Acara sarapan di rumah utama keluarga Anggari selesai. Jamal langsung dilambai oleh mertuanya untuk mengikuti ke lantai dua. Tuan Anggari membawanya ke ruang kerja yang ada di rumah tersebut.Sepanjang langkahnya menuju ruangan itu, Jamal menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Tuan Anggari dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh salah atau paling tidak, dia tidak boleh terlihat kikuk di depan papa istrinya. Dia harus terlihat mempunyai wibawa meskipun tidak sempurna dan masih menjaga kerendahan hati.Tuan Anggari mempersilakannya masuk. Lalu, dia yang menutup pintu ruang kerja itu."Santai saja. Saya tidak akan menginterogasi kamu, Jamal." Tuan Anggari menepuk pundak Jamal dan tersenyum. Dia melangkah ke dekat jendela.Jamal mengikuti langkah mertuanya dan tetap menjaga jaraknya, sekitar tiga langkah di belakang. "Ada keperluan apa, sekiranya saya dipanggil ke sini ... Pak?"Tuan Anggari terkekeh sambil berbalik badan ke belakang. "Panggil saya Papa, Jamal.
Tuan Anggari menghela napas panjang. Dia melihat kejadian di bawah itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu urus mereka, Jamal. Berbuat bijaklah dan jangan sampai membuat salah satu dari mereka merasa terabaikan atau tersisihkan. Sejujurnya, berat menjadi seorang kepala keluarga karena kita tidak bisa langsung memihak salah satu antara anak atau istri." Tuan Anggari menepuk bahu menantunya. "Selamat menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilmu. Papa percayakan kepada kamu, Jamal." Lalu dia meninggalkan Jamal di ruang kerjanya dan menuju kamar. Dia teringat bahwa istrinya akan pergi karena ada telepon dari seorang klien tadi dan sekarang sedang bersiap di kamar. Dia akan ikut pergi juga saja dan membiarkan keluarga baru itu memiliki momen mereka di rumahnya ini. Bersyukur juga istrinya tidak melihat kejadian ini tadi. Bisa panjang nanti urusannya. Di kolam renang ... Kini Jamal menghadap Jevano yang menunduk dalam keadaan basah kuyup di depannya.
Juwita sudah diperiksa dan dokter mengatakan bahwa kakinya tidak mengalami patah atau retak. Hanya terkilir biasa dan pasti akan sembuh dalam waktu dekat. Hal itu membuatnya lega. Setidaknya dia tidak perlu repot-repot untuk diberi gip atau apalah itu untuk tulang retak dan patah. Pasti pemulihannya akan lama juga."Cie yang abis berbuat malam pertama sampai enggak bisa jalan. Dibawa ke rumah sakit loh sampaian." Suara jahil nan familiar itu langsung masuk ke telinga Juwita.Dia menoleh ke sumber suara dan benar saja wanita dua tahun lebih muda darinya yang mengenakan seragam dokternya sedang berdiri di sana. Hellen bersendekap sambil memandangnya dengan tatapan menggoda.Juwita membelalakkan matanya sambil memeriksa sekitar, sekiranya ada orang yang mendengarkan ucapan wanita itu. Akan sangat memalukan jika ada yang mendengarkan selain mereka. Untungnya tidak ada yang peduli, semua orang sibuk dengan urusan mereka s
Jamal menutup pintu kamar Juwita di lantai dua rumah utama Keluarga Anggari itu dengan pelan. Kamar itu otomatis menjadi kamarnya juga. Keadaan rumah juga hening. Dia tidak mau membuat kegaduhan meskipun hanya suara pintu. Saat mengangkat pandangannya, keningnya berkerut karena mendapati anak laki-lakinya berdiri tak jauh dari sana. Kini, di rumah besar itu hanya tinggal keluarga kecilnya dan para pelayan. Kedua mertuanya sudah pergi sedari tadi. Bahkan Tuan Anggari sengaja mempercepat kepergiannya dengan sang istri dan tidak membiarkan wanita itu untuk mengetahui tentang kejadian yang anaknya alami. Bisa gawat nanti. Mungkin Jamal harus berterima kasih kepada mertuanya untuk itu. Jevano mendekat dengan langkah bimbang. Dia sedikit menggigit bibir bawahnya. Beberapa jemarinya tertaut sedikit bergetar. "Ayah," sapanya yang terdengar seperti tawanan yang bersalah. Jamal menghadap penuh ke anaknya. "Ada apa, Jev?" tanyanya santai. Dia melihat gelagat anakn
Saat Jamal diajak ke ruang kerja Tuan Anggari tadi, Jevano kebingungan akan melakukan apa. Dia harus menghadapi nenek dan bundanya tanpa sang ayah. Berkat inisiatif yang dikombinasikan dengan kebiasaannya di rumah, dia pun mendekati Juwita. "Ada yang perlu dibantu, Tante?" tanyanya datar. Juwita yang sedang sibuk dengan semangka utuh pun menoleh. Dia tersenyum. "Enggak, sayang. Kamu duduk aja di situ sambil nunggu ini selesai. Kamu suka semangka?" tanya Juwita dengan penuh kehangatan. Jevano diam dan menoleh ke sana kemari. Para pelayan memberesi piring dan makanan sisa. Dia melihat ke arah dapur, melihat pelayan menyisihkan makanan sisa ke tempat yang lain. Entah mengapa hatinya agak sakit melihat itu. Apakah ini yang biasa dilakukan para pelayan itu, menyisihkan makanan untuk mereka makan? Pun kenapa mereka tidak makan bersama tadi? Rasanya hatinya tercabik. Orang kaya memang berbeda, ya? Juwita yang merasakan tidak ada pergerakan dari Jevano pun menoleh ke arah anaknya. Lalu di
Juwita membuka matanya. Kesadarannya belum sempurna kembali. Tadi siang, dia tertidur setelah menghubungi bawahannya di butik dan mengabarkan tentang keadaan kakinya. Untung saja para pekerjanya bisa diandalkan. Dia juga menyampaikan bahwa dia mungkin tidak bisa menemui klien mereka yang dari Singapura itu. Tentu saja dia juga menunjuk Erika untuk menggantikannya. Wanita itu menggeliat. Merenggangkan sendinya yang terasa mampat. Dia berusaha duduk dan bersandar. Tidak lupa dia mencoba untuk menggerakkan kakinya perlahan seperti kata dokter, untuk latihan. Ternyata masih sakit sekali. Juwita melihat ke seluruh penjuru kamarnya. Sepi sekali. Bahkan tidak ada suara apa pun dari luar. Ah, dia baru ingat kalau suaminya tadi berpamitan untuk mengambil beberapa barang yang diperlukan. Dia bingung akan melakukan apa. Lebih lagi dengan keadaan kaki yang seperti itu. Tangannya meraih gawainya yang ada di atas nakas. Dia menggulir layar di media sosial dan melihat-lihat postingan yang berhubu
Lima hari telah berlalu sedangkan Tuan serta Nyonya Anggari tidak ada di rumah mereka. Tuan Anggari memutuskan untuk mengajak istrinya sekalian jalan-jalan dan menginap di salah satu villa mereka yang berada di Malang. Salah satu trik juga agar istrinya tidak mengetahui tentang kaki anaknya. Otomatis, rumah utama Keluarga Anggari pun diambil alih oleh keluarga Juwita.Jamal dan Jevano juga mulai terbiasa hidup dan menggunakan fasilitas rumah besar itu. Juwita selalu berusaha membuat mereka nyaman dan meminta mereka untuk menganggap rumah tersebut seperti rumah sendiri. Dia menunjukkan letak ruangan dan barang-barang yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan kebosanan mereka.Terlebih Jevano. Anaknya itu tidak mempunyai kegiatan wajib apa pun. Ya, dia maklum karena Jevano masih dalam masa liburan. Namun yang mengherankan, selama tinggal di sini, anak itu tidak pernah keluar rumah sama sekali. Dia malah menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan milik papanya. Padahal isinya
"Ayah enggak ikut?" tanya Jevano saat melihat ayahnya duduk di ruang tengah dengan banyak kertas yang mengelilinginya. Ayahnya terlihat sangat sibuk dan serius membaca tulisan di kertas yang bertumpuk-tumpuk itu."Hmm?" Jamal tidak menoleh sedikit pun. Dia malah mengangkat tangannya dan menunjukkan telapaknya kepada Jevano. Suara kertas yang dibolak-balik memenuhi kesunyian untuk beberapa saat.Jevano masih berdiri di tempatnya, sabar menunggu jawaban dari sang ayah. Dia menyempatkan diri untuk melihat pakaian yang dia kenakan. Terasa nyaman dan pas di tubuhnya. Juga ... sangat keren. Bahkan dia tadi terus menatap refleksinya sendiri di cermin. Dia hampir tidak percaya bahwa yang dia tatap di cermin adalah dirinya sendiri. Meskipun dibelikan bundanya secara daring, ternyata hasilnya saat dia pakai tidak mengecewakan. Astaga, dia mungkin lupa kalau bundanya adalah seorang penyelam dunia fashion."Apa?" Jamal menoleh. Dia tersenyum melihat tampilan anaknya. Sangat tampan, sama seperti d