"Dasar perempuan serakah kau berani menguasai uang, Alam. Dia anak lelakiku, mana bisa kau buat dia melupakan ibunya."
Aku baru saja pulang kerja, belum juga turun dari motor tukang ojek. Sudah dihadapkan pada pemandangan luar biasa di depan rumahku. Banyak warga melihat ibu yang berteriak pada Asma.
"Ada apa lagi ini, kenapa kalian tak bisa akur sehari saja?"
Aku sudah tak tahan lagi melihat ibu dan Asma yang terus saja ribut pasti ini perkara uang lagi.
"Bagus itu anak lelakimu, ibu bisa bicara dengannya. Aku mau masuk memeriksa belanjaan hari ini."
Asma melengang masuk ke rumah, darimana dia seharian, karena aku melihatnya baru membuka kunci rumah.
"Kau lihat Alam, betapa kurang ajarnya istrimu itu. Dia bahkan baru pulang setelah menghabiskan uangmu."
Ibu bilang menghabiskan uang, sedangkan aku hanya memberi asma satu juta, buat ibunya di kampung yang menjaga anak kami.
"Satu juta mana mungkin bisa belanja sebanyak itu, Alam. Jangan karena takut istri, kau tega berbohong pada ibu."
Ibu tak percaya saat aku bilang, kalau hanya memberi Asma satu juta. Melihat belanjaan sebanyak itu tentu saja ibu tak percaya. Aku juga heran darimana Asma punya uang untuk belanja, tak mungkin uang menjual motor dia habiskan semua.
"Ibu dengar dia jual motor, terus bagianmu mana, Lam?"
Aku menatap ibu, bisa-bisanya dia minta uang penjualan motor punya Asma. Mana mungkin aku dapat bagian dari istriku itu.
"Motor itu punyaku, Bu. Sudah ada sebelum anakmu itu menikah denganku. Jadi mana bisa dia minta bagian dari penjualan motor itu."
"Apa kau bilang jadi Alam tak mendapat uang penjualan motor. Mana bisa begitu, kalau sudah menikah harta istri ya harta suami. Begitu juga sebaliknya."
Asma tertawa, dia memainkan tangannya yang memegang ponsel baru dan jelas terlihat sangat mahal. Mbak Ani melotot melihat benda itu.
"Syukurlah ibu paham, selama ini harta suamiku justru habis untuk menafkahi ibu dan menantu ibu yang sudah janda itu." Dia menuding mbak Ani.
"Cukup Asma!"
Aku berteriak agar Asma sadar, kalau dia tengah melawan ibu kandungku.
"Tak usah berteriak begitu, Mas. Lebih baik kau minta ibu dan kakak iparmu itu pulang, lihat apa tak malu meminta hak yang bukan miliknya, didepan banyak orang pula."
Aku menarik napas karena apa yang di ucapkan Asma benar. Ibu tengah jadi tontonan banyak orang.
"Aku tak akan pulang, sebelum kau berikan uang Alam yang kau kuasai, Asma."
Aku semakin pusing karena ibu berkeras meminta uang yang aku berikan pada Asma. Sedangkan istriku itu masih saya pamer ponsel barunya. Membuat ibu dan mbak Ani semakin iri.
"Lebih baik kau bereskan segera, Mas. Kalau tidak kau pulang saja bersama ibumu itu, ingat kesempatan yang aku beri ada batas waktunya."
Asma kembali masuk ke rumah, lalu menutup pintu dan menguncinya. Aku terpaksa mengusir semua orang yang melihat keributan itu. Lalu memaksa ibu pulang bersama mbak Ani.
"Aku sudah bilang jangan mengusik Asma lagi. Kenapa kalian tak mau mengerti, aku punya rencana lain, jadi jangan mengagalkan rencana itu."
"Kalau tak mau kami mengusik Asma. Cepat katakan apa rencanamu itu?"
Kembali aku menarik napas, karena ibu berkeras ingin tau rencanaku. Bisa gawat kalau ibu tau, dia pasti akan buka mulut pada mbak Ani, itu artinya semua orang akan segera tau.
"Ibu tak usah tau yang penting jangan mengusik Asma sebelum rencanaku berhasil, satu lagi kapan Rika pulang? Katanya mau menikah beberapa bulan ini, tapi lamaran pun belum di lakukan oleh pacarnya."
Aku mengalihkan pembicaraan agar ibu tak mengusik Asma lagi. Aku sudah dengar adik bungsuku akan menikah, tapi sampai sekarang tak ada kabar soal lamarannya.
"Rika sudah bilang bulan depan dia pulang untuk lamaran. Setelah itu dia akan langsung menikah, kau siapkan saja mau menyumbang berapa? Sebagai penganti bapak dan abangmu, tangung jawab terbesar ada di pundakmu."
Ibu kembali mengingatkan pada tangung jawab yang selalu aku takutkan, karena tangung jawab di mata mereka tak jauh-jauh dari kata uang.
"Itu yang membuat Alam pusing, Bu. Uang darimana untuk biaya pernikahan Rika. Aku harap dia mau resepsinya dilakukan secara sederhana tidak terlalu mewah."
"Apa kau sudah gila, Alam. Rika anak ibu satu-satunya perempuan, berani sekali kau berpikir menikahkan dia dengan sederhana, mau di taruh dimana muka ibu."
Sudah dapat diduga ibu pasti akan mementingkan egonya. Mana perduli dia dengan persoalan uang yang harus di siapkan sebelum pernikahan.
"Terserah ibu saja, aku bingung memikirkan uang resepsi pernikahan Rika."
Aku memilih pulang daripada pusing karena memikirkan uang resepsi Rika. Walau masih lama tapi sudah membuat kepalaku mau pecah.
"Sudah pulang, Mas. Bicara apa saja ibu dan iparmu?"
Baru masuk rumah Asma langsung bertanya. Apa dia tak tau aku lelah lahir dan batin.
"Mereka tak bicara apa-apa, jadi kau jangan berlebihan menuduh ibu dan mbak Ani."
Asma tak lagi bicara sepertinya dia tampak asyik dengan ponsel barunya. Aku yakin benda itu memang mahal karena masih keluaran terbaru.
"Kau beli ponsel baru bukankah ponselmu masih bagus. Bukankah lebih baik kau tabung, kalau memang punya uang lebih."
Asma mengangkat wajahnya gerakan tangannya juga berhenti, lalu dia menatap padaku seolah heran.
"Apa kau bicara seperti ini juga pada mbak Ani, saat dia meminjam uangmu, Mas. Aku heran kau bisa bicara padaku seperti itu, sedangkan kesenangan ini tidak mengunakan uangmu."
Asma tersenyum dan kembali asyik dengan kegiatan awalnya. Tangannya terlihat lincah bergerak di atas layar ponsel pintarnya.
"Aku sedang bicara tak bisakah kau dengarkan sebentar saja, Asma?"
Aku berkata agak keras membuat Asma kembali mengangkat kepalanya. Namun melihat tatapan matanya, membuatku takut dia marah lagi.
"Sudahlah aku mau mandi saja, daripada ribut lagi denganmu."
Aku hendak kekamar, namun mataku melihat kearah ponsel lama Asma yang tergeletak di depannya. Sepertinya dia tak butuh benda itu lagi.
"Ponsel itu sudah ada yang mau, lumayan laku dua ratus ribu."
Belum juga bicara Asma langsung berkata kalau ponselnya sudah laku. Heran masih ada yang mau dengan barang lama itu.
"Tak usah kau jual berikan padaku. Lihat ponselku rusak parah karena jatuh tadi pagi."
Aku berkata dengan memasang wajah memelasl, agar dia merasa kasihan. Namun ucapannya membuatku sangat kesal, namun tak bisa berbuat apa-apa.
"Tak bisa, karena sudah dibayar lunas. Aku hanya perlu memindahkan data yang ada di ponsel lama ke ponsel yang baru. Setelah selesai orangnya akan mengambil kemari."
Dasar istri kurang ajar, apa salahnya kehilangan uang dua ratus ribu, yang penting kan bisa di gunakan oleh suaminya.
"Lebih baik perbaiki saja ponselmu itu. Sayang, karena masih belum lama kau beli sepertinya belum setahun. Coba lihat garansinya, siapa tau bisa gratis perbaikannya."
Asma benar kenapa aku bisa lupa dengan garansi pembelian ponselku. Semoga masih ada kotaknya, jadi bisa melihat garansinya.
"Kotaknya kau letakkan dimana, kenapa tak ada dimana-mana?"
Asma tak mengangkat kepalanya dia masih asyik dengan ponsel yang baru dia beli.
"Aku bertanya bisa gak kau jawab dulu, Asma."
Aku jadi marah saat melihat sikap Asma yang seperti tak perduli melihat kesusahanku. Dia justru asyik dengan ponselnya.
"Mana ada barang itu di rumah ini, bukankah saat itu kau beli dan langsung membawanya ke rumah Mbak Ani."
Asma bicara tanpa menatap wajahku sama sekali. Dia seolah tak perduli dengan apapun masalah yang aku hadapi. Setelah bicara soal kotak yang mungkin tertinggal di rumah mbak Ani, dia justru masuk ke kamar meninggalkan aku sendiri.
"Malam ini tidur di luar lagi, Mas. Aku sibuk takutnya kau terganggu."
Asma menutup pintu kamar tanpa menunggu aku menjawab, dia bahkan tak bertanya aku sudah makan atau belum setelah dari rumah ibu tadi.
Malang betul nasibku, kenapa tak terpikir untuk makan di rumah ibu. Bukankah semalam mbak Ani bilang mau masak rendang daging. Ponsel mati mana bisa tanya ibu, masih ada tidak rendang dagingnya.
"Sudah malam, Mas. Kalau lapar ada nasi goreng di lemari."
Aku melompat senang, karena Asma bilang ada nasi goreng di lemari. Meski langsung menutup pintu, tapi aku senang dia masih perduli padaku.
"Ini nasi goreng yang di maksud, Asma?"
Aku menelan ludah ketika melihat nasi goreng yang di simpan Asma. Hanya pakai telur dadar dan dingin pula.
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan