Share

TIGA

ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B

Edi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan.

"Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. 

Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. 

"Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" 

Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. 

"Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.

Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" 

Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.

Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kemudian dikeroyok disertai sumpah serapah. Di dalam, suara wanita yang lima tahun ini menjadi teman hidupku terdengar menangis menjerit-jerit. Allohu Akbar!

Seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan kejadian seperti ini langsung di depan mata. Dan ini terjadi pada istriku. Hasrat untuk menghajar selingkuhan Resty sejak tadi diba-tiba menguap entah ke mana. Lemas rasanya. Ah, apakah sebagai lelaki, aku tergolong lemah?

Tubuh ini langsung merinding tak karuan. Berbagai rasa bergejolak tak tentu arah di dalam dada. Menimbulkan panas dan nyeri yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Yang pasti, sebagai seorang suami, aku sudah gagal mendidik istri.

Warga yang lain mulai berdatangan, berbondong-bondong menonton. Mungkin karena mendengar keributan yang terjadi. Seorang laki-laki setengah baya yang disinyalir merupakan pengurus setempat, beserta reng-rengannya melerai warga yang tengah mengeroyok laki-laki tak beradab itu untuk tidak main hakim sendiri.

"Bawa ke rumah saya, biar diurus di sana," ucap laki-laki yang tadi melerai.

Maka, Resty diseret keluar dengan kondisi yang masih berantakan. Wajahnya sembab, tubuh polosnya ditutupi kain jarik. Sungguh memprihatinkan! Hatiku nelangsa dibuatnya. Nelangsa pada nasib diri sendiri, juga teringat pada Salsa.

Terbersit rasa menyesal mempermalukan Resty seperti ini. Bukan karena kasihan padanya. Bukan! Namun, khawatir berimbas pada mental Salsa di masa depan. Ya Rabb ... lagi-lagi aku bertindak gegabah menuruti nafsu, tanpa memikirkan sebab dan akibat.

"Hubungi orang tuanya! Suruh ke sini!" perintah pria itu lagi.

"Kalau yang wanita, dia punya suami, Pak. Itu suaminya di belakang," ucap salah satu warga, seraya menunjuk ke arahku.

Semua orang menatap ke arahku. Begitu pun Resty. Sehingga tatapan kami seketika bertemu. Aku menatapnya dalam. 

Beberapa jenak, ia terpaku. Tak lama berjalan cepat membelah kerumunan. Lalu bersujud memeluk kakiku seraya menangis pilu. 

"Paah ... ampun! Maafin mama, Pa," lirihnya di sela isakan.

Aku menghela napas dalam, seraya menengadah dan memejamkan mata. Berharap bisa mengurangi sesak yang begitu pengap di dada, juga menahan agar bulir bening tak jatuh ke pipi. Aku ... jijik sekali melihatnya. Muak!

"Tak perlu minta ampun. Aku tidak akan menghajarmu," lirihku bergetar. Kulepaskan jaket, dan menutupi bagian pundaknya yang terbuka. Bodohnya, aku merasa masih tidak rela tubuh polosnya ditonton banyak orang. Lalu beringsut melepaskan kakiku yang dipeluknya erat. 

"Paaa ...." Tangisnya semakin lirih dan menyedihkan.

Aku merogoh hape, dan mendial nomer dengan nama kontak "A' Samsul" dia adalah kakak iparku. Kakak tertua Resty yang selalu didewasakan di keluarganya. Tak berapa lama, A' Samsul mengangkat teleponku.

"Hallo, Assalamualaikum. Ada apa, Fan?" jawab suara di seberang sana.

"Waalaikum salam, A'. Bisa datang ke sini sekarang sama Bapak?"

Aku pun memberikan alamat lengkap di mana sekarang kami berada bersama kekacauan ini. Biarlah keluarganya sendiri yang mengurus dan memberinya pelajaran. Aku tak sanggup berada lebih lama di sini. Hanya membuat hati semakin perih, bagai tersayat-sayat, kemudian ditaburi garam.

"Ada apa? Kenapa itu yang nangis kayak suara Resty?" 

"Iya, itu makanya."

"Sekarang Aa ke sana!" 

Sambungan telepon pun tertutup.

"Sebentar lagi, kakak ipar dan mertua saya ke sini. Biar mereka yang urus. Saya permisi!" sahutku, pada warga yang masih ramai berkerumun dan menatap kami dengan ... entah.

"Papa, jangan pergi! Mama minta maaf, Pa!" 

Tak kupedulikan tangis dan teriakan Resty. Aku bergegas mengajak Edi segera pulang. Tak sanggup lagi menahan gejolak di dada yang semakin menyiksa. 

______

"Fan, gak pa-pa, 'kan?" tanya Edi, saat aku turun dan menyerahkan helm. 

"Gak. Insyaallah enggak," sahutku sambil tersenyum kaku.

"Ntar aku abis Maghrib ke sinilah, temenin ngobrol," ujar bujang lapuk itu seraya menepuk lengan.

"Rencananya, sore mau antar barang-barang Resty ke Purbaratu. Nanti kalau udah balik, aku kabarin kamulah."

"Hah? Serius?" Edi nampak terkejut. 

"Ya, aku minta dia buat jadi istriku ke orang tuanya secara baik-baik, mengembalikannya pun harus dengan cara baik-baik pula."

"Salut! Tapi, maksudku, udah bulat mau pisah? Apa gak dipikir dulu? Jangan ngambil keputusan waktu lagi emosi begini."

"Gak ada maaf buat suatu perselingkuhan, Edi. Apalagi yang dilakukan oleh seorang istri. Harusnya dia dirajam sampai mati. Harga diriku sebagai lelaki dan kepala keluarga sudah diinjak-diinjak."

Edi mendengkus kasar, "ya, bener. Aku permisi pulang, ya. Telepon saja kalau ada apa-apa. Jangan sungkan."

Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam setelah Edi berlalu dengan motornya.

"Papa!" Salsa memanggilku. Berdiri di ambang pintu. Lantas berlari menghampiri. Kusambut dengan senyum hangat dan menggendongnya masuk ke rumah. 

"Dari tadi, Salsa nanyain terus, Kang. Nagih diajak jalan-jalan," ucap Mira.

"Besok kita main, ya, Nak. Hari ini, papa sibuk sekali."

"Ah, Papa jangan bohong lagi," rajuknya seraya mengadah menatapku.

Melihatnya, aku semakin merasa sedih dan terpukul. Kenapa semua ini terjadi pada rumah tanggaku? Kenapa harus ibu dari anakku? Keputusan untuk mengizinkan Resty bekerja adalah kesalahanku yang sangat fatal. Seharusnya, sebagai suami dan kepala rumah tangga, aku bisa bersikap tegas

Semua karena aku begitu mencintai dan memanjakannya. Tak mampu menolak setiap apa yang dikehendaki Resty. Namun, jika jalannya tidak demikian, aku tidak akan tahu, kualitas Resty, juga seberapa kadar kesetiannya. Nol besar!

"Papa janji," ucapku seraya berusaha tersenyum. Tidak! Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihan dan keterpukulanku di depan Salsa.

Memasuki kamar tidur kami, kuraih koper besar di atas lemari. Kumasukkan baju-baju Resty dengan penuh amarah terpendam dan perasaan hancur. Tak kusangka akhirnya akan seperti ini. 

Istriku yang polos dan manja,  tega-teganya mengkhianati dengan sehina-hinanya. Tanganku seketika terkepal. Dengan nafsu dan emosi yang sudah meluap-luap hingga dada naik turun, kutinju tembok dengan kekuatan penuh.

Air mata yang sejak tadi kutahan-tahan akhirnya meluap dan meluncur juga. Air mata pertama setelah, entah berapa lama terakhir aku menangis. Aku sangat hancur. Aarrghh! B*ngsat!

______

Selepas Maghrib, sebelum pergi, kuantarkan Salsa ke rumah orang tuaku yang masih satu kampung. Biar dia menginap dulu bersama Emak. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri di saat hancur seperti ini. Dan melihat wajah polos Salsa membuatku terus diliputi kesedihan dan rasa bersalah.

"Kamu mau ke mana, Fan?" tanya Ibu seraya melihat ke arah mobilku. "Resty mana?" lanjutnya.

Aku menghela napas berat, "Irfan titip Salsa malam ini, ya, Mak. Irfan ada perlu."

"Ada apa? Ngobrol sama Emak!" ucapnya nampak khawatir.

Begitulah, seorang Ibu selalu peka dengan apa yang terjadi pada anaknya. 

"Nanti Irfan cerita."

_______

Suasana terasa hening saat aku sampai di depan kediaman mertua. Motor Resty terparkir di halaman. Setelah mengumpulkan nyali, aku masuk dan mengetuk pintu.

"Assalamualaikum ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status