Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)
Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan berbagai alasan. Sampai kemudian, dia memberiku kejutan yang luar biasa bernama Lucia.Mama mertua dan keluarga besar Mas Ivan, awalnya baik padaku. Kami saling menjaga hati. Terlebih Ayah dan Ibuku, yang memiliki beberapa minimarket di kota ini, seringkali mengirimkan sembako dan makanan kering lainnya ke rumah keluarga Mas Ivan dalam jumlah besar. Maka sikap manis selalu kudapatkan. Namun, saat aku tak kunjung hamil, Mama mertua mulai berubah. Kehadiran Lucia yang membuatnya menahan diri lagi, karena saat itu, Mas Ivan setengah mengemis agar aku mau menerima Cia."Dimana Ibu bayi ini, Mas?" tanyaku suatu hari.Mas Ivan diam saja."Mas!""Aya, bisakah kau merawat saja anak ini tanpa perlu tahu siapa Ibunya?"Aku menggeleng dengan tegas."Tidak bisa. Bagaimana kalau dia tiba-tiba muncul dan mengambilnya lagi? Aku bukan baby sitter tempat penitipan bayi. Sekali dia menjadi anakku, dia akan selamanya menjadi anakku."Mas Ivan menyandarkan kepala, menatap langit minggu pagi yang cerah."Dia dibawa pergi keluarganya entah kemana. Mereka tak mau menerima Cia, bahkan sekedar melihatnya saja tidak.""Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?""Aku… waktu itu aku khilaf, Aya. Kamu ingat saat aku tugas di Palembang selama satu minggu? Aku bertemu dengan dia disana."Aku ingat. Itu tugas luar pertamanya. Setelah itu, dia seringkali pamit untuk tugas luar. Meninjau proyek, menjemput tukang, survey tempat, dan sebagainya."Kamu mencintai dia? Ibu bayi ini?'Suaraku bergetar. Bagaimanapun, aku perempuan biasa, yang hatinya begitu mudah terluka. Mas Ivan mengulurkan tangan hendak menyentuhku, namun aku mengelak. Aku tak butuh jawaban, karena jawaban itu terpancar jelas dimatanya. Dan aku menyadari bahwa suamiku adalah lelaki yang terlalu mudah jatuh cinta.Lalu, aku mengurus surat adopsi Lucia dengan bantuan Trisha. Aku harus punya surat yang kuat dimata hukum, hingga jika suatu saat Ibunya datang, dia tak akan bisa mengambil anakku dengan mudah.Seperti aku sayang padanya, seperti itulah Lucia menyayangiku. Dia hanya tahu bahwa akulah Ibunya, satu-satunya orang yang paling dia sayangi. Dan kini, Mas Ivan sedang berusaha memisahkan kami, demi menyakiti hatiku. Maka, dia harus tahu, bahwa aku juga bisa melakukan hal yang sama. Dia tak tahu, bahwa aku telah menggenggam hati putrinya erat-erat.***"Ivan datang ke rumah," ujar Ayah melalui sambungan telepon. "Dia pikir, kamu dan Cia tinggal disini.""Lalu, apa yang dia lakukan, Yah?""Dia hendak menggeledah rumah mencari kalian. Tentu saja, Ayah tak akan biarkan kakinya menginjak rumah kita lebih dalam."Aku menghela napas lega. Tentu saja, semua ini sudah ku perhitungan. Termasuk kedatangan Mas Ivan ke rumah. Tapi, bukankah seharusnya dia tahu bagaimana Ayah dan Ibuku? Dan juga tahu, bahwa tak ada orang tua yang rela putrinya disakiti terus menerus."Tenanglah, Aya. Ayah dan Ibumu ini bukan jompo. Kami baru lima puluh tahun lebih sedikit. Lagipula, kalau dia macam-macam, ada banyak bodyguard bayaran yang bisa disewa."Aku tertawa mendengar suara Ibu, lalu sadar, dari siapa sifatku yang keras dan nekad ini diturunkan.Setelah menutup pembicaraan, aku melangkah menuju teras, duduk di kursi rotan sambil memandang pantai yang berjarak seratus meter di hadapanku. Di titik yang jauh itu, aku bisa melihat Cia dan Mbak Atik bermain istana pasir.Tunggu sebentar lagi, Mas. Aku akan dengan senang hati mendengarkan kamu membaca ikrar talak di depan hakim. Tapi, jangan harap kamu bisa melihat Lucia.***"Non, Mbak izin masuk sebentar, mau buang air. Tapi, Non Cia belum mau masuk," Lapor Mbak Atik melalui ponsel."Oke tunggu sebentar, Mbak, aku kesana."Kututup lagi laptop, dan bergegas menuju pantai tempat mereka bermain. Hari ini matahari teduh sehingga aku membiarkan Cia bermain sebelum waktunya mandi sore."Mbak, istirahat saja. Biar Cia sama saya," ujarku saat berpapasan dengan Mbak Atik yang meringis menahan buang air. Dia hanya mengangguk dan segera berlari. Aku tertawa kecil, menghampiri Cia yang duduk di atas pasir, di garis pantai. Sesekali, ombak datang dan menenggelamkan kaki mungilnya. Seperti biasa, pantai tampak sepi, hanya ada satu dua orang bermain air atau bermain pasir seperti Cia. Mungkin mereka penduduk asli sini, atau tamu-tamu vila yang banyak terdapat di sekitar sini. Kubayangkan, jika sudah dibuka untuk umum, tempat ini mungkin tak senyaman ini lagi."Loh, Cia?"Aku terkejut, saat menyadari Cia yang tadi duduk di sebelahku tiba-tiba menghilang. Aku terlalu asyik memandangi ombak. Panik, aku berdiri, memandang ke segala penjuru. Jantungku rasanya langsung mencelos ke dasar perut saat melihat beberapa meter ke kiri, putriku berjalan ke dalam air tanpa rasa takut."Ciaaaa!"Aku berlari, mengabaikan batu karang yang menyakiti kaki. Bagaimana Cia bisa berjalan di dalam air laut yang banyak batu karangnya? Tidakkah dia takut dengan ombak? Mataku melebar saat melihat air sudah sedadanya. Aku bukan lagi berjalan, tapi berlari."Ciaaaa… berhenti!"Lalu, ombak besar menyapu tubuhnya. Aku menjerit-jerit histeris. Sebetulnya, kami berada tak jauh dari pantai. Tapi, Cia hanya anak lima tahun. Tingginya hanya sepinggangku."Ciaaaaa!"Lalu, entah dari mana datangnya, seseorang melewatiku, berlari di dalam air dengan kecepatan tinggi. Detik berikutnya, dia mengangkat tangan tinggi-tinggi, dengan anakku ditangannya.Aku merosot lemas, membiarkan tubuhku terendam air laut hingga sepundak. Sosok tadi, yang ternyata seorang lelaki, berjalan mendekat dan membantuku berdiri, dengan Cia tetap berada di gendongannya. Di atas pasir, barulah dia menyerahkan Cia padaku."Cia mau tangkap ikan, Ma, maaf bikin Mama takut." Suara Cia penuh sesal. Aku mendekapnya erat, membiarkan air mataku jatuh bercampur percikan air laut. Oh anakku, bagaimana jika terjadi sesuatu padamu? Aku mungkin tak ingin hidup lagi.Kemudian, baru kusadari, si penyelamat tadi menatap kami."Terima kasih."Dia menggangguk."Perkenalkan, saya Banyu. Banyu Biru."***Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny