Asma meminta cerai padaku setelah aku menagih hutangnya. Bukankah hutang memang wajib dibayar? Kenapa dia harus marah saat ditagih? Dasar istri durhaka.
View More"Mas pinjam uang seratus ribu."
Aku menatap asma seperti biasa dia akan meminjam uang padaku. Entah apa saja yang di beli, sampai uang lima puluh ribu gak cukup sehari.
"Untuk apa lagi? Apa tak cukup uang lima puluh yang aku kasih tadi pagi?"
Asma mulai cemberut seperti biasa, jika aku tanya uang lima puluh yang selalu kurang baginya.
"Hanya perlu seratus ribu, mas. Kenapa kau tanya uang lima puluh ribu itu? Percuma kalau ku jelaskan kau tak akan mau dengar."
Mulai lagi setiap di ajak bicara dia akan mulai berteriak.
"Aku hanya pinjam seratus ribu tapi kau minta penjelasan panjang lebar. Apa tak kau dengar suara token listrik yang sudah menjerit, seperti janda minta uang suami orang itu."
Mulai lagi, kalau soal uang dia akan mulai menyindir, mbak Ani yang selalu pinjam padaku kalau anaknya butuh bayar uang sekolah.
"Gak usah bawa-bawa janda, ini seratus ribu, ingat sudah lima ratus ribu belum kau bayar hutangmu."
Tanpa menjawab dia bergegas keluar, tak lama kembali mengambil kursi dan mulai mengisi token listrik sendiri tanpa minta bantuan ku. Akhirnya hilang juga teriakan janda minta uang yang Asma bilang.
"Aku lapar siapkan makanan, Ma." pintaku.
"Pergi ke rumah ibumu, tak ada masakan lagi di rumah ini, tadi di bawa ibu pulang semua."
Keterlaluan suami pulang kerja bukannya di kasih makan, dia justru minta aku makan di rumah ibu.
"Aku menafkahi mu untuk menyiapkan makanan, kenapa aku harus makan di rumah ibu?" tanyaku
"Karena makanan yang aku beli dengan uang lima puluh ribu itu, sudah berada di rumah ibumu, jadi makan di sana saja."
Aku menarik napas menahan kesal, daripada ribut terus lebih baik aku ke rumah ibu saja.
"Kalau begini percuma aku beri uang. Ujung-ujungnya aku harus makan di rumah ibu."
Asma tak menjawab dia hanya diam saja, meski melihatku keluar naik motor ke rumah ibu.
"Makanya lain kali dengar kalau orang tua ngomong. Gadis miskin pengangguran kau nikahi inilah hasilnya."
Ibu mengomel sembari meletakan makanan di piring ku. Meski di jatah tapi tak apalah daripada lapar.
"Asma bilang semua ini di beli mengunakan uang lima puluh ribu pemberianku, Bu. Jadi dia minta aku makan di sini," ucapku.
"Dan kau percaya? Mana cukup lima puluh ribu. Makan pakai ayam dan menu lengkap begini ada buahnya juga."
Aku menatap meja makan, ibu benar tak mungkin dengan lima puluh ribu bisa beli segini banyak makanan. Asma pasti berbohong dia sudah keterlaluan.
"Makanya tak perlu kau beri dia uang banyak-banyak, cukup sepuluh ribu sehari sisanya beri ke ibu. Kau bisa makan enak di sini."
Ibu benar kalau bisa makan seenak ini setiap hari. Buat apa memberi asma uang banyak, kalau hasilnya makan tak jauh dari tahu dan tempe.
"Kalau begitu mulai besok aku makan di sini, Bu. Asma biar aku jatah sepuluh ribu, biar dia mau makan apa dengan uang itu."
Aku senang melihat ibu tersenyum, baguslah kami berdua menemukan solusi masalah ini. Aku bisa makan enak sedangkan ibu dapat uang lebih dariku.
"Jadi kau beri aku sepuluh ribu untuk makan sehari, sedangkan kau makan di rumah ibumu, Mas?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaan asma, lalu meninggalkan dia yang mematung sembari memegang uang sepuluh ribu.
"Baiklah aku terima, Mas. Terima kasih atas nafkah sepuluh ribu mu."
Aku tersenyum melihat Asma yang Kembali masuk ke kamar. Mau apa dia kembali ke kamar, sedangkan pekerjaan belum dia siapkan.
"Sepuluh ribu tak termasuk sarapan mu kan, Mas. Jadi aku mau kembali tidur, nanti siang bisa beli mie instan untuk makan siang dan makan malam."
Dasar istri bodoh dia kan bisa beli sarapan Lima ribu, daripada nunggu makan siang. Punya otak kok gak di gunakan dengan baik.
"Terserah kau saja yang penting, semua urusan rumah selesai dan aku tak mau dengar kau mengeluh lagi mulai sekarang."
Aku pergi meninggalkan rumah dan menuju ke rumah ibu untuk sarapan. Soal asma biar dia berpikir untuk mencari cara melanjutkan hidupnya yang tak teratur itu. Sebagai suami sudah cukup meski hanya memberinya uang sepuluh ribu. Aku rasa itu cukup untuknya, lagipula dia bisa makan dengan kangkung dan tempe.
"Bagus kau makan di rumah ibu, jadi uangmu tak sia-sia di makan asma yang tak bisa mengatur keuangan."
Begitu sampai rumah ibu ternyata ada mbak Ani. Sejak Abang ku meninggal dia menjadi kesayangan ibu, karena dia punya anak laki-laki penganti anaknya yang meninggal.
Beda dengan ku dan asma yang di karuniai anak perempuan jelek lagi. Ibu bilang karena asma memang tak cantik, jadi aku salah kalau mau merubah keturunan. Itulah salah satu sebab aku minta asma menitipkan anak kami pada ibunya di kampung. Di sana ada adik dan ibunya yang bisa merawat anak jelek itu.
"Sejelek apapun dia tetap anak kita, Mas. Pemberian Tuhan kenapa kalian menghina ciptaannya?" ujarnya kala itu
"Kalau begitu serahkan ke ibumu agar kami tak terus menghina anakmu yang jelek itu."
Saat itu asma memohon agar tak di pisahkan dengan anaknya, tapi aku dan ibu berkeras agar anak itu di antar ke kampung. Dengan deraian airmata, asma terpaksa menyerahkan anak kami pada ibunya.
"Sudah ayo sarapan, biar kerjanya lebih giat dan bertenaga. Kalau di lihat atasanmu kan bisa naik jabatan di kantor."
Aku tersadar dari ingatan pada Asma, mataku melotot melihat sarapan hari ini. Ternyata mbak Ani meletakan sepotong ayam goreng di dalam piring berisi nasi.
"Kau benar memberi istrimu uang sepuluh ribu kan, Lam? Takutnya kau goyah dengan rayuan asma. Kasihan ibu sudah capek-capek menyiapkan sarapan untuk mu."
Aku mengangguk tentu saja jatah Asma hanya sepuluh ribu, agar ibu bisa memberiku sarapan dan makan yang jauh lebih enak daripada masakan Asma.
"Berarti kau bisa berikan sisa uang Asma pada ibu, Lam. Kan lumayan untuk makan mu sebulan di rumah ibu."
Aku kembali mengangguk karena tak ada uang tunai nanti malam saja aku berikan pada ibu.
"Tentu saja nanti malam aku berikan ke ibu setelah mengambil di ATM."
Ibu dan mbak Ani tersenyum apalagi saat melihat aku makan dengan lahap. Ibu memberikan teh manis dalam gelas, membuat sarapan ku semakin nikmat.
"Nanti malam kau bisa makan enak, Lam. Nanti mbak belikan daging, biar kau bisa merasakan makanan kesukaan mu itu."
Aku senang mendengar mbak Ani akan membelikan daging, selama ini aku hanya setahun sekali merasakan nikmatnya makan daging. Itupun ketika hari raya Qurban.
"Iya mbak aku mau makan rendang, nanti aku berikan uang buat ibu dan mbak Ani."
Aku tak sabar menunggu malam. Tentu saja karena rendang buatan ibu sama enaknya dengan buatan Asma. Sayang wanita itu terlalu boros, sehingga tak bisa masak daging. Dengan limapuluh ribu, dia pasti bisa menyisihkan sedikit bukannya habis gitu aja.
Namun, jangankan bisa menyimpan dia selalu mengomel karena uang itu tak cukup. Kenyataannya sekarang di rumah ibu justru aku bisa makan enak. Ini sebagai bukti kalau Asma memang tak becus mengurus keuangan.
"Lima puluh ribu mana cukup, Mas. Beras, aneka bumbu dan bahan untuk di masak, belum lagi kalau gas habis. Kau enak, taunya makan mana perduli pada harga yang tak terjangkau, dengan uang lima puluh ribu itu."
Begitulah hampir setiap hari aku ribut dengan Asma. Hanya soal nafkah yang dia anggap tak cukup sedang kami hanya berdua. Menikah niatnya hidup bahagia. Ternyata hasilnya sangat di luar dugaan, hari-hari di penuhi keributan soal uang ...uang ...dan uang. Pusing jika mendengar suara Asma ketika minta tambah nafkahnya.
Sekarang aku bisa tenang. Semua masalah uang terselesaikan, begitu juga soal makan. Soal Asma biar dia pikir sendiri, hidup dengan sepuluh ribu itu. Aku rasa dia akan tenang dan tak perlu ribut soal uang lagi.
"Assalamu'alaikum."
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments