Share

DUA

ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B 

Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.

Tahan, Irfan!

Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. 

Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? 

Shit!

Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah.

"Udah balik lagi, Kang?" tanya  Mira saat aku pulang.

"Iya. Mana Salsa?"

"Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.

Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia bekerja padaku sejak enam tahun lalu. Sebelum aku menikahi Resty. Wajar kalau tidak sungkan, dan Salsa pun dekat dengannya. Tak jarang, ia juga beberes rumah tanpa disuruh setelah urusan cilok selesai. Terlebih setelah Resty bekerja.

Aku pun ngeloyor masuk menghampiri Salsa yang tengah makan di depan TV. Kucium pucuk kepala Salsa setelah duduk di sampingnya. 

Di mana hati nuranimu, Resty? Tidakkah ia mengingat gadis menggemaskan yang mulai pintar ini? Ah, Resty yang berkhianat, kenapa aku ikut merasa sangat berdosa pada Salsa?

Salsa menoleh, dan tersenyum dengan pipi yang belepotan minyak saat melihatku. Remah-remah nasi juga berserak di sekitar piringnya. Seperti anak tak punya ibu saja. Aku membatin.

"Makan apa, Nak? Kenapa gak disuapin Ateu?"

"Mau Mira suapin, Salsa kekeuh mau makan sendiri," ucap Mira seraya melewati kami dan menaruh sapu di sudut.

"Ya, gak pa-pa, Mir. Yang penting mau makan, dia."

"Makan nasi goleng sama telol ceplok, Papa," jawab Salsa cadel.

"Anak pinter!" Kuacak rambut lurus Salsa dengan sayang.

"Papa, besok jadi, 'kan, jalan-jalan sama Mama?" 

Deg! Nyeri itu kembali menggelenyar. Bertambah perih dari sebelumnya. Ingatan anak kecil memang kuat. Semalam saat sedang menemaninya nonton TV dan sesekali menanggapi ocehannya, aku basa-basi akan mengajaknya jalan-jalan. Sekarang, dalam situasi seperti ini, apa bisa aku menahan diri untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan jalan-jalan bertiga besok bersama Salsa dan Resty.

"Papa! Malah diem." Gadis kecil berusia empat tahun itu menyadarkan aku dari lamunan.

"E-eh, iya, jadi Sayang."

"Assyiiikk!"

_______

"Papa, minta uang, dong! Besok Mama mau maen sama temen-temen," ujar Resty, tiba-tiba duduk di sampingku yang tengah melamun ditemani secangkir kopi di teras.

"Bukannya besok kita udah janji mau ajak Salsa jalan-jalan? Nagih, loh, dia." Aku menyahut santai tanpa menoleh. Kuhirup kopi seteguk, berharap bisa mengurangi kekesalan.

"Papa ajalah yang ajak Salsa jalan. Nanti kapan-kapan Mama ikut."

Aku mendengkus kasar. Bahkan demi laki-laki itu, ia rela mengorbankan kebahagiaan anaknya. Tak peduli lagi, 'kah Resty pada buah hati kami?

"Pah, ih, minta uaaang!" ucap Resty lagi manja.

Dada kembali bergemuruh. Dia anggap apa, aku ini? ATM berjalan, 'kah? Sehingga tanpa rasa iba menguras isi dompetku untuk menyenangkan laki-laki lain. Tidak salah lagi, pasti laki-laki itu hanya ingin memanfaatkan Resty. Aku yakin itu.

"baru Minggu lalu papa kasih uang belanja dua juta. Masa udah abis? Lagian Mama kerja sampai gak ada waktu buat keluarga, itu hasilnya ke mana?"

"Kok Papa jadi perhitungan gitu, sih? Cuma uang dua juta zaman sekarang gak ada artinya. Lagian, Papa gak ada hak, ya, buat ikut membahas gaji mama," ujarnya sewot. Ya, aku juga baru sadar, akhir-akhir ini Resty mudah sekali marah.

"Papa bukan perhitungan. Cuma, di saat musim ujan begini, pemasukan jadi berkurang. Mama tau itu, 'kan? Papa selalu terbuka masalah pendapatan. Kita harus hemat. Dua juta itu gede, loh. Masa seminggu udah abis? Masalah gaji Mama, papa gak pernah mau tau. Cuma, kalau buat kebutuhan Mama sendiri aja gak cukup, buat apa buang-buang waktu dan tenaga? Tuh, Salsa masih butuh perhatian mamanya!" jelasku panjang lebar, berusaha mengendalikan nada bicara.

"Apa, sih, jadi bahas ke mana-mana? Papa 'kan kerja di rumah. Cuma mantau orang kerja, masa gak bisa perhatiin Salsa." Suara Resty mulai meninggi.

"Ssstt ... jangan keras-keras. Malu didengar tetangga! Kamu semenjak kerja makin bertingkah. Berani bentak-bentak suami seperti ini!" Kutatap imatanya dalam. Mencoba memindai jalan pikirannya.

"Ah, udahlah, gak usah segala dibahas. Bilang aja gak mau kasih! Pelit!" Ia bangkit dan berlalu meninggalkanku ke dalam dengan wajah merengut.

Begitu banyak kejanggalan dan perubahan yang terjadi pada Resty, dan aku baru menyadarinya sekarang, setelah tau kebusukannya di belakangku. Selama ini aku tidak sadar karena begitu besar kepercayaan dan cinta di hati ini padanya. Sementara ia ....

Jal*ng!

Aku memejamkan mata seraya mengepalkan tangan menahan amarah yang sudah di ubun-ubun. Keterlaluan! Lihat saja. Akan kubuat kamu menyesal seumur hidup, Resty!

______

Pukul 09.00 pagi, Resty sudah bersiap dengan dandanan super modisnya. Berbanding terbalik dengan penampilan di rumah. Setiap hari Minggu dia begini, rupanya, keluar bersama laki-laki lain. Sialan! Aku pura-pura cuek memainkan hape. Sesekali melirik gerak-geriknya.

Lalu, segera mengirim pesan pada Edi untuk bersiap. Semalam, aku sudah merencanakan untuk membuntuti Resty lagi. Kali ini bersama Edi.

"Mama ... Mama mau ke mana? Katanya mau main sama Salsa. Sama Papa juga." Salsa menghambur ke teras menyusul mamanya yang bersiap memanaskan motor.

"Salsa sama Papa, ya. Mama mau kerja."

"Mamaaa!" Salsa seketika menangis menjerit-jerit saat Resty melajukan motor ke luar halaman.

Aku mendengkus kasar. Segera meraih jaket. "Mir, kamu bawa Salsa, ya. Mandiin dia!" perintahku pada Mira yang masih sibuk di tempat produksi yang bersebelahan dengan rumahku.

"Iya, Kang," jawabnya singkat. Kemudian mengintruksikan pegawai lain untuk melanjutkan pekerjaannya dan langsung menggendong Salsa yang masih kejer ke dalam rumah.

Nampak Edi sudah menunggu di depan pagar rumahku. Kebetulan, rumahnya tak jauh dari sini. Segera kukenakan helm, dan duduk di boncengan Edi.

Motor melaju cepat menyusul motor Resty. Benar saja. Resty menuju ke arah selatan. Pasti hendak menjemput selingkuhannya dulu. Rencananya, aku dan Edi akan menghampiri dan mempermalukan mereka di mana nanti mereka sampai ke tujuannya. Biar malu ditonton orang banyak! Biarkan saja rumah tanggaku hancur sudah. Aku tidak peduli. Terlalu sakit rasanya untuk mencoba dipertahankan. Hanya saja, sangat disayangkan kalau berakhir tanpa sempat memberi pelajaran lebih dulu.

Aku dan Edi menunggu di pinggir jalan sekitar 10 meter dari belokan menuju tempat tinggal selingkuhan Resty.

Sekitar 15 menit kemudian, Resty kembali dibonceng lelaki itu. tangannya melingkar di perut lelaki itu dengan erat. Dadaku kembali bergemuruh seperti kemarin. Butakah, dia. Berselingkuh dengan lelaki pengeretan seperti itu? Padahal sudah jelas-jelas sudah bersuamikan aku, yang sudah mapan dan mampu membelikan apa pun yang dia minta. Bahkan, menurut pengamatan Edi, Resty sangat royal pada selingkuhannya.

Sudah kuduga, alasan kenapa Resty begitu boros akhir-akhir ini. Memuakkan!

Aku mengira, mereka akan pergi ke sebuah tempat wisata atau tempat makan tapi, dugaanku melesat. Mereka berbelok ke sebuah gang masuk ke pekarangan kos-kosan yang nampak tertutup. Aku dan Edi berhenti sekitar 10 meter dari mereka. Kemudian perlahan maju ke depan deretan kamar yang berjejer membentuk huruf 'U'. Motor Resty terparkir di depan kamar paling pojok.

Aku turun, melepas helm dan meletakkannya ke spion dengan keras. Akan kuhajar laki-laki itu sampai mati.

"Fan, tahan!" Bisik Edi. Menahan dengan merentangkan lengan ke dadaku.

"Gimana bisa---"

"Ssstt!" Edi meletakan telunjuk di bibir. "Jangan berisik! Mau bikin mereka menyesal dan malu seumur hidup, 'kan?"

Aku mendengkus kasar dan mengangguk pelan.

"Gak perlu ngotorin tangan. Tunggu dulu Bentaran!" 

Meski tidak paham, aku menuruti Edi meski harus menahan emosi yang menggebu-gebu ingin segera tersalurkan. Namun, aku percaya pada Edi. Ia cerdik dan bijak. Itu sebabnya melibatkannya dalam hal ini.

Setelah sekitar 30 menit menunggu, Edi turun dari motor. 

"Kamu tunggu di sini sebentar. Awas, jangan sampai ketauan mereka!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status