"Dari mana saja kamu Rum?" bentak mas Tama saat aku memasuki pintu rumah. Aku melirik jam didinding sudah menunjukan pukul 23:45 malam."Tadi aku..." ucapanku di cegat oleh mas Tama."Tadi apa? Kerja apa hingga larut malam begini? Kamu baru kerja beberapa hari saja sudah pulang larut malam begini." bentakknya,."Mas, yang jelas aku tak ngapa-ngapain, tadi itu Risa menghubungiku ngajakan nongkrong, hingga lupa waktu."ujarku, muka Mas Tama memerah meredam amarahnya, entah apa alasannya dia gak mau mendebatku lagi. Aku menghela nafas panjang dan membuntutinya kekamar.***POV TAMAArum aku tau kehadiran dia dirumah ino tak lebih hanya mengasihani aku, aku salah jika memohon padanya untuk tetap tinggal hati pikirannya sekarang tak lagi denganku. Aku sering temui ia melamun dirumah ini, dan bahkan dia sangat
POV HADISelepas mengurus salah satu perusahaanku itu, aku kembali menemui Caca di rumah, dia pasti sangat marah padaku karena tak membawa Arum. Tapi tak apa, semoga ke depannya aku bisa meyakinkan putriku itu nanti."Papa..." teriak Caca saat aku baru turun dari mobil, gadisku itu berlari ke garasi mengejarku."Ya sayang?" sambutku langsung merangkul dan menggendongnya, tawa riang dan senyum Caca sejenak mengusir lelahku."Kok Caca panggil Pipi, papa nak?" tanyaku menurunnkannya."Mulai hari ini, Caca akan panggil Pipi, Papa ya? Kan Caca panggil Mama sama Mama Arum. Biar cocok," ujarnya, mendadak aku bungkam."Oh, iya Pa? Mama mana? Tadi Caca dah telpon Mama?" ucapnya lagi, kembali aku gendong putriku itu masuk kerumah."
POVARUMMalam berlalu, sang fajar berkunjung juga mengusik tenangku. Ini pagi pertama aku hidup seorang diri, mataku sembab karena menangis semalaman. Sedih saja saat mengingat garis nasib yang sudah tertorehkan. Kecintaanku pada mas Tama membutakan segalanya, aku menghancurkan banyak hati demi untuk hati seorang Tama. Aku telah membuang kebahagiaanku bersama mas Hadi demi dia. Kini aku seorang diri tanpa cinta tanpa keluarga. Mas Hadi sudah tak sudi melihatku. Ini memang kesalahanku. Aku benci mas Tama! Aku benci hidupku."Pagi neng?" sapa buk Hasna saat aku hendak menaiki mobil."Pagi Buk, mari buk saya berangkat kerja dulu ya?""Iya Neng, Hati-hati," sahutnya, aku menyu
Malam berkunjung, Mas Hadi terdengar berteriak memanggil pembantunya."Bik...,bibik.!" panggilnya dari kamar, entah berapa kali mas Hadi berteriak hingga aku mengcek ke dapur, kenapa pembantunya tidak datang-datang juga. Aku berjalan ke dapur dan mendatangi kamar Art itu."Bik, itu Mas Hadi memangg-" Ucapanku terhenti melihat dia gigil diatas kasur sembari bersembunyi dengan selimut tebal."Bibik kenapa?" desisku."Saya demam non, maaf. Inem juga tadi sudah izin pulang. Tolong bantu aku bilangin sama tuan," lirihnya gemetar. Sesaat hatiku terenyuh."Bibik....!" teriak mas Hadi makin lantang. Bergegas aku temui dia di kamar."Ya sudah bik, istirahat saja ya?" ucapku sembari bergegas.Sesampai di pintu kamar Mas Hadi, aku berd
POV TAMASore berkunjung, aku dan Geby beranjak pulang dengan menenteng barang bawaan yang lumayan untuk Luna dan bayi dalam kandungannya. Anak itu tampak ceria menenteng kresek berisikan nasi bungkus."Sini nak, kamu pasti capekkan," sigapku menganggkat badan gadis itu Menggendongnya pulang.Sesampai di rumah mataku terbelalak melihat Luna tergeletak tak sadarkan diri."Luna!" teriakku menurunkan geby. Bergegas aku rangkul wanitaku itu dan menepuk-nepuk lembut pipinya."Sayang?" lirihku. Geby juga tampak menangis histeris."Mama...," pekiknya menangis. Tak habis pikir aku mengendongnya ke atas kasur dan menyadarkannya."Luna.. Bangun lah," desisku, menepuk-nepuk pipinya sedikit kencang. Sayup-sayup matanya terbuka, berusaha ia getarkan bibirnya yang t
POV HadiSatu hari berlalu, Caca sudah mendingan. Namun dia tak mau bicara denganku."Sayang, kamu makan dulu ya Nak?" desisku menyodorkan sendok makan ke mulutnya sedikit ia menggerakkan lehernya."Gak mau...!" singkatnya, aku sedikit berdesih."Sayang kamu harus makan biar cepat sembuh nak?" ujarku."Caca gak mau sembuh! Caca mati aja," tukasnya, aku menelan liur, serek kerongkongan dan meletakkan piring itu lagi."Kamu gak mau sembuh? Baik lah! Berarti kamu tidak sayang pipi!" ucapku sedikit tegas. Anak itu tak bergeming hingga percakapan itu diselip oleh suara seorang dari pintu masuk."Caca...!" panggilnya, sontak saja wajahku berubah melihat Raina berdiri."Kamu...! Buat apa kamu datang lagi kesini!"
Tak butuh waktu lama, Aldi datang menemui kami semua, sepertinya dia sangat kesal akan perlakuan istrinya itu. Dia sepertinya sudah paham melihat warga ramai-ramai di depan kontrakanku."Ada apa lagi sekarang Tania?" ujarnya mendekat pada istrinya itu."Dia...! Dia wanita simpananmu'kan mas? Akhirnya aku menemukannya juga!" kesalnya.Plak....!Tamparan mendarat di pipi wanita itu, sontak saja mataku membulat. Semua orang juga terkejut."Dasar tidak tau malu? Kamu menyerang Arum kesini? Ini kali pertama aku menemuinya. Dan dia tidak tau apa-apa akan masalah kita!" bentaknya, perempuan itu gemetar memegangi pipinya. Bergegas Aldi merogoh sakunya dan melemparkan ponsel pada istrinya itu."Hotel Bintaro No 47, Kamu izin padaku untuk kerja keluar kota dengan Squadmu itu 'kan? Lalu siapa pasangan di atas ranjang ini. Cuih!" bentaknya. Dengan gemetar wanit
POV RAINA"Yes!" teriak Caca saat melihat ayahnya merangkul Arum."Mimi? Papa gak marah lagikan sama mama? Buktinya Papa peluk mama.."ucapnya girang. Aku juga tampak senyum sembari memantau kamera Cctv itu."Mimi, Mama sangat kedinginan?" ujar Caca sedikit sedih."Tak apa sayang, itu masih Wajar. karena ruangannya tertutup dan pakaian mama sedikit tipis makanya dia kedinginan kan ada papa?" ujarku, Caca melihatku dengan senyum, kembali aku melihat dua orang yang terjebak di ruangan full Ac itu. Entah kenapa ada yang tergores dihatiku melihat kebersamaan mereka. Mas Hadi. Dia pria yang pernah aku miliki. Aku pernah bersamanya, pelukannya dan sentuhannya lebih dulu aku rasakan. Kenapa hatiku tiba-tiba egois begini, seakan tak sanggup melihat kebersamaan mereka. Tapi ini memang jalannya, aku wanita yang buruk, sama sekali aku tidak akan pantas lagi untuk pria sekelas mas Hadi. Revan, di