Share

Tak Ada Gunanya Hidup

Abizar berjalan menghampiri Excel yang tak menyadari akan kehadiran laki-laki itu. Saat mata keduanya bertemu barulah ia sadar siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya.

"Di mana, Alesha?" tanya Abizar.

"Kamu lagi, kamu lagi, aku pikir kamu sudah mati dan pergi ke alam baka!" hardiknya sembari menunjuk wajah Abizar.

"Aku tanya di mana, Alesha? Apa yang kamu lakukan padanya, hah?!" Kali ini Abizar tak bisa lagi mengontrol emosinya.

"Emangnya kamu mau apa? Dasar sopir taxi!" Ejek Excel lagi.

Abizar menarik napasnya, ia ingin sekali memukuli wajah Excel saat ini.

Namun, Abizar berusaha menahannya karena tak ingin berubah dari korban menjadi tersangka. Apalagi, ia sudah meminta pengacaranya mengurus semua itu di kantor polisi.

Bahkan, Abizar juga sudah meminta pengacaranya untuk membuat laporan akan pengeroyokan dan juga penculikan terhadap temannya. Saat tiba di rumah sakit sebelum kesadarannya menghilang akibat obat bius.

"Sekarang pergi dari sini!" usir Excel.

Namun, bukannya pergi Abizar malah tersenyum tipis saat melihat dua polisi dan pengacara berjalan ke arahnya saat ini.

"Permisi, siapa yang bernama Excel Prawinata?" tanya polisi itu.

"Saya," ucap Excel. "Ada apa ini, Pak?" tanyanya bingung.

"Saya dapat surat perintah untuk membawa Anda ke kantor polisi untuk memberikan keterangan."

Excel memandang ke arah Abizar, laki-laki itu memicingkan matanya. Ia sadar benar bahwa, tak mudah bagi polisi untuk menangkap dirinya. Jika sampai terjadi hal seperti ini, ia mulai merasa si sopir taxi itu pasti bukan orang biasa.

Dengan terpaksa Excel mengikuti langkah polisi, ia menolak untuk digandeng apalagi diborgol. Karena belum ada bukti bahwa ia bersalah. Selama masih dalam praduga tak bersalah seseorang belum bisa dijadikan tersangka.

"Dengar baik-baik, aku akan bebas dari sana bahkan, kurang dari tiga puluh menit," ucap Excel di telinga Abizar.

"Kita lihat saja nanti, dalam tiga puluh menit itu apa saja bisa terjadi," balas Abizar lirih.

***

"Permisi, Nak, apakah kamu ini temannya Alesha?" tanya Mutiara pada Abizar yang kini duduk di kursi tunggu.

"Iya, Ibu. Apakah Ibu mengenal Alesha?" tanya Abizar sambil menatap wajah wanita bergamis maroon itu.

"Alesha, dia adalah putriku," jawabnya dengan terisak.

"Ada apa, Bu? Kenapa menangis?" tanya Abizar yang masih tak mengerti apa yang sedang terjadi pada Alesha.

"Saat ini kondisi Alesha kritis, ia mencoba untuk bunuh diri," jelasnya.

Seketika Abizar merasa bersalah, ia gagal melindungi gadis itu. Jika saat itu ia tak dipegangi dan dipukuli mungkin saat ini Alesha tengah berbicara padanya tentang kisah hidupnya.

"Apakah dia sedang dioperasi?" tanya Abizar gelisah.

Tante Mutiara mengangguk. "Seandainya, Tante tidak memaksanya untuk menikah mungkin kejadiannya tak akan seperti ini."

Abizar menunduk, dalam hatinya beribu doa ia panjatkan pada Allah, yang ia minta saat ini adalah kesembuhan untuk Alesha.

Dokter berseragam serba hijau dengan penutup rambut di kepalanya itu keluar dari ruang operasi.

"Keluarga dari pasien Alesha," ucapnya membuat Tante Mutiara dan Abizar berdiri.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dokter?" tanya Tante Mutiara dengan cepat.

"Alhamdulillah, pasien sudah berhasil melewati masa kritisnya. Akan tetapi, ia masih akan dipantau di ruang intensif selama satu kali dua puluh empat jam," jelasnya.

Tante Mutiara mengangguk mengerti, ia segera bersujud syukur pada Allah. Bahwa putrinya bisa terselamatkan. Dalam dunia ini Alesha menjadi satu-satunya orang yang ia miliki.

***

Kondisi Abizar kini jauh lebih baik, ia yang sudah mendapatkan perawatan selama dua hari bisa pulang dan menjalani rawat jalan.

Abizar yang telah mengganti baju pasien dengan kaos putih dan celana panjang, kini bergegas menuju kamar rawat Alesha. Ia tersenyum sepanjang lorong seperti orang yang kehilangan kewarasan.

"Assalammualaikum, Bu," ucap Abizar saat melihat Tante Mutiara.

"Waalaikumsalam, Nak Abizar. Silahkan masuk, Alesha baru saja siuman," ucapnya sambil tersenyum.

Tante Mutiara yang mengerti akan ada pembicaraan di antara keduanya. Memilih meninggalkan mereka. Wanita itu bergegas menuju kantin untuk mengisi perut.

Namun, saat wanita paruh baya itu hendak menuruni anak tangga, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari Excel membuatnya segera mengangkat telepon itu.

"Ada apa? Jangan pernah hubungi aku dan Alesha lagi!" bentak Tante Mutiara saat panggilan tersambung.

"Aduh, Mama, sabar, dong. Aku kan, baru saja menyelesaikan satu masalah, kenapa Mama harus membuat masalah baru lagi?"

"Apa maksudmu itu?"

"Aku tak punya maksud apa-apa, Ma. Yang jelas pengacaraku mengatakan bahwa saat ini aku belum bisa melakukan tindakan apa pun. Karena bisa saja aku akan berubah menjadi tersangka. Itulah aku mau meminta tolong pada Mama untuk menikahkan aku dan Alesha secepatnya, di rumahku."

Tante Alesha terlihat tak begitu suka mendengar perkataan Excel. "Tidak!" tolaknya dengan cepat. "Apakah kamu pikir saya bodoh ingin melihat hal yang sama terjadi lagi pada Alesha?"

"Hah, Mama jangan munafik, ya. Mama tahu benar, jika Mam--"

"Stop! Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan, tapi jangan pernah berani menikahi Alesha apalagi menyentuhnya!"

Tante Mutiara dengan cepat mematikan panggilan itu. Ia menarik napas panjang lalu bergumam, "Biarlah apa pun yang terjadi nanti, akan aku hadapi nanti." Wanita itu lalu menuruni anak tangga satu demi satu.

***

Kamar berdinding putih itu, menjadi saksi bisu bagaimana dua insan yang tengah terluka itu terdiam? Suasana kamar itu terlalu hening sehingga detak jarum jam terdengar begitu jelas.

"Apakah kamu baik-baik saja saat ini?" tanya Abizar yang masih berdiri di tempat yang sama sedari tadi.

Alesha yang terbaring hanya diam tak menjawab.

Membuat Abizar melangkah mendekati tepi tempat tidur itu.

"Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan padamu? Maafkan, aku. Karena aku tak dapat melindungimu seperti harapanmu padaku," sesal Abizar.

Alesha terdiam. Akan tetapi, air matanya mengalir. Ingin sekali ia memaki Abizar yang saat itu memutuskan menyelamatkannya dari jembatan.

"Ada apa? Katakan sesuatu padaku," pinta Abizar lagi.

Alesha yang tak bisa lagi membendung rasa sakit di hatinya kini berteriak ke arah Abizar. "Semua yang terjadi ini adalah salahmu!"

Abizar tertunduk.

"Jika kamu tak menyelamatkanku waktu itu, jika kamu tak berusaha membuatku tetap hidup. Maka semua ini tak akan pernah terjadi padaku."

Melihat emosi dan kekesalan Alesha padanya, tak membuat Abizar marah. Laki-laki itu malah merasa senang.

"Kamu benar semua ini adalah salahku, jika aku bisa melakukan sesuatu untukmu, maka katakanlah," ucap Abizar.

Laki-laki berkaos putih dengan rambut pendek hitamnya itu kini tak tega melihat mata gadis yang selalu menangis.

"Jika dengan menyalahkanku atas semua yang terjadi padamu, memuat dirimu merasa lebih baik, maka keluarkan semua kekesalanmu itu. Aku benar-benar meminta maaf."

Alesha merasa percuma berbicara pada Abizar. Tak akan ada yang berubah dalam hidupnya. Jika Allah sudah dua kali ingin dirinya tetap hidup, bukankah seharusnya ia menyadari bahwa pasti ada rencana Allah yang lebih baik untuknya.

"Aku tak akan mencoba bunuh diri lagi, aku juga tak akan mencoba melarikan diri lagi," ucap Alesha tiba-tiba.

Abizar hanya diam menatapnya.

"Seharusnya, dari awal aku tak menolak pernikahan itu." Alesha menghela napas. "Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Excel."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
SisiliaAshila Gmah
belum ada up nya thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status