Share

Jangan Lari Ke Kamar!

Waktu terus berlalu selepas sosok itu berbicara. Langkahnya terdengar menyusuri lorong, lantas suaranya yang terus meminta paku perlahan hilang.

“Yang, mungkinkah itu Bibi Lija?”

“Ngomong apa toh, Neng? Lija hanya datang pagi sampai sohor.”

Saat ini yang aku lakukan hanya duduk, enggan menarik selimut, enggan menyentuh bantal seperti biasa. Cukup lama aku jadi patung, tiba-tiba Eyang kembali seperti belut kesetrum listrik. Dering panjang dari ruang tengah penyebabnya, membuatku seketika ikut was-was.

“Duh, Gusti!”

“Tenang, cuma alarm salat tahajjud, Yang.” Eyang tak lagi menyahut, dia malah seperti kelimpungan lalu turun dari kasur.

“Itu dia, alarm sudah bunyi, Neng.”

“Lah, terus?”

“Terus, ya, ayo ikut salat.”

Saat ini, aku berpikir lebih baik aku pingsan sampai pagi daripada harus melawan ketakutan sepanjang malam. Akhirnya mau tak mau aku mesti nurut, ini sudah jadi aturan di rumah Eyang, dini hari harus bangun, salat, tadarus, salat, berdzikir.

Sensasi di luar pintu kamar dingin seperti biasa. Aku menyusul Eyang ke dapur tanpa menengok ke belakang, lalu kami bergantian mengambil air wudhu. Seperti tak ada yang sudah terjadi, kuikuti langkah lebar Eyang menuju ruang tengah karena di kamar beliau tak muat berjamaah.

Posisi aku saat itu ada di sebelah kanan Eyang, Eyang yang memimpin salat. Sedangkan pusat kiblat mengarah ke meja televisi yang sejajar dengan lemari besar bening. Isinya lumayan padat, ada gelas koni, ceper, gelas keramik kebanggaan Eyang dan almarhum Kakung. Ada piring-piring dengan modelan yang sama, juga beberapa foto kecil seukuran telapak tangan.

Entah kondisi ini di bawah sadar atau tidak, saat tengah kukhusukkan diri, tiba-tiba aku ingin sekali melihat ke depan. Aku ingat betul tubuhku rasanya ingin menyerah dan menjerit, tapi, bagaimana dengan mulutku yang terkunci?

Wujud Eyang menampakkan seluruh giginya, pandangannya tak tertuju ke bawah sajadah melainkan lurus ke depan, kedua tangannya saling bertumpu di balik kain, matanya lebar sedang melihat ke cermin dan menatapku seperti sangat gembira.

Kesadaranku nyaris hilang, tubuhku bergetar, sampai akhirnya takbir lolos kuteriakkan dari kedua bibirku dengan lantang.

“Allahu Akbar!”

“Allahu Akbar.” Eyang menyahut kecil.

Eyang yang mengenakan mukenah cream lantas rukuk, tapi tidak denganku yang masih mematung. Bagaimana bisa? Di cermin itu Eyang tak bergerak, masih berdiri, masih menampakkan giginya, masih melotot. Sementara Eyang yang lain sudah rukuk, sudah sujud.

Aku bisa menyimpulkan, salat tahajjudku sudah tidak sah.

Aku ingin berlari, tapi kasihan Eyang. Aku menunggu diriku pingsan tapi tak juga terjadi. Akhirnya aku hanya bisa mematung, sementara mungkin Eyang sudah berada di rakaat kedua. Setelah selesai, aku menunggu Eyang memarahiku karena sepanjang salat aku hanya bisa mematung. Tapi, beliau hanya memintaku takzim sebelum kami kembali ke kamar.

“Yang, Imel tadi ... “

“Huss!” Eyang tak menggubris lagi, beliau malah terbirit-birit naik ke kasur setelah mengunci pintu kamarnya.

“Sini, Neng!”

“Eyang juga lihat?!” selidikku.

“Tadi, pas Eyang baca surah, ada yang nepok dari belakang persis orang yang mau ikut salat. Anehnya, tepokannya enggak hanya sekali, tapi, berkali-kali! Menepok, mencolek, menepok, mencolek, begitu seterusnya sampai Eyang rukuk.”

“Astaghfirullah! Imel takut, Yang!”

“Seng sabar, Neng. Sudah hampir subuh.”

Siapa yang menyangka beberapa tahun yang akan datang, aku terjebak dalam trauma mendalam dengan sebuah benda yang disebut ‘kain jarik’. Kejadian di rumah Eyang nyaris menghancurkan psikisku. Trauma yang berawal dari mukenah tergantung di pintu.

***

“Lailaha Illallah!”

“Lailaha Illallah!”

“Lailaha Illallah!”

Iring-iringan pengantar jenazah memenuhi jalan setapak berlumpur, sama seperti pemilik pakaian gelap yang memegang wadah daun pandan, penuh guratan kesedihan. Sementara tubuhku seperti tak berpijak sesuatu, aku melayang di antara gema dzikir-dzikir manusia.

“Belok, Bung!”

Di depan sana sebuah tugu menghentikan para pelayat. Bersama suara lirih, suara tangis, suara gemertak para sepuh yang sibuk menunjuk jalan. Tiba-tiba, dari barisan belakang kutemui seorang lelaki, dia menenteng kresek, sesekali berlari, sesekali berhenti, sesekali menatap lurus ke depan, sesekali menunduk.

“Kelapa kok ganti tembako, Rek?”

“Kata pak Lik iki wasiat!”

“Hukum alam sudah berubah? Pulang, ganti!”

Baru selangkah, kresek di tangannya terjatuh. Ternyata berisi rokok gulung juga pemantik. Aku segera mengikis jarak menuju kresek yang jatuh. Tapi, keranda di depan sana tiba-tiba sudah tergeletak di jalan, isinya yang berwarna putih tinggi sudah berdiri tegak.

“Hahh! Kemana yang lain?”

Bersama dengan itu cahaya putih kembali berwarna, di hadapanku kini terpampang sebuah kain. Bukan lagi keranda, bukan lagi mayat, tapi kelambu renda. Bulir bening masih mengucur deras, degup jantungku masih belum stabil, namun aku nampaknya harus bersyukur.

Keranda itu ternyata hanya mimpi. Kelambu bergantikan dinding, sinar pagi menerobos ventilasi, aku bangun dan mencari Eyang di samping.

“Tega banget Eyang enggak bangunin aku.”

Kosong melompong, kamar Eyang sudah kosong. Karena kembali teringat semalam, aku mengambil langkah seribu keluar rumah tentu sambil berteriak kencang.

“Eyang! Eyang!”

Kutunggu beliau muncul, tapi malah Bibi Lija dan Sabrina yang duduk di teras. Bibi Lija bertugas membersihkan pekarangan rumah Eyang. Anaknya tirinya, Sabrina, berumur delapan tahun, dia selalu ikut menemani Bibi Lija jika perlu bantuan. Rumah istirahatnya ada di samping rumah Eyang, tapi, mereka hanya bekerja dari pagi sampai sebelas siang.

“Neng, jangan teriak gitu!” teriak Eyang yang muncul entah dari mana.

“Maaf, Yang.” Aku segera duduk, menghindari pintu akses masuk rumah.

“Eh, Bibi kebetulan sudah siapkan sarapan di dapur, Neng,” sapa Bibi.

“Nanti sama Sabrina, Bik.”

"Begini, sebentar lagi masuk bulan ramadhan. Lija sudah bicarakan sama Eyang mau balek kampung. Gimana menurutmu, Neng?"

Jujur, saat itu aku harus melarang kepulangan Bibi dan Sabrina. Tapi sorot mata Eyang begitu sendu, terlukis raut tak tega jika aku menolak permintaan Bibi. Akhirnya, aku mengiyakan beliau dengan syarat harus kerja penuh bulan ini.

“Setuju, Neng. Selesai puasa pasti balek kesini."

"Makasih, kakak Imel. Ayo, Ina mau ikut Ibu nyuci ke belakang,” timpal gadis itu.

Benar. Cucian.

Tak mengapa sekalian aku ikut periksa saja keranjang kotor ketika melihat Bibi beranjak. Aku menyuruh Eyang ikut memeriksa, kami masih tak menceritakannya pada Bibi. Sebab apa yang terjadi belum jelas asal muasalnya.

Disinilah ruang kosong, tak lebar, tapi cukup menampung banyak barang. Rumah Eyang sebenarnya terbilang besar bagi penghuni yang hanya dua orang. Ruang cucian ini persis di belakang meja makan, sudut ke sudutnya berisi lemari tua. Sementara tempat cuci terpisah oleh dapur, posisinya di luar memakan bagian teras belakang. Teras itulah yang menghubungkan jalan ke rumah istirahat milik Bibi Lija.

Cucian kotor sudah di bolak balik tiga kali, tapi, yang Eyang dan aku cari masih belum nampak. Akhirnya Bibi Lija memutuskan ke belakang, membawa cucian itu, meninggalkan kami yang masih mematung.

Pagi itu karena ada janji sama kelompok remaja masjid aku bersiap-siap dan melupakan sejenak masalah di rumah. Eyang pun ditemani Bibi Lija dan Sabrina. Hingga tak terasa sore sudah mengirim senja ke peraduannya, aktivitas selesai lantas aku berpamitan pulang.

“Assalamualaikum, Eyang!”

“Walaikumsalam, di kamar mandi, Neng.”

Eyang menyuruhku berbenah diri, lalu memasak makan malam, waktu ini selalu digunakan Eyang untuk menceritakan hal yang terjadi dari pagi hingga sore. Biasanya dibubuhi lelucon yang membuatku betah duduk sepanjang waktu. Tapi, hari ini ceritanya tak banyak, katanya selepasku pergi Eyang minta ditemani mangkas rumput di sekitar rumah.

“Tapi, Yang. Gimana nanti sepulang Bibi Lija?”

“Eyang minta tolong sepupumu saja yang kesini.”

“Betulkah?”

"Tapi kamu tahu sendiri dia pemalas! Eyang ora suka."

Saat Eyang berkata demikian hatiku sedikit lega. Karena itu artinya, sebentar lagi rumah Eyang akan bertambah penghuni. Semoga kedatangan Rere bisa mengurangi malam yang mencekam.

***

Kami seperti perangko dan materai di sepanjang jalan pulang salat magrib. Aku dan Eyang saling berbisik, saling merangkul. Beliau yang akhirnya memaksaku pulang karena takut, membuatku tak lagi menunggu sampai selesai isya.

“Sepanjang salat tahajjud, kamu itu jadi di tengah, Neng."

“Eyang, Imel mohon jangan nakutin terus,” timpalku.

“Kamu paham nda maksud Eyang?”

Aku mengangguk ragu, tapi, aku aslinya bukan penakut. Ini hanya disebut sindrom kaget-kaget tai ayam, besok juga akan hilang. Akhirnya kami sampai di rumah. Seperti biasanya lampu pijar sudah terang di teras ditemani suara jangkrik dari belukar liar.

Aku meninggalkan Eyang masuk karena dibun*h rasa penasaran, berlari kecil dengan perasaan getir menuju pintu. Ya. Menuju pintu kamarku.

“Eyang!” teriakku.

Setelah memeriksa gantungan mukenahku, aku segera menyuruh Eyang masuk. Beliau ikut memeriksa kembali, dan hasilnya melegakan. Mukenah di dinding hanya milikku, mukenah ganti berwarna cerah berjejer jaket kain juga tumpukan jilbab instan bekas pakai masih di tempat yang sama. Selain yang aku pakai, tak ada lagi mukenah putih disana.

“Alhamdulillah, sudah enggak ada, Neng.”

“Iya, Yang. Sajadah kemarin juga sudah hilang.”

Sejenak Eyang melirik ke belakangku, memang disana sudah kosong. Kasur, meja, kursi juga pakaianku masih di tempat yang sama.

“Paku. Paku … “ Eyang kembali seperti berpikir keras.

“Kenapa lagi, Yang?”

“Neng, Eyang juga kesiangan, tak sempat salat subuh.”

“Kan Eyang udah lapor tadi.”

“Bukan itu, Neng. Kita terakhir salat tahajjud di ruang tengah.”

“Hah? Maksud Eyang?”

Eyang tak menjawab, tangan Eyang yang tadinya melingkar di tanganku terlepas. Eyang lalu berbalik, berjalan keluar dengan langkah ragu-ragu, menuju kursi sofa panjang tepat di depan ruang tengah.

Kulihat Eyang memegang kain mukenah yang ia lihat di kursi, saat itulah rasanya tubuhku tak lagi bertulang, suara semalam tiba-tiba terdengar persis di sampingku, bersama itu bau mayat busuk menguar hingga perutku mendadak mual.

Aku mendongak sedikit, lalu menemukan sosok tubuh berbalut kain putih tergantung di balik pintu kemudian berucap pelan, "Slira iki di gantung ae. Ben ora panas."

(Tubuhku digantung saja. Supaya tak panas.)

“Astagfirullahaladzim. La Ilaha Illallah!”

Sosok itu tiba-tiba jatuh dari gantungan, persis seperti orang melompat. Sementara aku yang sudah histeris hendak berlari ke kamar Eyang.

"Jangan lari ke kamar, Neng!"

Sempat kudengar suara Eyang saat suara benturan terdengar, ternyata Eyang pingsan. Aku akhirnya berlari kencang menuju pintu sementara air mataku mengucur deras. Panik dan takut. Aku tak pikir lagi langkahku membawaku kemana di tengah gelap gulita tanpa penerangan apa-apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status