banyak biaya. Hancur dalam waktu sekejab karena kebodohan diri sendiri."Kau tak perlu memikirkan apa-apa la
"Terima kasih, Ka. Semoga kau bisa terus bahagia, tanpa mengingat apa yang telah terjadi."Rika tersenyum dan menganggukkan kepala. Asal bisa membalas Asma dia sudah sangat senang, tak perduli meski hidupnya telah di hancurkan wanita itu."Mas juga akan usahakan untuk mendapatkan uang untuk modal usahamu, meski harus mengadaikan rumah ini. Sebelum itu mas akan mencoba meminjam ke kantor terlebih dahulu."Terlihat sang ibu menarik napas lega, sebenarnya dia tak rela kalau rumahnya harus di gadaikan. Dia takut tak bisa di tebus lagi.Tok..tok...tok..Mereka terkejut saat mendengar pintu diketuk dengan sangat keras. Alam bergegas membuka pintu, karena ingin tau apa yang membuat seseorang mengetuk rumah orang, dengan cara seperti kesetanan."Santi apa yang kau lakukan? Ini rumah orang. Ada caranya untuk mengetuk pintu kalau mau bertamu."Alam berkata dengan keras agar Santi tau perbuatannya membuat semua orang di dalam rumahnya terkejut."Aish ... minggir mas aku mau masuk, ada yang penti
Aku menangis memeluk tubuh tua ibuku. Wanita yang berjuang demi menjaga cucunya yang harus dia rawat, karena bapaknya tak mau melihatnya. Sedang sang ibu terlalu takut menjadi janda, terutama takut anaknya jadi yatim. Hari itu dengan berat hati meninggalkan anakku pada ibu, hanya dia yang bisa aku percayai untuk merawatnya."Kau terlalu bodoh, Asma. Takut anakmu jadi yatim nyatanya sekarang dia bernasib seperti yatim piatu. Tanpa ayah dan tanpa ibunya, kau memilih jalan yang salah dengan membuang anakmu ke kampung."Bagaikan ditampar aku baru sadar saat mendengar ucapan Mak Ijah. Tanpa sadar aku mengorbankan anakku, demi menuruti permintaan mas Alam.Sehari setelah kembali dari kampung. Aku duduk di warung Mak iJah disitulah dia berkata sesuatu yang membuatku sadar dan membuka mata."Bertahanlah sebentar lagi, Nak. Bujuk suamimu agar dia melembutkan hatinya. Bayi ini anak kalian sejelek apapun wajahnya."Ibu yang bijaksana memberiku waktu untuk membuat mas Alam mengerti, kalau dia te
Aku terkejut saat sebuah pesan menujukkan sebuah bukti transferan. Aku minta mbak Carisa memeriksa karena uang penjualan itu langsung masuk ke rekeningnya. Aku takut memegang uang dagangan takut diambil mas Alam.Tak takut ditipu mbak Carisa jawabanku tidak, karena dia sudah menyerahkan uang hasil penjualan sebagai reseller. Walau tak semuanya."Sudah puluhan juta hasil penjualan sebagai reseller, Mbak Asma. Untuk amannya bawa ibumu kemari biar tinggal di rumahku sementara, kita bicarakan cara menyimpan uangmu."Aku bersyukur sekali ada pasangan itu yang menolong. Hingga aku bisa berdiri sendiri dan bersiap untuk membalas perbuatan mas Alam dan ibunya."Ini akte cerainya kau sudah bebas dari Alam, Mbak Asma."Aku memeluk kertas itu ada rasa lega karena telah berpisah secara resmi. Sang pengacara menolak ketika aku berikan amplop yang sudah aku sediakan, alasannya dia membantuku gratis tanpa biaya.Aku semakin bersyukur banyak orang baik yang bersedia menolongku dengan iklas saat itu.
"Masuklah aku sengaja menyewa rumah ini untuk setahun. Gunanya untukmu tinggal sementara, sampai rumah mbak Asma selesai.""Ma...ma..."Suara itu lagi aku kira berhalusinasi, ternyata ibu memang tak pulang ke kampung."Rumah nenek sudah ibu jual, atas ijin paman dan bibimu. Mereka ingin membantumu, karena itu mereka tak minta bagian dalam penjualan rumah."Jadi ibu akan tinggal di sini bersamamu, begitu juga dengan Lidya nanti kita bicarakan soal hak adikmu, untuk saat ini kau harus berdiri tegak dulu."Lidya, aku baru ingat adik kecilku itu. Dimana dia sekarang, tak mungkin masih di kampung?"Aku disini Mbak tak perlu mencari kemana-mana. Maaf semalam tak bisa ikut main ke kolam renang, karena sibuk mendaftar kuliah."Aku berlari dan memeluk adik kecilku, dia pasti membantu ibu merawat keponakannya setelah pulang sekolah, dia baru tamat dan sekarang baru mendaftar kuliah disini."Tak usah banyak drama ayo kita sarapan."Mak Ijah keluar dari dapur, dia mengajak sarapan tapi dengan nad
(Semua beres Bu, aku sudah berhasil mengambil sertifikat Asma. Sekarang silahkan jadikan dia pembantu di acara lamaran Rika. Begitu juga di acara pernikahan, setelah itu aku akan menendangnya.)Asma tengah berdiri di bawah jendela kamarnya. Saat mendengar percakapan Alam dan ibunya. Wanita itu hanya tersenyum meski tau, barang berharganya telah di curi.(Iya Bu aku sudah mendapatkan nomor bang Danu, dari Ari anak pak Jono.)Saat itu Alam terdengar sangat bahagia. Seolah tak berpikir kalau Asma istrinya, kalau bercerai harus merawat anak kandungnya.Di bawah jendela Asma hanya mampu memukul pelan dadanya, karena mencoba menghilangkan sakit di dalam sana.(Segera Bu, begitu dapat uangnya. Kita langsung membuat rencana pesta dan decorasi pernikahan Rika. Iya kita buat besar-besaran.)"Silahkan lakukan, Mas. Habiskan uang yang kau dapat, setelah itu aku pastikan kau akan menangis darah.Asma berkata dalam hati, dia masih berusaha mendengarkan percakapan Alam dan ibunya yang belum selesai.
"Ingat bantu siapkan makanan di belakang, soal di depan biar aku yang mengurusnya."Seharian Asma bekerja seperti binatang, tak dibiarkan istirahat walau hanya untuk minum segelas air putih. Hingga akhirnya sang adik ipar memanggilnya, hanya untuk pamer barang hantaran."Lihat mbak Asma, beginilah kalau wanita cantik dan berpendidikan tinggi, hantarannya sangat banyak dan mahal. Tas ini puluhan juta harganya, sepatu ini juga kisaran lima puluh jutaan lalu kosmetik ini satu setnya bisa dua puluh jutaan. Masih banyak lagi kau bisa melihatnya, agar tak bermimpi karena belum melihat barang-barang mahal ini."Rika tertawa hingga suaranya menarik perhatian sang ibu, yang kebetulan lewat di depan kamar anaknya."Apa yang kau lakukan disini, Asma. Paling kan matamu percuma kau menginginkan semua itu, karena tak mungkin mau memilikinya. Lebih baik bantu orang menyiapkan makanan untuk calon mantu ibu."Kembali asma harus ke dapur menyiapkan makanan, lalu membereskan bekas makan keluarga itu. Sa
Ibu Alam segera berlari mencoba menolong Alam. Tanpa sadar dia menyentuh selangkangan anaknya yang langsung ditepis dengan kasar."Bodoh sakit tau!"Wanita itu terkejut saat mendengar bentakan anaknya. Dia terduduk karena tak tau harus berbuat apa untuk menolong."Setelah cukup lama berguling Alam mulai terlihat tenang. Mungkin sakitnya mulai berkurang, dia lalu berlutut di depan Danu, pasti karena belum bisa berdiri dengan sempurna."Apa yang salah kenapa kau tendang aku? Memangnya kenapa kalau itu punya Asma, bukankah bagimu mudah untuk merubahnya, walau tanpa tanda tangan perempuan bodoh itu."Plak ...plak ....Dua kali Danu menampar wajah Alam, membuat ibu dan anak itu semakin heran. Tapi mereka benar-benar tak tau apa salah mereka."Salahmu karena ini, bodoh!"Danu melemparkan setifikat milik Asma. Alam memeriksanya tapi tak tau juga masalahnya apa yang membuat Danu begitu marah."Dasar bodoh bagaimana kau bisa mengadaikan setifikat palsu padaku. Untung mbak Asma memberitahuku le