Perbuatan Excel membuat luka yang begitu besar di hati Alesha. Gadis itu menangis di sudut kamar sambil beberapakali membersihkan tangannya dengan kasar seakan-akan ada banyak kotoran menjijikkan di sana.
Excel yang duduk di tepi tempat tidur sambil menghisap sebatang rokok, mengembuskan asap putih ke udara. Ia mendengkus lalu menghela napas sambil menatap ke arah Alesha.
"Jadi, apakah sekarang kita akan menikah?" tanyanya.
Alesha tak bisa berkata-kata, gadis cantik itu hanya bisa terus menangis. Pipinya yang putih mulus basah oleh air mata.
"Bersiaplah, dan jangan berpikir bisa lari dariku setelah apa yang aku lakukan padamu hari ini." Excel membenarkan kemeja putihnya, dua kancing di dadanya belum terkancing dengan benar.
Alesha menatap benci kepada laki-laki yang pernah begitu ia cintai. Baginya kini Excel tak lebih dari seorang bajing*n dan pengkhianat.
"Aku akan membersihkan diri dulu, dan kamu jangan bertindak macam-macam. Di luar sana dua anak buahku tengah menjaga pintu ini."
Alesha menatap kakinya di lantai, pikirannya entah ada di mana saat ini. Ia merasa hidupnya sudah hancur.
'Semua ini adalah salah Abizar, seandainya saja ia tak menyelamatkan diriku, aku tak akan pernah bernasib seperti ini. Seandainya, saja waktu itu aku mati.' Runtuknya dalam hati.
***
Penghulu telah tiba dengan Tante Mutiara, pernikahan tak jadi dilangsungkan di KUA. Karena insiden ini, maka ijab kabul akan dilakukan di hotel.
Gadis itu sudah tak tahu lagi caranya untuk bisa keluar dari tempat ini, ia juga tak tahu bagaimana caranya agar bisa menggagalkan pernikahannya.
Apalagi wali hakim juga sudah tiba di sana saat ini. Alesha, memang tak memiliki ayah, sang ayah telah meninggal dunia saat ia berusia lima tahun. Saudara laki-laki atau pun paman, ia juga tidak punya.
Alesha melihat pisau buah di atas nakas, saat ia hendak meraih pisau pintu kamar mandi terbuka. Excel yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil melihat ke arah Alesha.
"Sedang apa kamu di situ? Bukankah aku memintamu untuk bersiap?"
Alesha hanya terdiam. Rambutnya yang sedikit berantakan akibat ulah Excel tadi membuat laki-laki itu tersenyum.
"Kamu tetap cantik walau rambutmu berantakan seperti itu, sini aku rapikan," ucapnya sembari mendekat.
Alesha segera meraih pisau dan mengancam Excel. "Menjauh, jangan berani-beraninya kamu mendekatiku!" jeritnya.
"Tenanglah, letakkan pisau itu," bujuk Excel sambil terus mendekat.
"Aku akan menusukmu jika kamu terus berusaha mendekatiku." Alesha mengarahkan pisau pada Excel.
"Tenanglah, Sayang. Kenapa kamu bersikap seperti ini terus? Aku bisa gila menghadapimu."
"Jangan mendekat!" teriak Alesha.
Entah setan apa yang merasuki Alesha atau karena ia sudah putus asa dengan jalan hidupnya, hanya dengan sekali gores, pergelangan tangan gadis itu mengalirkan darah segar. Warna merah kini menetes di lantai putih itu.
Pisau itu terjatuh dari tangan Alesha, gadis itu lalu terjatuh tak sadarkan diri ke lantai. Gaunnya yang putih kini berpadu dengan warna merah yang terus mengalir dari pergelangan tangan kirinya.
Excel yang melihat hal itu panik dan seketika berteriak, kedua anak buahnya masuk dan melihat Alesha yang terbaring di lantai.
Excel meraih tubuh itu setelah merobek kemeja yang ia pakai untuk melilitkan di tangan Alesha. Ia menggendong gadis yang begitu ia cintai itu dengan kedua tangannya.
Tante Mutiara yang melihat akan hal itu sangat terkejut dengan apa yang terjadi pada putrinya. Kini Alesha sudah berada di mobil untuk dilarikan ke rumah sakit.
***
Ruang tunggu operasi itu terasa begitu dingin dan hening. Tante Mutiara tak bisa berhenti untuk berdoa, yang ia miliki di dunia ini hanyalah Alesha, tak ada lagi yang lain.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Excel?" tanya wanita cantik itu.
Excel yang terduduk di kursi tunggu sembari menopang kepalanya itu hanya diam.
"Excel, jawab!" bentak Tante Mutiara lagi.
"Aku, hanya ... dia tak bisa mengendalikan dirinya. Meraih pisau dan memotong urat nadinya," ucapnya terbata.
"Benarkah? Apakah kamu melakukan sesuatu padanya? Apakah kamu mendesaknya?"
"Ma, tolong jangan bertanya dulu, aku benar-benar takut jika sesuatu terjadi pada Alesha."
"Apakah kamu pikir, jika kamu tak melakukan semua ini, hal ini akan terjadi?" Tante Mutiara kembali duduk lemas di tempatnya.
***
Sementara di rumah sakit yang sama, di mana Alesha sedang melakukan operasi saat ini. Abizar juga tengah menjalani perawatan karena luka-luka yang tak terlalu serius yang ia terima. Laki-laki itu hanya belum sadarkan diri dari pingsan.
Namun, dalam alam bawah sadar Abizar, ia seperti melihat seorang gadis berlari menuju pantai. Ia terus berlari tak peduli dengan gaun putih yang ia kenakan itu basah.
Abizar terus saja mengejar gadis itu, ia merasa begitu mengenalnya. "Hey!" teriaknya.
Namun, gadis bergaun putih itu tak mau menoleh.
"Hey, berhenti! Kamu bisa tenggelam nanti."
Gadis itu kemudian menoleh, menatap Abizar dengan tatapan sendu. Ia lalu memalingkan wajah dan terus berjalan hingga air laut kini berada di pinggangnya.
Abizar yang saa itu sadar bahwa gadis itu adalah Alesha, segera berlari untuk mengejarnya. Saat ia berhasil meraih tangannya, tetapi tiba-tiba saja Alesha menghilang dari hadapannya begitu saja.
"Alesha!" teriaknya.
Teriakan Abizar di alam mimpinya, ternyata juga terjadi di alam nyata. Ia sadar dan tangan kanannya seolah-olah akan meraih sesuatu.
Seorang perawat yang tengah mengganti inpus segera memanggil dokter. Saat dokter masuk ia melakukan pemeriksaan dan memberikan beberapa pertanyaan.
Setelah semua itu, sang dokter pun bergegas keluar saat seorang perawat mengatakan bahwa pasien yang memotong urat nadinya mengalami kritis.
Abizar yang mendengar hal itu, merasa ada yang aneh pada hatinya. Entah mengapa ia merasa gelisah?
Perlahan-lahan Abizar turun dari tempat tidur, sambil mendorong tongkat inpusnya ia berjalan mengikuti dokter dan perawat yang berjalan begitu cepat.
Tiba di depan ruang tunggu operasi, Abizar melihat laki-laki berkaos putih yang tampak tak tenang, berjalan mondar-mandir.
Ingatan Abizar tertuju pada laki-laki yang tadi memyeret tubuh Alesha dengan paksa untuk masuk ke mobil. Perasaan Abizar semakin tak tenang.
Apakah gadis yang tengah kritis itu Alesha? batinnya berkecamuk.
Abizar berjalan menghampiri Excel yang tak menyadari akan kehadiran laki-laki itu. Saat mata keduanya bertemu barulah ia sadar siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya."Di mana, Alesha?" tanya Abizar."Kamu lagi, kamu lagi, aku pikir kamu sudah mati dan pergi ke alam baka!" hardiknya sembari menunjuk wajah Abizar."Aku tanya di mana, Alesha? Apa yang kamu lakukan padanya, hah?!" Kali ini Abizar tak bisa lagi mengontrol emosinya."Emangnya kamu mau apa? Dasar sopir taxi!" Ejek Excel lagi.Abizar menarik napasnya, ia ingin sekali memukuli wajah Excel saat ini.Namun, Abizar berusaha menahannya karena tak ingin berubah dari korban menjadi tersangka. Apalagi, ia sudah meminta pengacaranya mengurus semua itu di kantor polisi.Bahkan, Abizar juga sudah meminta pengacaranya untuk membuat laporan akan pengeroyokan dan juga penculikan terhadap temannya. Saat tiba di rumah sakit sebelum kesadarannya menghilang akibat obat bius."Sekarang pergi dari sini!" usir Excel.Namun, bukannya pe
"Kenapa?" tanya Abizar terkejut dengan keputusan Alesha. "Bukankah semua ini terjadi karena kamu ingin berpisah darinya, bukankan semua ini karena kamu tak ingin menikahi laki-laki sepertinya!" protes Abizar.Alesha yang kini duduk di atas tempat tidur, meremas kuat selimut putih yang ia kenakan."Kalau pada akhirnya kamu memutuskan untuk menikah dengannya. Untuk apa semua drama ini tercipta?"'Drama. Apakah ia menganggap kesakitanku ini sebuah drama untuknya?' batin Alesha."Harusnya aku tak harus berbaring di tempat tidur selama dua hari karena pukulan anak buah mantan kekasihmu itu," ucap Abizar tak terima.Sebenarnya, Abizar mengatakan semua itu bukan karena apa yang telah ia alami. Akan tetapi, karena ia tak ingin Alesha menikah dengan Excel. Entah mengapa, ia merasa tak rela jika hal itu sampai terjadi.Alesha menahan air mata yang sedari tadi ingin terjatuh saat mendengar perkataan-perkataan Abizar padanya. Gadis cantik berambut panjang itu merasa disudutkan seketika."Kenapa k
"Berikan aku sedikit waktu untuk bisa melakukannya," pinta Alesha dengan cepat. "Sampai aku benar-benar siap untuk menjadi istrimu."~Alesha Syaqueena***"Istri?" Wanita bergamis hitam itu menatap Alesha. "Bagaimana kamu bisa menikah tanpa memberitahu?""Kakak bilang ada urusan pekerjaan di luar kota, kenapa tiba-tiba menikah?" tanya adik Abizar bernama Zahrah."Istrimu ...?" tatapan sinis Alesha dapat dari kakak ipar Abizar. Arum namanya.Abizar sendiri memiliki dua saudara, kakak pertamanya laki-laki bernama Ansyar, sudah menikah dengan Arum dan memiliki seorang putri berumur lima tahun. Zahrah adik bungsu Abizar yang masih duduk di kelas tiga SMA. Sementara Abizar sendiri anak kedua.Namun, kisah rumah tangganya tak berjalan dengan baik. Ia kehilangan sang istri saat mengalami kecelakaan dan istrinya meninggal dunia.Alesha mendekat dan mencium takzim ibu mertuanya. Sebisa mungkin ia tersenyum manis."Kamu sudah makan, Nak?" tanya ummi Abizar.Alesha mengangguk. Waktu perjalanan k
Pagi ini semua orang bangun sebelum Subuh, Alesha yang ikut terbangun saat Abizar akan berangkat ke masjid, juga bersiap-siapa mengambil air wudhu."Sha, setelah pakai mukena nanti shalat berjamaah sama Ummi, Zahrah dan Mba Arum, ya," pesan Abizar.Alesha hanya mengangguk.Alesha menatap dirinya di depan cermin. Rasanya begitu nyaman dalam balutan mukenah. Ia bahkan, terlalu lama tak merasakan hal seperti itu lagi.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Alesha tersadar. Ia segera membuka pintu dan melihat Zahra tersenyum padanya."Mba Alesha, sudah siap ternyata," ucap Zahra sambil tersenyum.Alesha membalas senyuman itu dan bergegas keluar dari kamar.Zahrah membawa Alesha ke sebuah ruangan ukuran 3×3 meter, mushola mini yang ada di rumah ini memang khusus untuk shalat berjamaah dan juga shalat Sunnah.Ummi Abizar sudah ada di Mushola bersama Arum dan putrinya. Sementara Zahrah dan Alesha baru masuk dan segera menggelar sajadah.Setelah selesai shalat dan berdoa, Zahrah dengan cepat
Jatah Sebelum Pernikahanmu (9)Sepasang mata Arum menatap tajam ke arah Alesha yang masih berdiri mematung menatap cangkir yang pecah di lantai keramik putih itu."Lancang sekali kamu, ya!" teriaknya lagi."Maaf, Mba, aku terkejut karena teriakan Mba tadi," jawab Alesha lalu berjongkok."Kamu gak tahu seberapa berharganya gelas itu untuk Abizar, kalau dia tahu kamu akan merasakan akibatnya," ucap Arum sambil menunjuk Alesha.Alesha memilih terdiam, memunguti pecahan cangkir ke tangannya. Dalam pikirannya hanya memikirkan Abizar, mungkin ia akan marah padanya saat ini seperti perkataan Arum."Makanya kalau bukan milikmu jangan pernah berani mengambilnya," cetus Arum sinis.Alesha merasa apa kesalahannya pada Arum, sehingga ia merasa perempuan itu tak menyukainya sejak awal kedatangannya."Ada apa ini?" tanya Abizar yang masuk ke dapur untuk makan pagi.Alesha yang tergesa-gesa tak sengaja terkena pecahan cangkir dan mengakibatkan jari telunjuknya berdarah seketika. Ia mencoba menekan a
"Cinta itu bukan hanya sekedar nafsu untuk memiliki, memaksanya tak akan pernah membuat kisahmu bahagia."♡Layla Mumtazah***Selesai sarapan bersama Alesha membantu Arum membersihkan meja, ia juga mencuci piring. Syukurlah, walau Alesha tak pandai memasak setidaknya gadis itu bisa melakukan yang lainnya."Dengar baik-baik, bukan berarti Abizar sudah melupakan almarhumah istrinya hanya karena dia bersikap baik seperti tadi. Adik ipar memang selalu bersikap baik dengan siapa pun," ucap Arum saat membasuh gelas.Alesha menoleh, entah mengapa Arum selalu saja mengeluarkan kata-kata tajamnya."Benarkah? Kalau dia melupakan mantan istrinya dan mencintaiku memangnya, kenapa? Untuk saat ini aku adalah istrinya."Arum tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perempuan yang terlihat diam ini, ternyata bisa melawan perkataannya."Tapi tidak ada satu pun orang yang bisa memahami Abizar seperti diriku." Arum mencuci tangannya, mematikan keran dan keluar dari dapur.Meninggalkan Alesha yang masih te
Abizar masih sibuk dengan ponselnya hingga ia tak melihat sang istri tengah dalam gangguan Excel."Diam saja dan dengarkan ini baik-baik," ucap Excel di telinga Alesha "Apakah kamu sudah menghubungi Mama?"Alesha merasa ada hal yang Excel pasti lakukan pada sang Mama. "Apa yang kamu lakukan pada mamaku?" tanya Alesha."Jika kamu ingin mengetahuinya, segera hubungi aku." Excel tersenyum puas lalu pergi begitu saja setelah menutup kepalanya dengan jaket hoodie hitam yang ia kenakan.Excel memakai masker hitamnya, di saat bersamaan Abizar bangun dari kursi dan berjalan ke arah toko yang Alesha katakan.Excel yang menyadari bahwa saat ini Abizar berjalan ke arahnya, dengan sengaja menabrak bahu Abizar. Excel tersenyum sinis di dalam masker, lalu mengangguk dan terus berjalan lagi meninggalkan Abizar. Sementara Abizar yang tak mengenali Excel hanya memandang punggung laki-laki berjaket hitam itu dan mengabaikannya.Alesha yang melihat Abizar, segera masuk ke toko setelah menenangkan piki
Jatah Sebelum Pernikahanmu (12)***Alesha tak suka mendengar suara Excel memanggilnya sayang. Entah mengapa ucapan yang dulu begitu tersa indah di telinga, kini berubah menjijikan bagi Alesha."Temui aku nanti malam, akan aku beri tahu padamu, bagaimana?" Tawaran dari Excel."Kamu kira aku bodoh, kamu pasti hanya ingin menculikku lagi, bukan?" tegas Alesha."Jangan bodoh, Sayang. Untuk apa aku menculik dirimu? Apakah kamu pikir aku mau berurusan dengan polisi lagi?"Alesha terdiam, ia hanya ingin mengetahui soal mamanya saat ini. Jika memang bertemu dengan Excel bisa membuat bertemu dengan mamanya kenapa tidak."Tunggulah nanti malam aku akan menjemputmu."Seketika Alesha mengerenyitkan dahi."Apa kamu tahu di mana aku tinggal saat ini?" tanya Alesha bingung, sementara di seberang sana suara Excel terdengar nyaring tertawa."Tentu saja! Mudah bagiku untuk menemukan kamu. Walau kamu berada di lubang semut sekali pun."Alesha mengumpat di dalam hati. Kenapa ia harus bertemu dengan mons