Aku hampir berteriak karena senang, ternyata resit tadi benar bukan penipuan.(Lakukan terus promosi mu, Mbak Asma. Aku sudah yakin ini awal yang bagus, istriku terus tersenyum melihat keberhasilan mbak Asma.)(Terima kasih, Mas. Ini berkat bantuan mas Bagus juga.)"Jadi kau malam-malam ngobrol dengan Bagus, Asma. Pantas kau betah dengan ponsel itu, rupanya memadu kasih online dengan pria tak tau malu itu."Aku terkejut saat melihat mas Alam berdiri di belakangku dan langsung marah-marah, kasihan mas Bagus pasti shock berat, karena mendengar suara mas Alam.(Tak apa-apa mas Bagus nanti saya jelaskan pada mas Alam. Saya matikan dulu, selamat malam.)Aku langsung mematikan pangilan dengan mas Bagus, sedangkan mas Alam masih berdiri dengan keadaan marah padaku."Tak usah marah-marah begitu, seharusnya berpikir tak mungkin aku beri kau kesempatan kedua, kalau memang ada hati pada mas bagus."Aku kembali masuk ke kamar. Meninggalkan mas Alam yang masih terdiam di depan pintu."Sudah aku bi
"Untung cuma jatuh kalau hilang kan bahaya." Pikirku."Mas mandinya cepat sarapannya sudah mulai dingin Lo."Aku melongok ke kamar karena melihatnya sudah selesai mandi dan tengah memakai baju. Matanya jelas terus menatap ke lemari."Ayo cepat, Mas. Gak enak kalau sarapannya dingin. Kalau panas kan bisa menghangatkan perutmu juga."Aku menarik tangan mas Alam dan membawanya ke meja makan. Tak lama dia sudah menikmati sarapannya. Aku tersenyum puas lalu menyerahkan bekal makan siangnya."Kau membawakan aku bekal makan siang, Ma?"Aku mengangguk karena bekal ini sengaja aku buatkan untuknya, agar dia berhemat saat mengunakan uang."Ini uang untuk bayar ojek pulang-pergi. Untuk rokok kau harus mulai menguranginya, aku tak mau jadi janda di usia muda, karena nikotin menumpuk di paru-paru mu."Aku meletakan uang ongkos ojek ke dalam saku bajunya. Dia diam tanpa perlawanan, meski jelas terlihat tangannya terkepal dengan erat."Kalau begitu aku berangkat kerja, Ma. Nanti tolong masak sambal
"Tidak mungkin!"Aku tersenyum saat sebuah mobil bak terbuka membawa sebuah motor baru. Karena warga heboh ibu dan mbak Ani jadi tau, akhirnya kakak ipar mas Alam itu pingsan dengan sukses. Tanpa menunggu pria pengantar barang menyelesaikan ucapannya."Wanita aneh, orang beli motor baru, kenapa dia yang pingsan?"Aku hanya tersenyum, tanpa memperdulikan ibu yang tengah berusaha membangunkan mbak Ani."Ani bangun jangan bikin malu ibu. Seharusnya kau senang Asma membeli motor, pasti bisa digunakan Alam kerja, kau juga bisa pinjam kalau mau."Aku terdiam mematung saat mendengar ucapan ibu mertuaku. Dia pikir anak dan menantunya itu bisa menyentuh barangku, dia salah besar."Maaf tapi ini punyaku tak ada yang boleh pakai begitu juga dengan mas Alam. Kalau mau naik motor silahkan beli sendiri."Aku kembali meminta pengantar motor untuk menurunkan di depan rumah. Dengan senang hati mereka menuruti permintaanku."Dijaga baik-baik, Mbak Asma. Jangan sampai ada tangan panjang yang ikut menikm
Aku tertawa sembari melihat mereka pergi bersama orang yang tadi melihat motor. Biar aku tunggu wajah mas Alam, setelah mendengarkan hasutan ibunya."Uang darimana untuk membeli motor ini, Asma? Aku curiga karena kau terlalu banyak mengunakan uang, hasil penjualan motor lama, tak mungkin bisa untuk membeli motor baru."Aku tersenyum saat melihat mas Alam pulang dan langsung melihat motor baruku. Tanpa sadar dia telah bilang, kalau motor itu tidak mengunakan uangnya."Sudah dengar kan, kalau motor ini aku beli tanpa mengunakan uang mas Alam. Jadi jangan bermimpi mau menguasai barang yang menjadi milikku!"Aku berkata dengan cukup keras agar orang yang menguping di luar dengar, apa yang di katakan mas Alam barusan."Buat apa kau berteriak begitu, Ma. Terserah ada atau tidak uang ku di motor ini. Bisa kan aku mengunakannya untuk pergi kerja?""Tidak mas ini motorku, mau aku gunakan untuk cari kerja. Anakku terlalu lama di kampung, lebih baik aku ambil lagi, karena ibu sudah tua tak panta
"Iya kita, ibu akan mulai rapat Minggu depan, saat adik perempuan ku pulang jadi kita tau, apa yang dia inginkan untuk menyambut keluarga calon suaminya."Aku tersenyum berarti benar, acara pernikahan ini akan sangat meriah. Aku ingin tau calon suami adik iparku akan menyumbang berapa."Apa kau sudah tau siapa dan apa pekerjaan calon suami adikmu, Mas? Perasaan kita tak ada yang tau pekerjaan pria itu."Kali ini mas Alam tampak berpikir, namun dia tak juga bicara hingga membuatku heran. Namun tak lama aku terpaksa menahan napas, karena mencium aroma busuk dari bokongnya."Mas kentut? Ih jorok bau banget. Sana cepat kebelakang daripada bocor di sini." Karena keenakan makan pepes ikan super pedas, dia tak sadar dengan kondisi perutnya. Aku yakin malam ini dia tak akan bisa tidur dengan nyenyak."Masakanmu memang enak, Ma. Tapi ini yang selalu jadi masalah bagi perutku."Dia berlari ke kamar mandi, pasti pedas di perutnya mulai bereaksi. Aku akan menikmati penderitaanya malam ini."Asma
"Mas sampai sekarang kau belum bisa mendidik istrimu. Lihatlah betapa kurang ajarnya dia."Aku menatap pria yang baru aja datang, sejak pulang kerja entah kemana dia pergi. Aku yang dibiarkan seharian di rumah ini. Menyelesaikan pekerjaan untuk acara lamaran besok."Dia kan sudah membantu, jangan terlalu keras pada Asma, kasihan. Sudah miskin jelek dan terhina lagi, takutnya dia bunuh diri karena tak kuat menerima ejekan mu."Semua orang tertawa tapi tidak denganku yang hanya diam sembari menatap mas Alam. Dia seakan lupa daratan, justru aku yang takut dia akan bunuh diri, ketika tau kenyataannya."Alam ibu minta uang buat beli rokok dan makanan, untuk anak-anak yang menghias rumah ibu."Ibu menyodorkan tangan pada mas Alam, pria itu justru menatapku tanpa dosa. Lalu dari mulutnya keluar sebuah ucapan yang membuatku sedih."Berikan ibu limaratus ribu, Asma. Sebagai pembayaran hutangmu padaku, setelah aku hitung kau pinjam sebanyak lima kali, seratus ribu sekali pinjam."Dengan gemetar
Wajah itu kembali memperlihatkan betapa terkejutnya dia. Tapi aku hanya tersenyum sembari melambaikan tangan padanya. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah ibu mertua ku.(Apa yang kau ucapkan itu benar, mbak Asma? Apa perlu istriku menemanimu atau ada orang yang bisa datang menemanimu malam ini.)Aku tertawa karena mas Bagus terdengar begitu cemas, dia pasti memikirkan keselamatanku. Mas Alam tak akan berbuat apa-apa karena di sudah terlalu percaya diri, telah mengalahkan istri yang selalu dia anggap bodoh.(Semua aman dan terkendali, Mas. Aku sudah bergerak lebih dulu, bahkan selangkah lebih cepat dari mas Alam.)Aku tersenyum tinggal menunggu meledakkan bom yang akan menghancurkan mas Alam dan keluarganya.(Kau sudah yakin akan melakukan semua itu? Soal perceraian apa perlu aku carikan pengacara. Mbak Asma?)Pengacara? Ya aku perlu untuk menyelesaikan semuanya. Terutama hak asuh anak harus jatuh padaku. Mas Alam tak berhak karena dia tak pernah menginginkan anak kami begitu juga
TERTAWA BOLEH TAPI HARUS INGAT AIR MATA JUGA. KARENA DERITA AKAN BEGITU MENYAKITKAN SAAT TAWA SUDAH DIHABISKAN.Aku membalas membuat status, biar mereka tau aku melihat status mereka. Aku tambah kebahagian mereka, agar semakin puas saat aku melihat mereka menderita.SI JANDA MENCOBA MENGHIBUR DIRI. MENYESAL TAK BERGUNA KARENA SANG SUAMI SUDAH BAHAGIA BERSAMA YANG LAIN.Sebuah foto mas Alam bersama mbak Santi mereka kirim juga di status mereka. Bagus dapat satu bukti lagi aku rasa semua akan mudah untuk bercerai dengan mas Alam.(Tawa mas Alam begitu lebar, tolong ingatkan agar tetap tersenyum.)Aku memberi komentar di status mantan adik iparku. Dia pasti sedang pamer kalau aku membalas pesannya.(Kau tak perlu pikirkan lagi senyum mas Alam. Tapi pikirkan apa kau bisa tersenyum setelah menjadi janda miskin pula.)Aku tertawa lagi, mantan adik iparku tak berpikir. Kalau ucapan itu mungkin akan dia perlukan nanti.(Kalau begitu kekalkan senyum di wajahmu sebelum sang pemilik mengambil ca