Share

JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU
JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU
Author: zolepena

Mukenah Siapa Ini, Eyang?

#Horor #RumahEyang

"Mukenah siapa ini, Yang?"

"Mungkin mukenah Sabrina, Neng."

"Tapi kok keliatan besar, ya?"

Mukenah itu lantas berpindah tangan ke tanganku. Aku lantas menyibak sedikit dan mencoba memperhatikan ukurannya. Tapi, belum selesai tanganku menyibak, mukenah itu sudah kulempar jauh.

"Lah kok kamu lempar gitu, ambil lagi, taroh di keranjang kotor."

"Ih, bau banget, Yang!"

Magrib itu aku dan Eyang sudah siap ke masjid. Kami memang selalu rutin magriban di masjid, karena rumah Eyang termasuk rumah yang paling dekat.

Segera kutarik ujung mukenah putih itu, nampaknya bersih, tak ada noda, mirip mukenah ibuku tempo dahulu, tapi kenapa bau sekali? Aku meletakkannya sesuai perintah Eyang. Lantas mengambil mukenah milikku di dinding kamar lalu menyusul beliau keluar. Namun, baru saja melangkah dari bilik, tiba-tiba dari dalam terdengar suara dinding di pukul keras.

BUGH BUGGGHH

"Cepat, Imel!" teriak Eyang.

Aku yang hendak memeriksa seketika terkejut mendengar suara Eyang teriak dari pagar. Akhirnya, kakiku tidak meneruskan langkah menuju suara itu, melainkan meneruskan langkah keluar rumah.

Semenjak sibuk bekerja, baru kali ini aku berkunjung ke rumah Eyang selama belasan tahun. Alasannya karena aku tak punya Ibu dan Bapak, jadi rumah peninggalan orang tuaku sudah disewakan pada keluarga. Sementara aku pulang ke kampung Siliwangi, rumah Eyang yang berdiri di tengah-tengah rumpun warga Siliwangi dari sejak ayahku kecil.

Eyang menyuruhku tinggal di sana saja, katanya lebih untung karena aku bisa dapat uang dari rumah sewa milikku, juga bisa merawat Eyang.

Sebenarnya aku dulunya ngontrak di kota tempatku bekerja, hanya saja saat ini Ibu bos yang mempekerjakan aku sebagai baby sitter sedang ada perjalanan keluar negeri sampai selesai bulan ramadhan. Anak yang aku asuh sementara waktu dijaga oleh keluarga pihak ayahnya karena beliau akan menjalani operasi di Malaysia.

"Yang, Imel pulang sehabis isya sama yang lain."

"Iya, langsung pulang ya, Mel."

"Iya, Yang."

Muadzin selesai beriqamah, para jemaah sudah tak sabar menggelar sajadah begitu pun orang-orang yang masih di luar area. Mereka berlari kecil menuju pintu dengan wajah berseri-seri dan mengenakan pakaian terbaiknya.

Setelah salat magrib, aku dan para ibu-ibu seperti biasa akan melakukan pengajian, hari jumat akan diganti tauziah. Hari ahad rutin kita adakan seperti menggelar acara lomba.

Lomba baca surah pendek, lomba muadzin, lomba qosidah, lomba tilawatil al-qur'an, juga beberapa lomba lainnya. Rutinitas indah ini sudah aku lakoni dari kecil. Sayangnya, di kota sangat jarang ada yang seperti ini.

Pukul 09:12 salah isya dan kegiatan kita ditutup. Aku pulang bersama beberapa orang yang kebetulan adalah tetangga Eyang, betapa terkejutnya aku saat sampai di depan pagar rumah. Eyang tergeletak di teras dengan keadaan masih menggunakan mukenah.

"Astaghfirullah! Eyang!"

Beberapa orang yang menyaksikan ikut histeris. Kami segera masuk, melewati rumput kecil sepanjang halaman yang minim penerangan. Ini sudah jaman modern, jalan sudah mengkilap, hanya saja penerangan masih minim karena masih termasuk pelosok. Lampu hanya bertumpu dari minyak tanah, padahal jika pemerintah setempat mau membangun pusat energi listrik aku yakin orang disini sudah cukup mampu memenuhi segi biaya.

Kami berlari sambil berteriak histeris. Lalu segera umi Lasmi menyuruh yang lain menggendong tubuh Eyang, lalu kami baringkan dia di kamarnya.

"Coba kuperiksa dulu, Mel."

"Silahkan, Um."

Syukurlah keadaan Eyang katanya baik-baik saja, akhirnya beberapa orang izin pulang setelah membuatkan Eyang teh hangat.

Selama lima belas menit rasanya hatiku dilanda rasa khawatir teramat, takut Eyang kenapa-napa, takut Eyang meninggal, takut, takut, takut. Sampai aku menghembuskan nafas lega saat beliau pelan-pelan membuka mata.

Aku terperanjat, segera kuhampiri Eyang, beliau memegang keningnya, lalu memperhatikan keadaan di sekeliling.

"Neng, aduuh. Kepala Eyang sakit."

"Eyang, alhamdulillah, sudah sadar."

Kubantu Eyang bangun, sementara beliau masih meringis kesakitan. Lebam di kepalanya sedikit berbekas, membuatku semakin penasaran dengan apa yang sudah terjadi.

"Neng, dimana Eyang ini?"

"Di kamar, Yang. Tadi kami dapatin Eyang tidur di teras, tak kira Eyang kenapa-napa. Eyang kok bisa pingsan di luar?"

Eyang sedikit terkejut mendengarkan ucapanku. Bukannya menjawab, malah ia buru-buru bangun, mengintip keluar, lalu berlari lagi masuk ke kamar.

"Yang?"

"Sst! Tadi itu pas Eyang balek ke rumah, rencana mau langsung ke dapur ambil masakan juga mau manasin sop ayam yang kamu buat. Tiba-tiba pas lewatin kamarmu, ada kamu di dalem, lagi salat munggungin pintu."

Bulu kudukku langsung merinding. Enggak mungkin Eyang abis praktek sinetron terus keterusan akting. Aku mengedarkan pandangan, lalu mendekat diri ke tubuh Eyang. Jadilah kami saling berbisik-bisik, sementara tempo di jantungku berdegup kencang.

"Se-seriusan?"

"Demi Allah, Neng. Untung Eyang enggak mati di tempat waktu liat kembaran kamu tiba-tiba rukuk lebih dari rukuk orang biasa, kepalanya lewatin lutut terus lewat celah lututnya liatin Eyang sambil nyengir lebar!"

"Hah! Astaghfirullah!"

"Kamarmu terbuka sendiri, tidak tertutup seperti sekarang, Neng."

Malam itu Eyang mengajakku kembali ke dapur. Tak lupa aku berlari kecil menutup pintu rumah dan mengunci semua jendela. Aku tahu beliau masih shock, begitupun juga aku, saat ini kami sangat ketakutan.

'Lantas, bagaimana dengan diriku? Apa harus masuk ke kamarku setelah makan?'

Aku segera memanaskan kembali sop ayam, ikan, dan membuat acar. Setelah hidangan siap, Eyang dan aku makan, kami makan tak seperti biasanya yang heboh penuh lelucon. Malam ini, kami makan dengan suasana hening.

"Apa yang terjadi setelah itu, Yang?"

"Ya, lari. Yang Eyang ingat hanya lari, lutut Eyang lemas sampai di teras udah pingsan," bisiknya.

"Emang mirip Imel, Yang?"

"Tinggi sedikit, karena dia pakai mukenah puteh, enggak terlalu nampak!"

"Mukenah putih?"

"Iya. Mukenah puteh ujungnya kain rendah puteh juga ... "

Tak sempat Eyang melanjutkan kalimat, kami berdua saling tercengang. Mukenah putih, yang baru saja aku simpan di keranjang cucian? Itukah? Astaghfirullah. Astaghfirullah.

Akhirnya kami melanjutkan makan malam dengan pikiran berkecamuk, takut, kaget, semua campur jadi satu. Kuminta Eyang menemaniku bereskan dapur, mencuci piring, juga meletakkan piring di tempatnya. Sehabis itu, dengan berbekal nekat, Eyang dan aku berjalan keluar, posisi kami jika ke kamarku harus melewati kamar Eyang, lorong sempit sekitar satu meter lebih sampai ke kamarku yang berhubung ke ruang tamu.

"Eyang, serius mau buka? Dah lah, Imel malam ini tidur bareng Eyang aja."

"Kamu bisa tidur nyenyak tanpa periksa dulu?"

Aku menggeleng. Raut wajah Eyang seketika mencelos, kami terpaksa harus membuka kamarku yang di dalamnya sangat gelap. Aku harus masuk dulu jika mau menyalakan lampu pijar.

KREEEKKKK

Derit panjang terdengar. Segera Eyang masuk menyalakan lampu dan memeriksa ruangannya. Nihil. Tidak ada siapa-siapa disana, kamarku berantakan seperti aku meninggalkannya magrib tadi, beberapa jaket dan mukenah ganti berwarna cerah tergantung dekat pintu, juga meja dan kursi tak bergeser dari tempatnya.

"Enggak yang berubah, mungkin Eyang cuma berhalusinasi."

"Kamu pikir Eyang ini sudah tua amat? Eyang baru enam puluh lima, Neng! Enggak mungkin salah liat, apalagi wujud itu menatap Eyang cukup lama!"

"Ya sudah, Imel tidur dengan Eyang, ya."

Kami melangkah keluar, hendak mematikan lampu. Hanya saja, aku sempat tertegun, perlahan kutarik Eyang kembali dengan tubuh mendadak tegang.

"Siapa yang gelar sajadah, Yang?"

Tanganku terulur sangat pelan, kutunjuk di samping kasur, ternyata ada sajadah panjang, ukurannya lebih panjang dari sajadah kami di rumah ini, sajadah itu tergelar persis selurus dengan pintu. Bersama dengan itu bau khas mayat busuk menyeruak di rongga hidung, sama seperti bau mukenah yang kupegang tadi. Aku dan Eyang segera berlari, membiarkan pintu kamarku yang tak sempat kututup lagi.

Baru saja hendak mengatur nafas. Kami dikejutkan dengan suara lirih dari seberang kamar Eyang, persis dari kamar ku.

"Eyang," pekikku tertahan.

"Berdoa, Neng!"

Suara lirih perempuan, sedang menyayikan sesuatu yang aku tak tahu itu tembang apa. Tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang keluar sambil membuka pintu kamarku, padahal jelas-jelas baru saja kami berlari tanpa menutup pintu.

Suara langkah itu terhenti, tepat di depan kamar Eyang. Nyaris saja aku pingsan, jika Eyang tak menarikku naik ke kasur dengan tangan bergetar hebat. Hal yang membuat kami tercengang saat suara orang di luar itu tiba-tiba berbicara hingga membuat kedua lututku terkulai lemas.

"Cah ayu. Mukenah kowe cari paku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status