Apakah Ririn ingin menikah denganku karena dia sedang hamil?"Ririn, kamu kenapa? Kok tiba-tiba kamu mual-mual?" ucapku panik, sambil meraba keningnya yang mulai keringat dingin. "Gak kenapa-kenapa kok Mas, ini udah biasa. Ayo kita pulang," sanggahnya, sambil membersihkan mulutnya pakai tisu. "Tapi Rin, kok aneh. Apa kamu sakit?" tanyaku, penuh selidik. Membuang sangkaan buruk dari pikiranku. "Uek ,,, uek ,,," kembali Ririn mual lagi, setelah beberapa menit melajukan mobil. Tanpa ragu, aku memberanikan diri membawa Ririn ke klinik terdekat. Aku harus tau jelas, Ririn mual karena apa. Apakah karena hamil atau suatu penyakit. Pikiranku jadi kalut, apalagi aku tak pernah melihat Ririn berhijab. Seandainya Ririn hamil? Aku tak tau harus apa. Ya Allah, aku sangat bingung. Setelah sampai di depan sebuah klinik, Ririn tampak bingung. "Mas, kenapa bawa aku ke klinik? Ririn gak papa kok Mas," lirihnya. "Gak apa-apa Rin, yok Mas papah kalau kamu gak kuat?" sahutku, sambil keluar dari kemu
"Mas," ucap Ririn, yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu dapur. "Ririn, kamu udah di situ sejak tadi?" tanyaku, sambil mengajak Ririn duduk di kursi meja makan. "Ririn, apa kamu udah kuat berdiri?" tanya ibu, pura-pura tidak menyadari sesuatu. "Udah Bu, Alhamdulillah sudah agak baikan. Makasih ya Bu, Mas. Sudah merawat aku sejak tadi malam," ungkap Ririn, dengan raut wajah yang sedikit lebih baik. "Ah, gak papa Nak. Udah tanggungjawab Ibu, karena Ibu yang meminta Nak Ririn untuk pergi dengan Riyadi. Ibu yang minta maaf Nak," tutur ibu, sambil memindai wajahku. "Gak papa kok Bu, Ririn senang bisa pergi dengan Mas Riyadi. Insya Allah, Ririn bisa menerima lamaran Mas Riyadi," ungkap Ririn, sambil menunduk malu. "Maaf Rin, dengan perkataan Deta tadi. Mungkin dia rindu Ibunya," ungkapan itu keluar begitu saja dari mulutku, entah itu karena aku mulai mencintainya atau karena menjaga perasaan Ririn saja. Aku tak mengerti. "Gak papa Mas, Ririn ngerti kok. Ririn bisa bantu nyariin Mbak
Aku sangat terkejut melihat penampilan ibu yang sangat berbeda. Kenapa sekarang ibu berubah? "Ibu, kok jadi cantik gini? Uang Ibu dari mana?" ucapku, heran. "Mas, jangan gituin Ibu. Ririn yang bawa Ibu ke salon. Kasihan Ibu udah capek ngurusin Ririn selama sakit. Jangan di protes dong Mas?" bujuk Ririn, dengan wajah manyun. "Yah, Nenek jadi kikuk tuh Yah. Ayah gak seneng lihat Nenek cantik?" goda Deta, sambil melirik neneknya. "Ya Allah, banyak perubahan yang terjadi dengan keluargaku. Ibu terlihat lebih gemuk dan sedikit modis. Deta, udah semakin dewasa. Tak ku pungkiri, Ririn membawa perubahan besar dalam hidupku," batinku, sambil memandang jauh ke depan. Ibu tampak diam, mungkin masih malu menunjukkan penampilan barunya. Aku tersenyum sendiri, melihat tingkah ibu. Ibu terlihat canggung sekali, ini pasti ulah Ririn yang memaksa ibu ke salon. "Mas, apa udah ada kabar dari Mbak Julia?" tanya Ririn, sambil duduk di samping ibu yang baru selesai berganti pakaian. "Belum Rin, biar
Bagaimana biaya operasi ibu nanti? Aku pusing memikirkan biaya dari mana? Bukannya aku keberatan dengan apapun yang akan aku berikan untuk ibu. Tapi, untuk saat ini aku tak mempunyai tabungan yang banyak. Mau meminjam dari Ririn, ada rasa malu yang luar biasa. Seolah aku ingin memanfaatkan kesempatan bersamanya. Tapi, mau bagaimana lagi. Ku beranikan diri untuk menghubungi Ririn di Surabaya. Tapi, ku urungkan niatku. Kemudian aku minta izin untuk pergi sebentar ke rumah atasanku. Karena aku tau beliau sedang libur, beristirahat di rumah. Segera ku lajukan mobil Ririn ke rumah beliau. "Assalamualaikum, Pak?" ucapku dari luar, dengan sedikit berteriak agar yang punya rumah mendengar. Lama tak ada yang menyahut, barulah aku sadar bahwa di sisi pintu ada bel yang khusus di buat untuk memanggil Tuan rumah. Aku jadi malu sendiri, tapi tak apalah. Orang kecil tak perlu malu dengan kekurangannya, iya kan?Yang penting aku harus berusaha untuk kesehatan ibu, tanpa memikirkan egoku. Setelah
Kemudian ibu menangis, dan berkata. "Ibu, pengen ketemu Julia Di?"Bagai di sambar petir di siang bolong, permintaan ibu sangat menyayat hatiku. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu setahun lebih, ibu menunjukkan sikap yang baik. Tidak manja atau menuntut ini dan itu, dan memberikan semangat untukku. Aku merasa bersalah pada ibu, aku tau batin ibu terenyuh. Ibu sangat menyayangi kami anak-anaknya, terutama Julia. Tapi, beliau tidak membenarkan perbuatan Julia yang menyimpang. "Bu, bukannya aku melarang Ibu buat ketemu Julia. Tapi, untuk sementara, Ibu harus sembuh dulu. Riyadi pasti usahain biar bisa dapat kabar tentang Julia ya Bu?" usulku, sambil merangkul pundak ibu yang masih lemah. "Iya Bu, kalau Ibu masih begini aja, gimana Riyadi bisa fokus nyariin Julia?" sambung Mbak Neti, membujuk ibu. "Nak Riyadi, kamu gak usah menyalahkan diri sendiri. Ibu tau kalau Julia itu fatal kelakuannya. Tapi, di dalam hati Ibu kasihan ingat pikiran Julia yang mengambang. Ibu mau membimbingnya lagi
Di dalam perjalanan pulang, ponselku kembali berdering. Aku lihat Mbak Neti yang menghubungiku, ada apa di rumah? Jantungku semakin tidak karuan. "Assalamu'alaikum Mbak, ada apa?" tanyaku, tanpa basa basi. "Waalaikumsalam Di, kamu udah selesai jemput Ririn nya?" tanyanya balik, dengan nada cemas. "Sudah Mbak, ini lagi di jalan mau pulang. Ada apa Mbak?" tanyaku lagi, dengan penuh rasa penasaran dengan keadaan di rumah. "Ibu sakit lagi Di, sekarang Ibu pingsan. Kalau bisa cepat ya Di?" ungkapnya, sambil terisak. "Ya Allah, kenapa lagi Ibu? Sabar ya Mbak, aku pasti secepatnya sampai," sahutku, menenangkan Mbak Neti. Ada apa lagi Bu? Baru juga keluar dari rumah sakit, sudah drop lagi. Di saat aku sudah menemukan jejak Julia, ibu menjadi lemah lagi. "Ada apa dengan Ibu Mas?" tanya Ririn, panik. "Ibu drop lagi Rin, Mas gak tau harus apa lagi. Mas cemas," jawabku, sambil menambah kecepatan laju mobil. "Ya udah, kita juga harus hati-hati Mas. Kita langsung tangani Ibu dulu ke rumah
Segera aku mengantarkan ibu dan anakku, juga mbak Neti ke dalam mobilnya Ririn. Kemudian aku mengajak Ririn keluar dari mobilnya. Aku harus memberitahukannya pada Ririn agar tidak salah faham. Aku tidak mau hubunganku dengan Ririn kandas hanya karena salah faham. Aku memang harus jujur kan? Karena lelaki sejati itu harus jujur demi kelanjutan hubungannya dengan orang yang ia cintai. "Rin, aku melihat Julia di sana. Kalau kamu mau, ayo temenin Mas jumpai Julia. Biar dia tau keadaan Ibu sekarang," ucapku, setengah bersuara. Agar ibu tidak mendengarnya. "Apa Mas, Mbak Julia? Di mana? Aku gak usah ikut deh Mas, nanti Mbaknya makin gak mau ketemu Mas. Mending aku di mobil aja, sama Ibu nungguin Mas. Ayo Mas cepetan, ntar keburu pergi Mbaknya?" sahut Ririn, dengan nada sedikit memberi semangat. Kemudian aku beranjak dari parkiran, untuk menemui Julia. Semoga Julia masih ada di sana, agar aku bisa mengatakan kondisi ibu. Aku terkadang heran, kenapa Julia yang notabene adalah putri kandung
Ada seseorang di luar sana yang ingin di bukakan pintu. Apakah dia Julia?Segera aku mengayunkan langkah, dengan rasa penasaran. Tak biasanya ada tamu tak mengucapkan salam, entah mengapa hati ini mengatakan bahwa itu adalah Julia. Antara gembira dan gugup, itulah yang kurasakan saat ini. Bagaimana tidak, di sisi lain aku bahagia bisa melihatnya lagi dan bisa membuat ibu dan Deta bahagia. Tapi di sisi yang lainnya, aku sangat kecewa padanya. Dulu aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan membahagiakan orang yang aku cintai seumur hidupku. Ya, itulah ikrar di dada yang ingin memperjuangkan hidup bersama Julia. Kini, semua tinggal kenangan. Mungkin Julia memang tak mencintaiku lagi, karena keterbatasan materi. Pintu pun aku bukakan, dan ... Memang benar tamu di pagi hari ini adalah Julia. Tanpa sadar, tangan ini ingin merangkulnya. Tapi, itu tidak mungkin kulakukan. Mengingat hubungan kami yang sudah kandas. "Julia ... Ternyata kamu sudah datang?" ucapku, sambil membukakan pintu aga