Share

JSO 2

Teriakan Ratih membuat banyak orang mendekatinya. Ratih masih jongkok sambil memegang kakinya yang terluka. Beberapa orang berlari mengejar, tetapi tidak berhasil menangkap penjambret itu.

“Bagaimana keadaannya, Mbak?" tanya seorang Bapak paruh baya yang membantu Ratih berdiri. Seorang Ibu berjalan cepat memberikan Ratih minum.

“Kita bawa ke kantor Polisi saja,“ celutuk seorang lagi. Namun, Ratih melambaikan tangan. Ia masih mengatur napas akibat terjatuh tadi.

“Nggak usah, Pak, Buk. Sudah nggakpapa.“

“Yang hilang banyak, Mbak?“ tanya Ibu yang memberi minum tadi.

“Enggak, Buk. Cuma sedikit. Sama KTP saja, kok.“

“Ya sudah, kalau gitu, saya antar pulang ya, Mbak.“ Ibu itu kembali menawarkan bantuan.

“Terima kasih, Buk. Saya kerja di toko setelah belokan itu. Nggak jauh, kok, saya bisa jalan kaki,“ tolak Ratih. Namun, ibu itu tetap memaksa ingin mengantar. Akhirnya Ratih menyerah dan mau diantar sampai toko.

***

Galuh datang pukul sebelas. Biasanya ia ada di toko sebentar untuk mengecek barang yang habis. Ratih dan Mirna sudah dipercaya untuk menjaga toko sejak awal toko itu buka. Jadi, Galuh jarang berlama-lama di toko. Ia punya anak berkebutuhan khusus yang baru berumur lima tahun. Semua masalah toko diserahkan ke Ratih dan Mirna. Ia hanya order barang dan cek pembukuan saja.

“Kamu kenapa, Ratih? Kenapa jalanmu pincang?“ tegur Galuh saat melihat Ratih berjalan dengan menarik sedikit kaki.

“Tadi aku kena jambret di pasar.“

“Hah? Terus, jambret itu ketangkap? Apa saja yang hilang?“ cerocos Galuh sambil menarik lutut. Meminta Ratih duduk di dekatnya.

“Sedikit uang dan KTP.“

Galuh membuang napas kasar. “Kok bisa, sih? Padahal jam segitu 'kan pasar ramai. Kok, ya, bisa ada jambret.“

“Aku juga nggak tahu, Luh. Kalau aku tahu mau dijambret, ya mending aku berangkat naik angkot tadi.“ Ratih tidak bercerita kalau ia baru saja menjual baju dan celana di pasar.

“Ya, sudah. Aku pulang dulu. Sean tidak bisa ditinggal lama. Lain kali hati-hati, ya! Oya, nanti kalau ada orang ngantar beras bilang kalau uangnya aku transfer, jangan pakai uang toko untuk membayar,“ pesan Galuh sebelum ia pergi dengan mobil barunya.

Galuh baru saja membeli mobil, ia bilang ke Ratih kalau omzet toko tiga tahun ini lumayan besar, jadi ia bisa menabung banyak. Galuh juga berjanji kalau omzet tahun ini naik lagi, maka ia akan menaikkan gaji Ratih dan Mirna.

Ratih hanya tersenyum. Tiga tahun bekerja di tempat Galuh, gajinya belum pernah naik. Galuh memang terkenal pelit di antara saudara Ratih yang lain. Namun, yang tampak sukses dan punya usaha bagus hanya Galuh dan suaminya.

Suami Galuh punya toko onderdil dan bahan bangunan. Itu pun sudah punya cabang di beberapa kota, dan sekarang toko sembako Galuh juga berkembang pesat. Ia punya rencana untuk membuka cabang di beberapa tempat.

Toko sedang tidak ada pembeli. Mirna makan di bawah tangga, sementara Ratih memainkan ponselnya. Perempuan berusia 35 tahun itu memang senang sekali membuka aplikasi biru. Ia kerap menuliskan kutipan-kutipan dan puisi. Selain mengisi waktu kosong. Ia gemar menuliskan apa yang tengah ia rasakan. Itulah yang menjadi awal mula Ratih berkenalan dengan Damar. Damar adalah salah satu pengagum tulisannya.

“Jika itu masih rezekiku, maka dengan banyak cara ia akan kembali padaku“

Tulisan Ratih di beranda mengundang banyak like dan komentar. Rata-rata dari mereka bertanya kenapa dan apa yang hilang. Ratih hanya membalas komentar mereka dengan emoticon tersenyum dan love berwarna biru.

Tak lama, toko kembali ramai. Ratih menaruh ponselnya, lalu kembali melayani pelanggan. Terkadang, mereka berdua kewalahan jika pembeli datang bersamaan. Ada tipe pembeli yang tidak mau mengantri dan asal serobot, hingga tak jarang menimbulkan keributan kecil.

Namun, ada tipe pembeli yang suka belakangan. Mereka bahkan sengaja berlama-lama di toko untuk mengobrol bersama Ratih. Ya, karena Ratih adalah pendengar yang baik, dan ia bisa jadi tempat curhat para konsumen.

“Mbak Ratih, ini buat makan siang, Mbak!“ Mbak Echa mengulurkan dua bungkus nasi goreng kepada Ratih, “Satunya buat Mbak Mirna,“ imbuh Mbak Echa.

Mbak Echa adalah pelanggan toko Galuh yang kerap membawakan Ratih dan Mirna makan. Kadang kue jajanan pasar, kadang nasi atau bakso.

“Aku sudah makan, Mbak,“ sahut Mirna.

“kalau gitu dibawa pulang saja. Buat anak-anak.“

Selesai melayani Mbak Echa, Ratih membuka nasi gorengnya. “Alhamdulillah, ada rezeki lain yang datang,“ ucap Ratih yang teringat kalau ia sudah tidak punya uang sepeser pun.

Di sela makan, Ratih berpikir uang saku anak-anak besok. Air matanya hampir saja tumpah. Namun, ia berusaha menahan. Tidak ada yang kebetulan, semua ini pasti sudah diatur oleh Allah. Dan Ratih percaya itu.

***

Mirna mengantar Ratih pulang. Ratih masih merasakan nyeri pada lututnya, jadi ia tidak sanggup kalau harus berjalan jauh lagi. Beruntung Mirna adalah teman yang selalu baik kepada Ratih. Ia bahkan kerap meminjamkan uang kepada Ratih, meski ia sendiri hanya hidup pas-pasan.

“Makasih, Mir. Mampir dulu, yuk!“

“Aku langsung pulang saja. Biar bisa salat Maghrib di rumah.“

Kinar sudah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan ibunya. Ia memegang amplop besar berwarna coklat.

“Ibuk kenapa? Kenapa jalannya pincang?“ tanya Kinar sambil meraih tangan Ratih, memapahnya masuk.

“Ibu tadi dijambret orang. Sisa uang kemarin habis. Maaf kalau besok kalian tidak bisa bawa uang saku. Kalian bawa bekal nasi sama telor saja dari rumah. Jadi nggak usah jajan.“

“Buk, ini. Ibuk buka saja!“ Kinar menyerahkan amplop itu kepada Ratih.

Ratih membuka amplop itu, ia terperanjat saat melihat isinya beberapa lembar uang ratusan. Ratih menghitungnya, semua ada lima belas lembar.

“Ini uang dari mana, Kinar?“ tanya Ratih menatap gadis remaja yang justru mengulas senyum di wajahnya yang manis.

“Jadi begini, Buk. Sebulan lalu, aku ikut lomba menulis di salah satu majalah remaja. Dan alhamdulillah aku menang, Buk. Aku dapat juara satu.“

“Kamu nggak bohong, 'kan, Kinar?“ Ratih masih tidak percaya dengan ucapan putrinya. Kinar berlari ke kamar, lalu menunjukkan majalah itu kepada Ratih.

Ratih membaca pengumuman itu. Tiba-tiba air matanya jatuh. Ratih meletakkan majalah lalu memeluk Kinar.

“Uangnya kamu simpan saja, ditabung untuk biaya sekolah kamu besok.“ Ratih menyerahkan amplop coklat itu kepada Kinar.

“Uang itu Ibuk pakai saja dulu. Bisa buat uang jajan Rea besok waktu outing class. Bisa Ibuk pakai juga untuk yang lainnya. Aku masih ada sedikit uang, kok.“

“Uang dari mana lagi, Kinar? Uang jajanmu 'kan nggak banyak.“

“Aku jarang jajan, Buk. Jadi uang yang Ibuk kasih masih.“

Ratih kembali menggugurkan air mata. Kinar kini sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat mengerti dengan kondisi ekonomi orang tuanya. Ratih sangat beruntung memiliki Kinar dan juga Rea.

Ponsel Ratih berdering. Panggilan video dari Damar. Kinar yang duduk tepat di sebelah Ratih sempat melirik dan membaca nama penelepon itu.

“Mas Damar itu siapa, Buk?“

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status