Share

LIMA

ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B

Belum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. 

Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya jualan cilok keliling. Semua aku lakukan demi Emak dan Rizky. 

Hingga perlahan tapi pasti usaha cilok yang awalnya hanya satu roda, keliling sendiri, semakin berkembang. Roda demi roda bertambah. Produksi dari mulai hanya untuk jualan sendiri, semakin bertambah, hingga kewalahan dan merekrut karyawan di rumah. Cilok resep warisan Bapak memang terkenal enak. Hutang-hutang yang jumlahnya tidak sedikit pun mampu dilunasi.

Saat paling membanggakan dalam hidupku, saat mampu mewujudkan mimpi Emak untuk umroh dan naik haji. Kemudian membangun rumah yang layak untuknya dan menyekolahkan Rizky hingga masuk ke perguruan tinggi yang diimpikannya. Semua berkat keuletan dan kerja keras tanpa kenal gengsi.

Maka, jika ditanya siapa yang berperan penting dalam keberhasilanku, orangnya adalah Emak. Selain do'a-do'a tulusnya, ia jugalah yang banyak membantu dalam bentuk tenaga dari awal aku merintis usaha. Sehingga seharusnya Emak yang menikmati semuanya sekarang. Bukan wanita kurang aj*r yang tidak tau diuntung itu. Di balik semua yang terjadi, mungkin Tuhan ingin mengingatkanku untuk kembali lebih memerhatikan Emak.

Sebenarnya, Emak memiliki satu orang anak perempuan. Namun, Teh Yuli delapan tahun lalu meninggal karena kecelakaan lalu lintas sepulang bekerja di sebuah toko mas.

Tadinya, aku mau langsung pulang, lalu beristirahat. Tubuh, dan terutama pikiran terasa begitu lelah dan penat hari ini. Namun, melewati rumah Emak, aku berubah pikiran untuk singgah. Mengobrol dengan wanita yang melahirkanku tiga puluh tahun lalu itu biasanya mampu menenangkan hati yang tengah bermasalah. Petuah-petuahnya selalu ampuh meluruskan pikiran yang semerawut.

Kupinggirkan mobil, lalu dengan gontai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, Emak belum tidur dan tengah menonton acara TV seraya mengepak rengginang mentah. Untuk mengisi kekosongan waktu, beliau sehari-hari membuat rengginang untuk dijual di toko pusat oleh-oleh khas Tasikmalaya milik salah satu tetangga sekaligus saudara. Terkadang, jika banyak cilok yang tersisa, Emak bawa dan mengolahnya menjadi kerupuk. Laku dijual dan belakangan menjadi produk tambahan jualanku di wisata kuliner. 

Begitulah Emak, meski semua kebutuhannya selalu kupastikan cukup, ia tidak pernah mau diam dan berpangku tangan. 

Emak menoleh saat aku datang. "Baru pulang, Fan?"

"Hmmm," jawabku singkat. "Salsa mana?" sambungku, seraya duduk di karpet. Tepat sebelah Emak. 

"Baru saja tidur, dia."

Aku mengangguk seraya menghela napas berat.

 Tiba-tiba, Emak menghentikan pekerjaannya, dan meminggirkan baskom besar berisi rengginang mentah beserta plastik pembungkusnya ke samping. Sepertinya menyadari kegusaranku.

"Fan?"

"Hmm?"

"Ada apa?" 

Emak menatapku lekat, seolah mencari jawaban dari raut, atau mataku. Bingung harus memulai menjelaskannya dari mana. Tiba-tiba saja mata terasa memanas dan mulai berair. 

Aku merebahkan diri, menjadikan paha Emak sebagai bantal. "Irfan lelah, Mak," lirihku disusul dengkusan kasar. 

Tangan halus penuh cinta itu mengelus kepalaku lembut. Memberikan efek rasa nyaman menjalari seluruh jiwa.

"Ada masalah dengan rumah tangga kalian?" tanyanya pelan.

Tak mampu menjawab, dada ini justru terasa semakin sesak. Tidak sanggup lagi menahan gejolak di dada yang sejak tadi ditahan karena ego dan dalih, 'laki-laki tidak boleh cengeng'.

Aku menelungkup di pangkuan Emak. Menangis sejadi-jadinya, selepas-lepasnya di sana. Berapapun usia sekarang, tak peduli bertitle sebagai seorang ayah, di hadapannya, aku selalu saja merasa sebagai anak kecil yang butuh perhatiannya. 

"M-maafkan Irfan, Mak. Irfan gagal," lirihku seraya meringkuk dengan bahu berguncang hebat.

Emak mengusap punggung dan mengecup kepalaku. Mencoba memberikan ketenangan. "Kamu sudah berjuang sangat keras selama ini untuk keluarga kita. Emak tau betul kamu begitu tangguh, Nak."

Aku masih terus tergugu menumpahkan segala asa yang membelenggu dan menyiksa batin dengan membabi buta. 

"Sesekali, laki-laki boleh saja menangis. Hanya sesekali, Fan. Jngan lupa untuk segera bangkit dan kembali memikul beban di pundak. Seberat apa pun masalah kamu, Emak yakin kamu sanggup melewatinya."

_____

"Dua, ya, A', seperti biasa." Gadis itu seperti biasa datang dan menjadi pembeli paling awal.

"Kuah, goreng, atau instan?" tanya Iwan.

"Cilok goreng pedas manis level lima, pake sambel. Bukan cabe bubuk," potongku, sudah hapal pesanannya.

Gadis itu tersenyum manis saat melihatku bangkit berdiri di belakang Iwan.

"Ganti lagi karyawannya, A'?" tanyanya ramah.

"Enggak, yang kemarin adik saya, sekarang ajak karyawan," sahutku tanpa mampu mengalihkan pandangan dari rautnya yang cantik tanpa sapuan make up.

"Oh, gitu." Ia tersipu malu. Barangkali menyadari tatapanku yang begitu lekat.

Setiap malam Minggu, aku membuka lapak berbagai jenis jajanan cilok. Dari mulai kuah, goreng, juga dalam bentuk kemasan frozen food diberi bumbu instan di wisata kuliner.

Awalnya, aku iseng mengisi malam Minggu memenuhi ajakan salah satu teman yang membuka stand salad buah. Rizky yang masih duduk di kelas satu SMA antusias ingin ikut juga untuk tambaha tabungan beli hape. Begitulah cara Emak mendidik anak. Padahal, tanpa harus ikut jualan, aku akan membelikannya. Namun, Rizky menolak. Ya sudahlah, apa boleh buat.

Ternyata, daganganku di wisata kuliner selalu laris. Karena kewalahan melayani pembeli, akhirnya kuajak Iwan, salah satu pekerjaku yang biasa membantu produksi. Kebetulan ia bersedia. 

Gadis imut berambut lurus sebahu itu menjadi pembeli tetap yang selalu beli paling awal. Saking tiap malam Minggu menjadi langganan, aku sampai hapal pesanannya.

Pernah aku bergurau sambil melayani pesanannya. Bahwa ia selalu menjadi pembeli pertama.

Jawabnya, "mumpung masih sepi. Kalau nanti rame. Antri."

Dia menjadi salah satu alasan yang membuatku bersemangat melanjutkan berjualan. Padahal, penghasilanku sudah lebih dari cukup tanpa harus berjualan menambah kesibukan di malam Minggu yang harusnya kugunakan untuk menikmati akhir pekan. Ya, aku jatuh hati entah di pandangan pertama atau kedua pada gadis yang kutaksir baru lulus SMA itu.

"Neng, boleh minta nomer W*?" Setelah sekian lama memendam rasa, akhirnya kuberanikan diri memulai suatu pendekatan.

"Em, boleh," jawabnya malu-malu. Kemudian menyebutkan 12 digit nomer kontaknya.

"Makasih, ya. Kalau nanti Aa hubungin, gak ada yang marah, 'kan?" 

"Hehe, enggak, A'. Ditunggu, ya!" Sahutnya seraya tertawa renyah dan tersipu. Bukan main berbunganya perasaanku.

Dari sanalah pendekatan kami bermulai. Gadis itu bernama Resty. Seperti dugaanku sebelumnya, Resty baru tamat SMA. Usia kami selisih tujuh tahun. 

Pendekatan kami berlangsung mulus. Singkat cerita, kami berpacaran. Dan tak butuh banyak waktu, aku memutuskan untuk meminangnya. Mengingat sudah beberapa kali bertandang ke kediamannya, dan mendapat sambutan yang sangat baik dari orang tuanya. 

Beberapa kali bersua, aku bisa menilai, ia berasal dari keluarga baik-baik dan mantap membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. 

Pikirku saat itu, apa lagi yang menjadi alasan untuk ditunda. Usaha sudah mapan. Memberangkatkan haji dan umroh serta embangunkan rumah yang layak untuk Emak sudah, tinggal menuntaskan cita-cita Rizky, sekolah sampai sarjana dan menjadi seorang pengacara. Itu bisa terlaksana meski kelak aku sudah menikah.

"Aku ikut gimana Aa aja," jawabnya, saat kuutarakan maksudku.

"Tapi, kamu mau, 'kan, jadi istri Aa?"

"Mau. Mau banget! Aku seneng denger Aa mau nikahin aku," jawabnya mantap dan sumringah.

Kedua orang tuanya pun memberi tanggapan serupa. Begitu pun Emak. Menyambut sangat baik maksud baikku. Maka, pernikahan pun berlangsung dengan meriah di sebuah gedung. Aku yang menanggung semua biayanya.

Pernikahan kami berlangsung harmonis. Meski Resty dengan usia belianya belum cukup dewasa dalam membina rumah tangga, bukan masalah bagiku. Semua bisa dibiasakan dengan pelan-pelan. 

Sebagai suami, selalu kumanjakan ia. Memberikan apa pun yang dikira bisa membuatnya bahagia dan tersenyum lebar. 

Karena aku selalu ingat, sesuai penerangan seorang ustadz dalam kajian yang pernah kuikuti, membahagiakan istri membuat rezeki semakin mengalir deras. Semua terbukti, rezeki semakin mengalir deras. Terlebih setelah kelahiran putri pertama kami. Semakin lengkaplah kebahagiaan.

Namun, semua keharmonisan itu perlahan mengikis saat Resty mengemukakan keinginan konyolnya. Konyol menurutku, karena di saat kebanyakan istri ingin tinggal di rumah dibahagiakan suami, Resty malah mau bekerja.

"Pah, mama mau kerja, ya?" ucapnya, seraya bergelendot mesra di lenganku.

"Kerja gimana?" tanyaku aneh. 

"Kerja di pabrik. Temenku baru kerja di pabrik tekstil yang tempat kerja A' Edi ituloh! Aku mau minta A' Edi masukin kerja. Dia, 'kan, security, pasti bisa masukin kerja."

"Kamu ini apa-apaan, sih, Ma? Apa kurang uang belanja yang papa kasih? Di rumah ajalah, Salsa masih butuh mamanya."

"Ya bukan gitu. Aku, 'kan, dari keluar sekolah gak pernah ngalamin kerja. Pengen ngerasain gitu gimana dunia kerja. 'Kan bosen tiap hari di rumah terus."

Aku menghela napas berat. Kali ini sangat berat memenuhi keinginannya. "Kamu jangan berlebihan, Ma. Kalau mau kerja, mantau karyawan kita aja. Bosen ya kali-kali maen keluar ajak Salsa. Nyalon, kek. Apa, kek. Papa 'kan gak pernah larang."

"Ya, bosenlah, Pa. Tiap hari pemandangan yang diliat, cilok lagi. Pokoknya aku pengen kerja. Janji, deh! Aku bakal bisa bagi waktu antara kerja dan urus Salsa."

"Loh, bukannya dulu Mama itu suka cilok. Sampai tiap malam Minggu jajan cilok papa sampai akhirnya jadi jalan perjodohan kita," selorohku seraya mencubit hidung mungilnya.

"Iihhh ... Papa! Boleeeh ya. Please ...," rajuknya manja.

Akhirnya, karena ia bersikeras, aku pasrah mengijinkannya bekerja, meski dengan berat hati. Berharap ia merasakan lelahnya bekerja, dan segera berhenti. 

Namun .... 

"Fan ... Irfan ... bangun, Nak!" 

Teriakan Emak menyadarkan dari lamunan. Akhirnya, malam ini kuputuskan untuk tidur di kamarku semasa bujang di rumah Emak. Berharap bisa sejenak menenangkan diri. Sementara Salsa tidur bersama Emak. Namun, semalaman, mata tak kunjung terpejam mengantarkan jiwa ke alam impian.

"Iya, Mak. Kenapa?" Aku bangkit dan berjalan. Kemudian memutar kenop pintu. 

"Itu Salsa," sahut Emak di balik pintu dengan raut khawatir. 

"Salsa kenapa?" 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status