“Teman Ibuk yang mana? Perasaan aku belum pernah denger nama itu sebelumnya.“ Kinar mengerutkan kening. Ratih berdiri, lalu berjalan menuju kamarnya. Kinar yang tidak mendapatkan jawaban dari ibunya, gegas ikut masuk ke kamar. Ratih menyimpan uang pemberian Kinar. Andai Kinar dapat uang itu dari kemarin, mungkin Ratih tidak perlu menjual baju dan celana. Dan mungkin, peristiwa penjambretan itu tidak akan terjadi. Ratih bisa meminjam uang Kinar dulu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ratih mengambil baju ganti, lalu mengganti pakaiannya. Ratih terbiasa mandi di toko. Jadi, pulangnya ia hanya perlu berganti pakaian. Belum selesai mengganti baju, ponselnya berdering kembali, Mas Damar memanggil. “Assalamualaikum.“ Suara dari seberang spontan membuat Ratih menarik bibirnya ke atas. Ia merebahkan diri di kasur. “Waalaikumsalam.““Kenapa telponnya tadi nggak diangkat,“ tanya Damar. “Ada Kinar di sampingku. Aku nggak enak ngobrol dengan orang asing di depannya.““Jadi ... sampai sek
JATAH SUAMI ONLINEJSO 4 Sepanjang malam Ratih tidak bisa tidur. Ia terganggu dengan pikirannya sendiri yaitu tentang pertemuan esok hari. Selama ini Ratih hanya melihat Damar dari foto-foto yang dikirim lewat pesan whatsapp, tetapi besok mereka akan bertemu secara langsung. Antara rasa penasaran dan takut menjadi satu dan bersarang dalam pikiran Ratih.Ratih membolak-balikkan badannya, terkadang ia berhitung sampai ratusan berharap bisa segera tidur. Namun, matanya enggan mengatup juga. Akhirnya Ratih mengambil wudu, ia salat sunah, membaca Al Quran hingga lama-lama ia kelelahan dan tertidur di atas sajadah. Paginya, Ratih bangun kesiangan. Kinar sudah lebih dulu ada di dapur, Kinar sedang menanak nasi. Ia juga sudah menyapu lantai. Kinar anak yang rajin, tanpa diminta, ia selalu membantu pekerjaan ibunya. “Kalau Ibuk masih sakit, Ibuk libur lagi saja. Kebutuhan rumah bisa pakai uangku dulu. Yang penting kondisi Ibuk pulih dulu,“ ucap Kinar saat melihat Ratih sedang membuat omle
“Baik, Pa. Papa apa kabar?““Sangat baik, Sayang. Sudah hampir setahun kita nggak ketemu dan sekarang kamu terlihat makin cantik,“ puji Damar kepada Clarisa. Gadis blesteran Indonesia-Itali yang tak lain adalah putri kandung Damar. “Bagaimana sekolahmu?“ lanjut Damar. “Ceritanya nanti di rumah saja. Nenek sudah menunggu dan Papa tahu, 'kan? Nenek tidak akan berhenti mengomel kalau kita sampai terlambat pulang.““Baiklah, ayo kita pulang!“Mereka berjalan berdampingan. Jika dilihat dari belakang mereka nampak seperti pasangan suami istri. Clarisa sekolah di Itali sejak SMA, ia ikut Mamanya di Itali dan akan pulang ke Indonesia satu tahun sekali untuk menemui Damar dan Aida neneknya. Perjalanan dari Bandara ke rumah Damar hanya satu jam lebih sedikit. Rumah mewah dan besar itu dijaga oleh dua orang satpam di pintu gerbang. Mereka berdua menunduk saat mobil Damar masuk. Clarisa melambaikan tangan, sementara Damar hanya menganggukan kepala. “Nenek, kami pulaaang!“ teriak Clarisa begitu
Damar semakin kencang melajukan motornya. Ratih ketakutan, ia meremas jaket kulit Damar. Dalam hatinya berdoa, bermacam-macam doa ia panjatkan. Sampai akhirnya motor Damar berhenti di sebuah Klinik di pinggiran kota Yogyakarta. Ratih gemetar, ia turun dari motor lalu jongkok sambil mendekap kaki. Ratih menangis, ia benar-benar ketakutan. “Kumohon, kasihani aku. Aku masih punya dua anak yang harus aku hidupi. Tolong jangan sakiti aku!“ ucap Ratih gemetar, wajahnya menunduk, ia takut melihat Damar. Damar ikut jongkok di depan Ratih. Ia menyentuh bahu Ratih, tetapi tangan Ratih menepisnya dengan cepat. “Aku tidak akan menyakitimu, Ratih. Lihatlah! Aku membawamu ke klinik. Kita periksakan kakimu. Kakimu bisa infeksi kalau tidak dirawat.“Ratih mengusap airmata lalu mendongak. Benar, ia membaca papan besar sebuah klinik kesehatan. “Kenapa harus sejauh ini? Kamu benar nggak akan macam-macam, 'kan?“ tanya Ratih. Ia berdiri, lalu mengedarkan pandang. “Memangnya tampangku seperti penjaha
Selesai rutinitas malam, Ratih merebahkan diri di kamar. Ia membuka ponsel yang sudah beberapa saat terabaikan. Pesan dari Damar yang sudah masuk dari tadi baru sempat ia buka. Tidak membalas pesan itu, Ratih justru membuat story whatsapp. “Terima kasih untuk hari ini, hari yang sangat melelahkan.“[Belum tidur?] Selang dua menit, Damar mengirimkan pesan lagi. [Sebentar lagi.][Aku yang harusnya mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah mau menemuiku.] Damar menambahkan emoticon tangan saling bertautan. [Sama-sama. Aku juga mau ngucapin makasih. Makasih sudah membawaku ke Dokter. Tapi ....][Tapi kenapa lagi?][Kenapa kamu bayar taksinya mahal sekali?][Hahaha, aku kira apa. Biar saja, itu rezekinya bapak sopir taksi. Kasihan, dia kerja sampai malam.][Gajiku satu minggu saja nggak sampai segitu.][Memangnya berapa gajimu di toko?][Sudah nggak usah dibahas. Aku tidur dulu, ya!][Sebentar!][Apa lagi?][Apa kamu nggak punya keinginan menikah lagi?]Mendengar pertanyaan itu, tiba
“Kamu nyari siapa, Tih?“ tanya Mirna saat Ratih sudah kembali. “Orang yang kirim makanan itu, dia kirim pesan WA.““Siapa memangnya? Damar?““Bukan.““Lalu siapa?““Radit, tetanggaku. Enaknya gimana, nih? Aku balikin saja, ya, makanannya. Aku takut istrinya marah.““Owh dia sudah punya istri?“ tanya Mirna lagi. Ratih mengangguk. “Kalau kamu balikin sekarang terus istrinya tahu, apa kamu yakin nggak akan ribut juga?““Lalu aku harus gimana?““Kita makan saja. Anggap ini rejeki siang hari ini. Nah, kamu balas tuh chatnya, bilang nggak usah kirim-kirim makanan lagi. Misal tetep ngirim kamu ancam saja mau ngadu ke istrinya. Pasti dia mikir, itu pun kalau dia takut ribut sama istrinya.“Ratih memikirkan apa yang dikatakan Mirna, semua ada benarnya. Untuk kali ini, biarlah dianggap rezeki. Esok atau lusa, kalau Radit masih berani kirim makanan lagi, baru Ratih akah bertindak tegas. ***“Kenapa ayamnya nggak dimakan, Tih?“ tanya Mirna saat melihat Ratih hanya melahap nasi dan sambalnya saj
Seharian tanpa kabar dan sekarang Damar sudah ada di depan rumah Ratih? Ratih menutup mulut tak percaya. Kinar menatap Ratih penasaran, ia mengerutkan keningnya. Ratih berjalan ke ruang tamu, mengintip dari korden yang sudah tertutup rapat tanpa melepas ponsel dari telinganya. Damar tahu Ratih mengintip dari balik korden. Ia tersenyum, mematikan ponsel, lalu mengetuk pintu rumah. Dengan ragu Ratih membuka pintu. Kinar ikut mendekat, ia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Assalamualaikum.“ Damar mengucapkan salam, ia menyembulkan senyum dari wajahnya yang tampan. “Waalaikumsalam,“ jawab Ratih pelan. “Maaf bertamu malam-malam. Apa boleh masuk?““Oh, ehm, iya, silakan masuk!“ Ratih terlihat sedikit gugup. Damar duduk berseberangan dengan Ratih. Melihat Kinar berdiri di dekat buffet kayu, Ratih memanggil Kinar, lalu mengenalkannya pada Damar. “Kenalkan, ini Kinar anakku yang pertama. Kinar, ini Om Damar, beliau teman ibuk.“Damar mengulurkan tangan. Kinar menyambutnya, te
“Hati-hati, Mbak, kalau ngomong. Saya bisa tuntut Anda!" Damar ikut bicara. “Heh, aku Bu RT di sini, ya. Aku bisa usir kamu dari sini!““Menuduh tanpa bukti bisa dipidanakan, saya bisa membayar pengacara untuk membuat Anda di penjara!“ imbuh Damar. "Sudah, cukup! Baik, aku tidak akan ngobrol dengan suamimu lagi. Tapi tolong jangan bikin keributan dan katakan pada suamimu jangan ganggu hidupku lagi.““Baik, jika aku melihat kamu dekat-dekat dengan suamiku lagi. Maka aku akan melaporkan kalian dengan pasal perselingkuhan. Ngerti!“ bentak Tika. Ratih hanya mengangguk. Biasanya Tika tak seperti itu. Mungkin orang-orang yang tidak suka dengan Ratih membuat laporan yang tidak-tidak yang akhirnya menyulut cemburu di hati Tika. Tika pergi dengan mulutnya yang masih meracau tak jelas. Damar menatap Ratih sangat tajam. Damar mendekati Ratih. “Maafkan aku! Aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu.““Kamu nggak salah. Memang sudah resiko jadi janda, ya, seperti ini.“ Kelopak mata Rati