Share

Jangan Lari Ke Kamar!

Penulis: zolepena
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-01 21:33:10

Waktu terus berlalu selepas sosok itu berbicara. Langkahnya terdengar menyusuri lorong, lantas suaranya yang terus meminta paku perlahan hilang.

“Yang, mungkinkah itu Bibi Lija?”

“Ngomong apa toh, Neng? Lija hanya datang pagi sampai sohor.”

Saat ini yang aku lakukan hanya duduk, enggan menarik selimut, enggan menyentuh bantal seperti biasa. Cukup lama aku jadi patung, tiba-tiba Eyang kembali seperti belut kesetrum listrik. Dering panjang dari ruang tengah penyebabnya, membuatku seketika ikut was-was.

“Duh, Gusti!”

“Tenang, cuma alarm salat tahajjud, Yang.” Eyang tak lagi menyahut, dia malah seperti kelimpungan lalu turun dari kasur.

“Itu dia, alarm sudah bunyi, Neng.”

“Lah, terus?”

“Terus, ya, ayo ikut salat.”

Saat ini, aku berpikir lebih baik aku pingsan sampai pagi daripada harus melawan ketakutan sepanjang malam. Akhirnya mau tak mau aku mesti nurut, ini sudah jadi aturan di rumah Eyang, dini hari harus bangun, salat, tadarus, salat, berdzikir.

Sensasi di luar pintu kamar dingin seperti biasa. Aku menyusul Eyang ke dapur tanpa menengok ke belakang, lalu kami bergantian mengambil air wudhu. Seperti tak ada yang sudah terjadi, kuikuti langkah lebar Eyang menuju ruang tengah karena di kamar beliau tak muat berjamaah.

Posisi aku saat itu ada di sebelah kanan Eyang, Eyang yang memimpin salat. Sedangkan pusat kiblat mengarah ke meja televisi yang sejajar dengan lemari besar bening. Isinya lumayan padat, ada gelas koni, ceper, gelas keramik kebanggaan Eyang dan almarhum Kakung. Ada piring-piring dengan modelan yang sama, juga beberapa foto kecil seukuran telapak tangan.

Entah kondisi ini di bawah sadar atau tidak, saat tengah kukhusukkan diri, tiba-tiba aku ingin sekali melihat ke depan. Aku ingat betul tubuhku rasanya ingin menyerah dan menjerit, tapi, bagaimana dengan mulutku yang terkunci?

Wujud Eyang menampakkan seluruh giginya, pandangannya tak tertuju ke bawah sajadah melainkan lurus ke depan, kedua tangannya saling bertumpu di balik kain, matanya lebar sedang melihat ke cermin dan menatapku seperti sangat gembira.

Kesadaranku nyaris hilang, tubuhku bergetar, sampai akhirnya takbir lolos kuteriakkan dari kedua bibirku dengan lantang.

“Allahu Akbar!”

“Allahu Akbar.” Eyang menyahut kecil.

Eyang yang mengenakan mukenah cream lantas rukuk, tapi tidak denganku yang masih mematung. Bagaimana bisa? Di cermin itu Eyang tak bergerak, masih berdiri, masih menampakkan giginya, masih melotot. Sementara Eyang yang lain sudah rukuk, sudah sujud.

Aku bisa menyimpulkan, salat tahajjudku sudah tidak sah.

Aku ingin berlari, tapi kasihan Eyang. Aku menunggu diriku pingsan tapi tak juga terjadi. Akhirnya aku hanya bisa mematung, sementara mungkin Eyang sudah berada di rakaat kedua. Setelah selesai, aku menunggu Eyang memarahiku karena sepanjang salat aku hanya bisa mematung. Tapi, beliau hanya memintaku takzim sebelum kami kembali ke kamar.

“Yang, Imel tadi ... “

“Huss!” Eyang tak menggubris lagi, beliau malah terbirit-birit naik ke kasur setelah mengunci pintu kamarnya.

“Sini, Neng!”

“Eyang juga lihat?!” selidikku.

“Tadi, pas Eyang baca surah, ada yang nepok dari belakang persis orang yang mau ikut salat. Anehnya, tepokannya enggak hanya sekali, tapi, berkali-kali! Menepok, mencolek, menepok, mencolek, begitu seterusnya sampai Eyang rukuk.”

“Astaghfirullah! Imel takut, Yang!”

“Seng sabar, Neng. Sudah hampir subuh.”

Siapa yang menyangka beberapa tahun yang akan datang, aku terjebak dalam trauma mendalam dengan sebuah benda yang disebut ‘kain jarik’. Kejadian di rumah Eyang nyaris menghancurkan psikisku. Trauma yang berawal dari mukenah tergantung di pintu.

***

“Lailaha Illallah!”

“Lailaha Illallah!”

“Lailaha Illallah!”

Iring-iringan pengantar jenazah memenuhi jalan setapak berlumpur, sama seperti pemilik pakaian gelap yang memegang wadah daun pandan, penuh guratan kesedihan. Sementara tubuhku seperti tak berpijak sesuatu, aku melayang di antara gema dzikir-dzikir manusia.

“Belok, Bung!”

Di depan sana sebuah tugu menghentikan para pelayat. Bersama suara lirih, suara tangis, suara gemertak para sepuh yang sibuk menunjuk jalan. Tiba-tiba, dari barisan belakang kutemui seorang lelaki, dia menenteng kresek, sesekali berlari, sesekali berhenti, sesekali menatap lurus ke depan, sesekali menunduk.

“Kelapa kok ganti tembako, Rek?”

“Kata pak Lik iki wasiat!”

“Hukum alam sudah berubah? Pulang, ganti!”

Baru selangkah, kresek di tangannya terjatuh. Ternyata berisi rokok gulung juga pemantik. Aku segera mengikis jarak menuju kresek yang jatuh. Tapi, keranda di depan sana tiba-tiba sudah tergeletak di jalan, isinya yang berwarna putih tinggi sudah berdiri tegak.

“Hahh! Kemana yang lain?”

Bersama dengan itu cahaya putih kembali berwarna, di hadapanku kini terpampang sebuah kain. Bukan lagi keranda, bukan lagi mayat, tapi kelambu renda. Bulir bening masih mengucur deras, degup jantungku masih belum stabil, namun aku nampaknya harus bersyukur.

Keranda itu ternyata hanya mimpi. Kelambu bergantikan dinding, sinar pagi menerobos ventilasi, aku bangun dan mencari Eyang di samping.

“Tega banget Eyang enggak bangunin aku.”

Kosong melompong, kamar Eyang sudah kosong. Karena kembali teringat semalam, aku mengambil langkah seribu keluar rumah tentu sambil berteriak kencang.

“Eyang! Eyang!”

Kutunggu beliau muncul, tapi malah Bibi Lija dan Sabrina yang duduk di teras. Bibi Lija bertugas membersihkan pekarangan rumah Eyang. Anaknya tirinya, Sabrina, berumur delapan tahun, dia selalu ikut menemani Bibi Lija jika perlu bantuan. Rumah istirahatnya ada di samping rumah Eyang, tapi, mereka hanya bekerja dari pagi sampai sebelas siang.

“Neng, jangan teriak gitu!” teriak Eyang yang muncul entah dari mana.

“Maaf, Yang.” Aku segera duduk, menghindari pintu akses masuk rumah.

“Eh, Bibi kebetulan sudah siapkan sarapan di dapur, Neng,” sapa Bibi.

“Nanti sama Sabrina, Bik.”

"Begini, sebentar lagi masuk bulan ramadhan. Lija sudah bicarakan sama Eyang mau balek kampung. Gimana menurutmu, Neng?"

Jujur, saat itu aku harus melarang kepulangan Bibi dan Sabrina. Tapi sorot mata Eyang begitu sendu, terlukis raut tak tega jika aku menolak permintaan Bibi. Akhirnya, aku mengiyakan beliau dengan syarat harus kerja penuh bulan ini.

“Setuju, Neng. Selesai puasa pasti balek kesini."

"Makasih, kakak Imel. Ayo, Ina mau ikut Ibu nyuci ke belakang,” timpal gadis itu.

Benar. Cucian.

Tak mengapa sekalian aku ikut periksa saja keranjang kotor ketika melihat Bibi beranjak. Aku menyuruh Eyang ikut memeriksa, kami masih tak menceritakannya pada Bibi. Sebab apa yang terjadi belum jelas asal muasalnya.

Disinilah ruang kosong, tak lebar, tapi cukup menampung banyak barang. Rumah Eyang sebenarnya terbilang besar bagi penghuni yang hanya dua orang. Ruang cucian ini persis di belakang meja makan, sudut ke sudutnya berisi lemari tua. Sementara tempat cuci terpisah oleh dapur, posisinya di luar memakan bagian teras belakang. Teras itulah yang menghubungkan jalan ke rumah istirahat milik Bibi Lija.

Cucian kotor sudah di bolak balik tiga kali, tapi, yang Eyang dan aku cari masih belum nampak. Akhirnya Bibi Lija memutuskan ke belakang, membawa cucian itu, meninggalkan kami yang masih mematung.

Pagi itu karena ada janji sama kelompok remaja masjid aku bersiap-siap dan melupakan sejenak masalah di rumah. Eyang pun ditemani Bibi Lija dan Sabrina. Hingga tak terasa sore sudah mengirim senja ke peraduannya, aktivitas selesai lantas aku berpamitan pulang.

“Assalamualaikum, Eyang!”

“Walaikumsalam, di kamar mandi, Neng.”

Eyang menyuruhku berbenah diri, lalu memasak makan malam, waktu ini selalu digunakan Eyang untuk menceritakan hal yang terjadi dari pagi hingga sore. Biasanya dibubuhi lelucon yang membuatku betah duduk sepanjang waktu. Tapi, hari ini ceritanya tak banyak, katanya selepasku pergi Eyang minta ditemani mangkas rumput di sekitar rumah.

“Tapi, Yang. Gimana nanti sepulang Bibi Lija?”

“Eyang minta tolong sepupumu saja yang kesini.”

“Betulkah?”

"Tapi kamu tahu sendiri dia pemalas! Eyang ora suka."

Saat Eyang berkata demikian hatiku sedikit lega. Karena itu artinya, sebentar lagi rumah Eyang akan bertambah penghuni. Semoga kedatangan Rere bisa mengurangi malam yang mencekam.

***

Kami seperti perangko dan materai di sepanjang jalan pulang salat magrib. Aku dan Eyang saling berbisik, saling merangkul. Beliau yang akhirnya memaksaku pulang karena takut, membuatku tak lagi menunggu sampai selesai isya.

“Sepanjang salat tahajjud, kamu itu jadi di tengah, Neng."

“Eyang, Imel mohon jangan nakutin terus,” timpalku.

“Kamu paham nda maksud Eyang?”

Aku mengangguk ragu, tapi, aku aslinya bukan penakut. Ini hanya disebut sindrom kaget-kaget tai ayam, besok juga akan hilang. Akhirnya kami sampai di rumah. Seperti biasanya lampu pijar sudah terang di teras ditemani suara jangkrik dari belukar liar.

Aku meninggalkan Eyang masuk karena dibun*h rasa penasaran, berlari kecil dengan perasaan getir menuju pintu. Ya. Menuju pintu kamarku.

“Eyang!” teriakku.

Setelah memeriksa gantungan mukenahku, aku segera menyuruh Eyang masuk. Beliau ikut memeriksa kembali, dan hasilnya melegakan. Mukenah di dinding hanya milikku, mukenah ganti berwarna cerah berjejer jaket kain juga tumpukan jilbab instan bekas pakai masih di tempat yang sama. Selain yang aku pakai, tak ada lagi mukenah putih disana.

“Alhamdulillah, sudah enggak ada, Neng.”

“Iya, Yang. Sajadah kemarin juga sudah hilang.”

Sejenak Eyang melirik ke belakangku, memang disana sudah kosong. Kasur, meja, kursi juga pakaianku masih di tempat yang sama.

“Paku. Paku … “ Eyang kembali seperti berpikir keras.

“Kenapa lagi, Yang?”

“Neng, Eyang juga kesiangan, tak sempat salat subuh.”

“Kan Eyang udah lapor tadi.”

“Bukan itu, Neng. Kita terakhir salat tahajjud di ruang tengah.”

“Hah? Maksud Eyang?”

Eyang tak menjawab, tangan Eyang yang tadinya melingkar di tanganku terlepas. Eyang lalu berbalik, berjalan keluar dengan langkah ragu-ragu, menuju kursi sofa panjang tepat di depan ruang tengah.

Kulihat Eyang memegang kain mukenah yang ia lihat di kursi, saat itulah rasanya tubuhku tak lagi bertulang, suara semalam tiba-tiba terdengar persis di sampingku, bersama itu bau mayat busuk menguar hingga perutku mendadak mual.

Aku mendongak sedikit, lalu menemukan sosok tubuh berbalut kain putih tergantung di balik pintu kemudian berucap pelan, "Slira iki di gantung ae. Ben ora panas."

(Tubuhku digantung saja. Supaya tak panas.)

“Astagfirullahaladzim. La Ilaha Illallah!”

Sosok itu tiba-tiba jatuh dari gantungan, persis seperti orang melompat. Sementara aku yang sudah histeris hendak berlari ke kamar Eyang.

"Jangan lari ke kamar, Neng!"

Sempat kudengar suara Eyang saat suara benturan terdengar, ternyata Eyang pingsan. Aku akhirnya berlari kencang menuju pintu sementara air mataku mengucur deras. Panik dan takut. Aku tak pikir lagi langkahku membawaku kemana di tengah gelap gulita tanpa penerangan apa-apa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status