Aku pun mengatur nafas dalam-dalam. Aku belum bisa menunjukkan keberadaanku saat ini. Intinya, aku masih punya rencana yang lain. Aku ingin mas Fajar tidak mengetahui tentang rumah baruku.
"Gini Mas, gimana kalau nanti malam Julia aja yang nemui Mas ke hotel?" usulku."Kenapa sayang?" tanyanya, dengan rasa penasaran."Gini Mas, rumah ini masih berantakan banget. Kamar juga belum rapi, kan aku sendirian yang bersih-bersih," kataku berkilah."Ya udah deh, nanti malam Mas tunggu di hotel biasa ya," ucapnya, menyerah."Oke Mas, aku lanjut bersih-bersih dulu ya?" ucapku, dengan suara lembut."Oke sayang, nanti malam yang wangi ya?" gombalnya lagi."Gombal," seruku, sambil mematikan ponselku.Setelah pertemuan malam itu, aku berusaha membuat mas Fajar percaya bahwa aku masih sibuk membereskan rumah yang berantakan.Keesokan harinya, aku bergegas mencarikan kontrakan. Tujuanku, agar mas Fajar selaluAku tak mengenal siapa wanita cantik yang menemani ibuku, apa mungkin itu calon istri mas Riyadi? "Tunggu Mira, aku gak mau Ibuku melihatku sekarang. Yuk, kita tunggu di cafe sebelah," ajakku, sambil berjalan ke luar. Di ikuti Mira di belakangku.Dengan rasa penasaran, aku duduk sambil memperhatikan dari dalam cafe. Siapa yang menemani ibuku saat ini? Kemudian kami pun memesan minuman yang cocok untuk kami nikmati. Setelah menunggu selama satu jam lebih, mereka berdua pun keluar dari tempat salon. Ibuku terlihat sangat terawat penampilannya. Tanpa terasa air mataku berurai, ternyata sudah hampir setahun sudah aku berpisah dari mereka bertiga. Ibu terlihat berbeda sekali, dan saat ini aku sangat merindukan ibu dan anakku, Deta. "Mir, kira-kira perempuan itu siapa ya? Aku jadi penasaran," tanyaku, sembari memperhatikan ibuku dan wanita yang bersamanya. "Jangan bilang, kamu curiga suami kamu nikah lagi ya?" curiganya benar, tetapi aku bukannya cemburu. Hanya saja, merasa heran. Anda
Aku pun membuka pesan balasan, yang isinya sangat membuatku terkejut. Jantungku berdegup dengan kencang, seolah aku tak mampu untuk bernafas. Sebuah video perselingkuhanku dengan mas Fajar,berhasil masuk ke galeri ponselku melalui whatsapp. Aku tak tau dari mana mas Riyadi mendapatkan video panasku dengan mas Fajar. Di susul dengan pesan yang berisi, talak untukku. ["Aku Riyadi, hari ini juga aku talak kau Julia binti Mustofa. Mulai hari ini, kau bukanlah istriku lagi!"] isi pesan mas Riyadi, melalui ponsel ibuku. Kemudian aku pun membalas pesannya, dengan sedikit sindiran. Walau perasaanku seperti hancur berantakan, mengingat anak semata wayangku. ["Aku terima talakmu Mas, lebay amat sih. Paling juga, perempuan yang mau sama kamu orang kampungan. Yang mau hidup pas-pasan. Iya kan?"] balasku. ["Hubunganmu dengan Deta tidak akan putus, kau bisa menjenguknya bila mau. Masalah wanitaku siapa, bukan urusanmu!"] geramnya.Tak begitu lama, mas Fajar menghubungiku. Seperti biasanya, mas
"Kalau kamu mau, aku bisa comblangin kamu ke cowok tajir Jul. Rahasia aman seratus persen. Gimana?" tawarnya lagi, sambil sedikit berbisik. Ku akui, aku ingin sekali materi yang banyak. Tapi, di lain sisi aku takut untuk berpaling. Karena jika sampai ketahuan, aku bisa saja di campakkan begitu saja. Iya, kalau cowok barunya baik seperti mas Fajar. Gimana jika tidak? "Gak deh Mir, karena aku masih di tahap nyaman. Aku gak mau terulang kedua kalinya," elakku, dengan terus berfikir positif. "Ih, naif banget sih. Fajar itu suami orang Jul, gak mungkin istrinya mau di madu kalau kamu nikah," tuturnya. "Tapi, saat ini aku off dulu deh buat selingkuh. Apalagi aku baru aja dapat talak dari Mas Riyadi," ungkapku, sembari memberi kejelasan. "Apa! Kamu udah di talak?" tanyanya, dengan penuh selidik. "Iya Mir, jadi aku break dulu deh. Seandainya nikah juga, aku tunggu rumahku lunas," ujarku, seraya meneguk minuman bersoda. "Iya deh Jul, maaf jika aku tadi lancang. Aku gak tau kalau kamu di
Setelah aku mengusir Julia malam itu, ada rasa bersalah yang mengganjal. Pikiranku terus berkecamuk, dan timbul rasa sesal yang tiba-tiba menghantui pikiranku. "Gimana kalau Julia hanya sebatas shoping, dan tidak melakukan hal yang yang gak pantas?" batinku, mencoba menimbang-nimbang keputusan untuk Julia. Kemudian, aku pun meminta dengan sangat sopan, ponsel ibu mertuaku. Aku lihat ibu mertuaku tampak sedih, matanya sembab. Begitu juga dengan Deta, anakku. "Bu, Ibu jangan sedih. Ini Riyadi lakukan agar Julia sadar," terangku, meyakinkan ibu. "Iya Riyadi, gak papa. Ibu tau, anak Ibu salah. Ibu gak bela Julia kok," ucapnya sedih, sambil menghapus air matanya yang kembali luruh. "Kita do'akan aja, biar Allah menyadarkan Julia Bu. Coba sini ponsel Ibu," pintaku dengan penuh harapan, bahwa di ponsel ibu ada bukti yang akan meringankan keputusanku. "Ini Nak," ucapnya, sambil memberikan ponsel miliknya. Setelahnya, aku pun beranjak ke kamar. Di dalam kamar, aku mengutak-atik ponsel i
Sampai suatu saat, aku bertemu dengan seorang wanita yang kebetulan anaknya satu sekolah dengan Deta. "Deta, kamu sekolah yang baik ya Nak? Jangan nakal," titahku pada Deta, sambil mengusap kepala anakku. "Iya Ayah, Ayah juga hati-hati di jalan ya Yah?" sahut Deta, sambil tersenyum dengan memelukku. "Iya Nak, kalau gitu Ayah pergi kerja dulu. Nanti Ayah gak bisa jemput pulang, kamu jalan aja ya?" ucapku, sambil melambaikan tangan. Kemudian aku menghidupkan motorku, dan segera berangkat kerja. Dua hari selanjutnya, Deta sudah selesai mandi dan mempersiapkan perlengkapan sekolah. Aku pun tak menyangka, anakku bisa se mandiri ini. "Ayah, aku gak usah Ayah antar sekolah. Nanti ada Bunda Ririn yang mau jemput Deta ke sini," ungkapnya, sambil menyuap sarapan pagi yang sudah ibu buatkan. "Loh, anak Ayah udah siap-siap rupanya. Bener nih, gak Ayah antarin?" tanyaku, sambil ikut duduk di sampingnya. Aku pun sarapan bersama ibu dan Deta. "Iya Riyadi, Deta sudah dua hari ini di antarin s
Ibu mertuaku langsung beranjak ke kamarnya, dengan wajah murung. Aku tak menyangka ibu seserius ini padaku. Ibu seolah ingin memberikan pilihan yang terbaik, pengganti putrinya. Aku jadi merasa bersalah pada ibu, karena setelah Julia pergi beban ibu bertambah. Aku berusaha menemui ibu ke kamarnya, akan tetapi pintu kamar ibu terkunci. "Bu, ayo keluar. Aku akan pergi ke luar bersama Ririn," rayuku, agar ibu tak larut dalam kesedihannya. Ibu pun membukakan pintu kamar, kemudian menyusulku ke luar. Ada raut kebahagiaan terpancar di matanya, kemudian menyunggingkan senyum yang renyah. "Gitu dong Nak, Ibu kan senang. Coba kalau kamu gak mau, Ibu pasti pergi ke rumah Neti besok.""Bu, aku bukan gak mau. Tapi bagaimana dengan Deta anakku? Pasti hatinya hancur Bu?" tuturku pada beliau, sambil beriringan berjalan ke depan. "Itu tak usah jadi beban, serahkan sama Ibu. Penting, kamu nikah sama Ririn," titahnya lagi, tegas. "Baik Bu, aku bisa apa jika Ibu memaksakan. Ibu sama besarnya dengan
Apakah Ririn ingin menikah denganku karena dia sedang hamil?"Ririn, kamu kenapa? Kok tiba-tiba kamu mual-mual?" ucapku panik, sambil meraba keningnya yang mulai keringat dingin. "Gak kenapa-kenapa kok Mas, ini udah biasa. Ayo kita pulang," sanggahnya, sambil membersihkan mulutnya pakai tisu. "Tapi Rin, kok aneh. Apa kamu sakit?" tanyaku, penuh selidik. Membuang sangkaan buruk dari pikiranku. "Uek ,,, uek ,,," kembali Ririn mual lagi, setelah beberapa menit melajukan mobil. Tanpa ragu, aku memberanikan diri membawa Ririn ke klinik terdekat. Aku harus tau jelas, Ririn mual karena apa. Apakah karena hamil atau suatu penyakit. Pikiranku jadi kalut, apalagi aku tak pernah melihat Ririn berhijab. Seandainya Ririn hamil? Aku tak tau harus apa. Ya Allah, aku sangat bingung. Setelah sampai di depan sebuah klinik, Ririn tampak bingung. "Mas, kenapa bawa aku ke klinik? Ririn gak papa kok Mas," lirihnya. "Gak apa-apa Rin, yok Mas papah kalau kamu gak kuat?" sahutku, sambil keluar dari kemu
"Mas," ucap Ririn, yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu dapur. "Ririn, kamu udah di situ sejak tadi?" tanyaku, sambil mengajak Ririn duduk di kursi meja makan. "Ririn, apa kamu udah kuat berdiri?" tanya ibu, pura-pura tidak menyadari sesuatu. "Udah Bu, Alhamdulillah sudah agak baikan. Makasih ya Bu, Mas. Sudah merawat aku sejak tadi malam," ungkap Ririn, dengan raut wajah yang sedikit lebih baik. "Ah, gak papa Nak. Udah tanggungjawab Ibu, karena Ibu yang meminta Nak Ririn untuk pergi dengan Riyadi. Ibu yang minta maaf Nak," tutur ibu, sambil memindai wajahku. "Gak papa kok Bu, Ririn senang bisa pergi dengan Mas Riyadi. Insya Allah, Ririn bisa menerima lamaran Mas Riyadi," ungkap Ririn, sambil menunduk malu. "Maaf Rin, dengan perkataan Deta tadi. Mungkin dia rindu Ibunya," ungkapan itu keluar begitu saja dari mulutku, entah itu karena aku mulai mencintainya atau karena menjaga perasaan Ririn saja. Aku tak mengerti. "Gak papa Mas, Ririn ngerti kok. Ririn bisa bantu nyariin Mbak