Karena terus disuruh kencan buta oleh sang ibu, Juwita Anggari Hidayat akhirnya memilih untuk menikah dengan duda anak satu, Jamal Antonio Ruhan, yang telah menolongnya dari para lelaki nakal di jalanan. Hal itu mau tidak mau membawanya pada kehidupan baru sebagai istri dan ibu tiri untuk remaja 15 tahun. Terlebih lagi, dia juga belum mengenal Jamal dan anaknya. Dia kira, akan semakin sulit untuk membagi waktu untuk keluarganya di rumah dan pekerjaannya di butik karena peran mendadaknya itu. Lantas, akankah Juwita tetap bertahan dengan semua hal baru yang dia dapatkan ... atau akhirnya menyerah di tengah jalan?
View More"Ya ampun," keluh Juwita tanpa sadar.
Sudah dua hari ini, designer berbakat itu kelabakan harus mencari kain--bahan untuk proyek eksperimen rancangan gaun barunya--sendirian di Pasar Sidoarjo yang memiliki bahan kain berkualitas dan harga di bawah pemasar lain.
Sementara itu, asisten dan karyawannya juga harus ke pusat kain yang ada di Surabaya.
Awalnya, Juwita percaya diri. Toh, sebelum menjadi seterkenal sekarang, dia juga pernah mengalami hal seperti ini.
Tapi, pemikirannya itu salah!
Rasanya, kepala Juwita hampir pecah setiap melangkah dan memikirkan proyek dadakan yang tidak sengaja disetujui oleh salah satu asistennya dalam rangka kolaborasi brand. Waktu itu, sang asisten sedang basa-basi bersama manager designer lainnya. Tak disangkan, malah berujung kesepakatan, yakni perilisan dan acara akan digelar tiga minggu lagi!
Padahal, Juwita perlu menemukan bahan yang layak, ekonomis dan tepat dalam waktu sesingkat itu sebelum tanggal perilisan mengingat target pembeli nantinya adalah kalangan menengah yang terkenal lebih selektif.
Mereka akan mempertimbangkan antara kualitas dan harga yang pantas dengan isi dompet.
Syukur kalau bisa dijangkau oleh yang agak di bawah karena ide rancangan gaun ini sebenarnya memiliki konsep elegan dengan harga yang bersahabat.
Perilisan juga akan diadakan secara terbuka, di salah satu mall Sidoarjo. Jadi, sebisa mungkin dia dan para karyawannya bekerja dengan baik dan cepat.
"Apa aku hubungi saja managerku, ya?"
Juwita menggeleng cepat dengan pikiran putus asanya itu. Sang manager sedang berlibur dengan keluarganya. Jadi, tidak sepantasnya dia berani untuk mengganggunya.
*******
Sekarang telah pukul lima sore dan Juwita baru saja selesai mencari bahan kain yang dia inginkan.
Sejak tadi siang, dia harus berpindah dari satu toko ke toko yang lain. Untung dia memakai sepatu biasa, bukan yang berhak tinggi. Tumitnya terselamatkan!
"Ini pesanannya, Mbak." Pemilik toko menghampiri Juwita dan mengabarkan bahwa dia selesai menotal semua pesanan wanita itu.
"Terima kasih, Pak," ucap Juwita tersenyum sopan.
Setelah menyelesaikan transaksi, dia bergegas pergi--menuju ke mall terdekat untuk mampir ke restoran yang pernah dia kunjungi bersama asistennya.
Tak jauh, hanya butuh jalan kaki sekitar 200 meter dari sana. Sayangnya, tidak ada becak yang bisa dia pakai jasanya untuk mengantarkannya sampai ke mall tersebut.
Sejenak, Juwita merutuki keputusannya sendiri yang memarkir mobilnya di parkiran mall agar aman.
Dengan tubuh yang cukup lemas karena belum makan siang dari tadi, Juwita pun berjalan menelusuri jalan lurus di tengah pusat pertokoan itu.
Langit sudah mulai menggelap. Keadaan sekitar juga mulai sunyi. Jalan yang dia lewati juga semakin minim orang.
Mungkin penduduk setempat hendak bergegas ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat maghrib.
Adzan berkumandang ketika wanita berparas cantik dengan rambut setengah lengan atas itu mencapai setengah jalan.Di ujung sana, dia bisa melihat jalan protokol yang sibuk dan padat oleh kendaraan bermotor, lebih padat dari jalan di ujung satunya. Dengan sisa kekuatan yang dia miliki, dia mempercepat langkah untuk segera mencapai ujung jalan. Perutnya perlu segera diisi. Dia bisa pingsan kalau tidak mengembalikan energinya yang terkuras seharian. Pun, tekadnya itu didukung oleh perasaannya yang tiba-tiba saja menjadi gelisah. Sepertinya dia salah memilih jalan.
"Hai, Mbak. Mau ke mana? Ditemenin boleh, nih." Suara asing lelaki pinggir jalan itu membuat Juwita melirik sejenak dan segera mempercepat langkahnya. Sial. Tidak hanya ada satu orang di sana. Firasat buruknya yang baru saja terlintas terbukti dengan secepat itu.Berkali-kali dia mendengar siulan yang dia yakini ditujukan kepadanya. Siapa lagi? Di jalan itu hanya ada dirinya seorang. Dalam hati, Juwita merapal berbagai doa agar tetap dijaga oleh Yang Maha Kuasa meskipun di sisi lain hatinya dia juga merutuki jalan pilihannya yang sepi."Ke mana, sih, Mbak? Buru-buru amat." Dia dihadang. Ada tiga lelaki di sekelilingnya. Tampak sekali dari wajah mereka bahwa mereka bukan orang yang baik-baik."Maaf, saya harus segera pergi. Mas-Mas ini tolong beri saja jalan." Genggaman tangan Juwita mengerat pada tali tasnya yang tersampir di bahu. Kalau bukan tasnya yang diinginkan oleh para lelaki ini pasti, ya, dirinya. Pikirannya sangat buruk. Bahkan dia rela kalau harus memberikan sisa uang yang ada di dompetnya sekarang dari pada harus menjadi korban pelecehan. Bagaimana pun kehormatannya harus tetap dia jaga dan lindungi."Enggak bisa gitu, dong." Sial, sungguh sial. Dia semakin terpepet hingga tidak bisa bergerak leluasa lagi. Mereka memang belum menyentuhnya, tapi dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia tidak segera menyelamatkan diri. Maka dengan mengincar celah yang ada, dia berusaha kabur dari para lelaki nakal itu.Nahas, tangannya berhasil dicekal dan tubuh semampainya itu harus terjatuh ke aspal. Sakit sekali rasanya. Bahkan dia yakin ada luka lecet di sebagian kulitnya."Tolong!" Teriakan itu terasa sia-sia saat dia sudah berkali-kali mengeraskan suaranya namun tidak ada satu pun orang yang datang untuk menolongnya. Air matanya mulai berjatuhan. Dia masih berusaha agar bisa terlepas dari cekalan salah satu pria nakal tersebut. Dia terus memberontak dan berteriak meskipun mulai merasa sangat putus asa. Suaranya terdengar sangat pilu tanpa ada tenaga yang cukup untuk melawan, untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah diseret ke trotoar. Kaki mulus terawatnya bergesek langsung dengan aspal. Terasa sangat kasar dan perih. Dia dibawa hampir masuk ke gang sempit antara dua bangunan di sana ketika dia mendengar ada suara pukulan di belakang."Lepaskan dia!" Teriakan itu membuat pria yang mencekalnya semakin erat memeganginya dan semakin kuat menariknya. Namun, sedetik kemudian pria itu terpental. Dia pun ikut terjatuh ke tanah."Anda tidak apa-apa?" tanya orang asing yang berteriak tadi kemudian membantu Juwita bangkit, sebisa mungkin menjauh dari sana. Dia memakai setelan jas rapi, seperti baru pulang dari kerja.Juwita tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa menangis."Saya sudah telepon polisi," kabar orang itu lagi. Dia memapah Juwita berjalan menjauh dari tiga pria berandal itu, memastikannya ada di jarak aman.Pukulan keras di punggung penolong Juwita terdengar sangat menyakitkan. Dengan segera, dia berbalik dan meladeni perkelahian tiga banding satu itu. Terlihat pria penyelamat itu bisa mengimbangi perkelahian tersebut. Hingga suara sirine mobil polisi terdengar. Tiga pria berandal itu hendak kabur namun segera terkejar oleh para petugas."Maaf, Anda jadi ketakutan." Pria penyelamat itu mendekati Juwita. Wajahnya sudah penuh dengan lebam dan setelannya sudah terlihat lusuh karena perkelahian barusan.Juwita terlihat masih terpukul dengan kejadian barusan dan hanya bisa sesenggukan di tempatnya sambil menenggelamkan wajah di lututnya. Dia mengintip dari balik tangannya yang terlipat dan menatap tangan yang terulur kepadanya. Dia menyambut tangan tersebut setelah menenangkan diri. Dia dibantu berdiri. Lalu Pria itu memberikan jasnya kepada Juwita untuk menutupi bahu gadis itu yang terekspos karena pakaiannya robek.Pria itu hanya diam dan berdiri di sebelah Juwita yang masih tergugu dalam tangisannya. Juwita berusaha menghentikan tangisannya namun dia masih terlalu syok dengan apa yang barusan terjadi. Pikirannya masih tidak bisa jernih. "Terima kasih," cicitnya."Sama-sama. Tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan menjaga Anda," kata pria itu. Terdengar sangat tulus.Salah satu petugas mendatangi mereka. "Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.""Baik, Pak." Pria itu menjawab dengan tegas. Kemudian dia berjalan di samping Juwita, menuju mobil petugas.Setelah memberikan keterangan dan kronologi kejadian untuk laporan kepada polisi yang bertugas, Juwita dan lelaki yang menolongnya tadi keluar secara bersamaan. Juwita yang masih syok dengan kejadian tadi belum sepenuhnya bisa mengontrol diri."Terima kasih banyak." Juwita berterima kasih sekali lagi dengan tatapan yang masih setengah kosong itu. Dengan canggung, dia sedikit membungkukkan tubuhnya ke depan.Pria itu tersenyum dan mengangguk ringan. "Iya. Sama-sama." Melihat wanita di depannya yang masih labil, dia pun berinisiatif untuk menawarkan bantuan lebih. "Mau diantarkan ke rumah sakit? Mungkin ada yang terluka."Juwita menggeleng dan agak heran dengan pria di depannya ini. Bukannya lelaki itu yang perlu perawatan, ya? Kenapa dirinya yang ditawari ke rumah sakit? Apalagi wajah lelaki itu terlihat semakin pucat meskipun masih memasang senyuman yang memperlihatkan dua lesung pipinya. Sedetik kemudian, dia langsung sadar. Seharusnya itu yang dia lakukan sedari tadi. Astaga, bodohnya. "Maaf. Tapi, mungkin saya bisa mengantarkan Anda ke sana. Maafkan saya. Saya masih agak ....""Kak Juuuu!!!!!" teriak seseorang dari tempat parkir. Dia berlarian ke arah Juwita."Hellen!" Juwita melangkah beberapa hitungan untuk segera bisa memeluk gadis itu. Dia sudah tidak tahan. Dia ingin melepaskan ketakutannya."Maaf, aku terlambat banget, ya? Tadi ada kendala di rumah sakit. Astaga, Kak Ju. Kamu kenapa bisa jadi kayak gini? Ya ampun kakakku sayang. Mana pucet banget lagi." Hellen memeluk erat Juwita. Gadis yang lebih tua darinya itu menangis kuat dia balik pelukan tersebut.Pria penyelamat tersebut membiarkan kedua wanita di depannya melepas keresahan mereka. Dia menahan diri untuk berpamitan hingga kedua wanita tersebut selesai dengan kehebohan pilu yang mereka buat. Sekaligus dia harus menahan rasa sakit dan lelah yang menggelayuti seluruh tubuhnya."Eh," sadar Hellen lalu berbalik ke belakang, ke arah Pria itu. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak sudah menolong Kak Juwita." Gadis itu sangat bersyukur.Pria itu tersenyum, menampakkan kedua lesung pipinya yang baru saja Juwita sadari bahwa itu sungguh menawan. "Bukan apa-apa." Dia berucap tulus dan sopan dengan suara beratnya. "Kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Anak saya pasti sudah menunggu di rumah. Permisi." Setelah itu, lelaki tersebut melangkah pergi dari hadapan mereka berdua."Lo udah punya nomor teleponnya belum, Kak? Biar bisa bales kebaikan dia." Hellen merasa ada yang tidak beres dengan kesadaran Juwita. Biasanya gadis yang dia kenal itu jika berterima kasih selalu menampakkan wajah segan dan bersyukurnya dengan sangat ekspresif. Akan tetapi, saat ini yang dia lihat adalah Juwita yang linglung. Semakin menguatkan dugaannya jika katingnya di kampus dulu ini belum memberikan apa-apa sebagai balasan bagi kebaikan pria tadi."Hah? Nomor telepon? Astaga gue lupa. Gimana ini?" Kaki Juwita mengentak-entak kecil. Tangannya secara random meraba-raba lengan Hellen, mencari genggaman. Dia panik."Ya ampun, Kak. Tunggu sini." Hellen segera mengejar langkah lelaki tadi. Namun, baru saja dia akan berbelok ke samping bangunan kantor polisi tersebut ....Hellen tiba-tiba berteriak kencang.
"KAKAAAAKKK!!! TOLOOONG!!!!"
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments