Share

Bab 6

Penulis: Yazmin Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-09 10:28:18

Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)

Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.

Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.

Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepala, meski belum sebanding dengan keluarga Ayara.

Kami berdiri di ruang utama yang luas, dengan tangga melingkar yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas. Relling tangganya berukir indah. Aku menelan ludah saat mencoba menghitung nilai rumah ini.

Bagaimana bisa Ayara yang anak seorang konglomerat, mau bersabar, ikut bekerja keras dan bahkan berhemat bersamaku?

"Ayah dan Ibu, lebih menghargai usaha daripada hasil. Ayah bisa saja memberi kita rumah yang bagus dan besar, tapi tak akan ada kebanggaan bagi kita karena tak ada usaha kita untuk mendapatkannya."

Saat itu, aku setuju saja. Saat itu, aku dan dia sedang dimabuk cinta. Meski hanya bertahan dua bulan lamanya sebelum aku mulai bertualang.

Suara langkah kaki bersepatu terdengar. Aku menoleh, dan mendapati Ayah dan Ibu mertuaku masuk dengan wajah tanpa ekspresi.

Di hadapan keduanya, tiba-tiba saja aku merasa kecil.

"Ayah, Ibu…"

Aku maju dan mengulurkan tangan. Tapi Ayah mengangkat tangannya menyuruhku berhenti. Sementara Ibu menatapku dengan raut wajah geram. Aku tertunduk, sadar bahwa aku berdiri di hadapan orang tua yang terluka karena anaknya kusakiti. Bodoh sekali aku, kenapa waktu itu meminta Aya datang ke hotel? Kupikir, dia akan langsung pulang, menuruti perintahku untuk tak masuk ke dalam.

"Sudah lebih dari sebulan kalian berpisah, dan kamu baru datang hari ini, Ivan. Bagus sekali."

Aku menelan ludah.

"Maaf, Ayah. Saya… sibuk mencari Aya dan Cia."

"Sibuk mencari anakku, atau sibuk dengan perempuan murahan ini?"

Suara Ibu getas. Kurasakan Gita bergerak maju, tak terima dikatakan murahan. Segera kutahan tangannya.

"Ayah, Ibu, Aya pasti telah menceritakan apa yang terjadi. Saya datang untuk mencarinya karena dia membawa kabur putri saya. Aya sangat lancang membawa putri saya serta padahal dia bukan Ibunya."

Ibu tertawa,

"Bagus sekali ucapanmu, Ivan. Bukankah dulu kau mengemis agar Aya menerima dan mengakui Cia sebagai anaknya sendiri?"

"Tapi, Cia memang bukan anaknya, Bu. Aya harus mengembalikan dia pada saya. Mereka ada disini, kan?"

"Rasanya, aku tak sabar untuk menampar mulutmu itu," gumam Ibu, yang segera di tenangkan oleh Ayah. Diam-diam, aku melirik Ibu, dan tahu darimana sifat temperamen dan nekad Aya diwariskan.

"Ivan, dengar ini baik-baik. Urusan rumah tangga kalian, saya tidak ikut campur. Aya sudah dewasa, dan dia punya teman-teman, yang kebetulan sekali, pengacara hebat, yang membantu menyelesaikannya. Jadi, urusanmu dengan Aya, selesaikan melalui pengacaranya. Aya tak ada disini. Bahkan meskipun ada, dia tak akan mau kau temui."

"Jangan bohong! Putri anda mencuri semua harta milik calon suami saya!"

Aku terkejut mendengar suara Gita. Kudorong dia ke belakang

"Jangan ikut campur," bisikku.

"Bagus! Jadi ini perempuan yang membuat kalian berpisah? Sampah, memang cocoknya dengan sampah!"

"Mas, dia menghina kita!"

"Diam Gita."

Aku panik. Kedatanganku kesini dengan membawa Gita adalah sebuah kesalahan besar. Harusnya, aku datang sendiri, berusaha meluluhkan hati kedua orangtuanya. Aku yakin, hanya mereka yang kata-katanya didengar oleh Aya.

"Ayah, Ibu, tolong suruh Aya keluar. Saya harus mengambil Cia. Cia tidak ada hubungan dengan kalian!"

Aku terpaku saat Ayah melangkah maju, dan berdiri dua langkah di hadapanku.

"Dengar Ivan. Meski kau ayah biologisnya, secara hukum, kau bukan siapa-siapa bagi Cia. Bahkan, untuk menjadi wali nikahnya saja, kau tak bisa. Selama ini, Aya merawat Cia sendiri sementara kau sibuk bertualang. Coba tanya Cia, siapa yang dia sayangi, kau atau Mamanya? Jadi saranku, tinggalkan rumah ini, sebelum kami hilang kesabaran mendengar kata-katamu yang terus menyakiti Aya."

Ucapannya itu menamparku. Selama ini, aku memang abai dengan anakku sendiri. Aya telah merawat dan menghujaninya dengan cinta, sementara aku sibuk hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Aku mengangkat kepala, memandang lantai atas dari sela sela teralis pembatas. Adakah Aya dan Cia di atas? Apa yang harus kulakukan?

"Cia! Cia! Ini Papa!"

Nekad, aku berlari menaiki tangga. Namun, beberapa orang lelaki keluar entah dari mana, memiting tangan dan kembali menyeretku hingga aku kembali berhadapan dengan Ayah mertuaku.

"Ayah! Kembalikan Cia!"

"Jadi, sekarang kau sudah merasa bahwa anak itu berharga? Atau kau menginginkannya hanya untuk menekan Aya?"

"Ayah…"

"Bawa mereka keluar dari rumah ini, dan jangan pernah biarkan datang lagi."

***

"Si-alan!!!"

Aku berteriak histeris, memukul-mukul stir mobil seperti orang kes-etanan. Gerbang pagar itu langsung tertutup begitu memuntahkan tubuh kami berdua.

Duduk di sebelahku, Gita, diam sambil menatap rumah Ayara dengan pandangan yang sulit ku terjemahkan. Bodohnya aku, harusnya, dia tak kutunjukkan dulu pada dunia. Semua orang akan setuju bahwa akulah yang salah.

Setelah melarikan mobil cukup jauh, aku berhenti, turun dan berjalan memutar. Kubuka pintu penumpang dan kami saling menatap.

"Turun!"

Gita melotot.

"Kau menurunkanku di tengah jalan?!"

"Ya. Aku salah selama ini. Kau tidak akan bisa menggantikan Ayara. Kita putus!"

Gita tertawa, tapi tetap tak mau turun.

"Kau kira aku masih mau denganmu setelah semua hartamu habis, Mas? Jangan mimpi."

"Bagus. Jadi, tidak ada lagi yang menahan kita. Turunlah, dan mulai saat ini kita tak punya hubungan lagi."

"Aku akan turun, tapi tidak disini. Antar aku ke rumah."

Aku mrnggeleng.

"Tidak. Turun disini atau aku akan menyeretmu.'

Entah mengapa, semua cinta yang kemarin masih menggebu-gebu padanya, lenyap seketika. Kehilangan Ayara, Lucia berikut semua harta benda yang susah payah kukumpulkan, perlahan membuatku hancur, termasuk, cinta pada wanita ini.

Cinta, ataukah hanya naf-su sesaat?

Aku menarik tangan Gita, memaksanya turun, tak peduli banyak orang melihat kami. Gita menjerit-jerit histeris, menyumpahiku dengan segala kata-kata kotor. Aku tak peduli, berjalan memutar dan naik lagi ke mobil.

"Si-lan kau Ivan! Dasar miskin! Mobil dapat rental aja sok! Awas, tunggu pembalasanku!"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 55 (ENDING)

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 54

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 53

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 52

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 51

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 50

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status