Rinjani adalah milik Brama, tapi Brama bukan milik Rinjani. Lima tahun bersama,. Rinjani akhirnya menyadari hal itu, ketika Brama memutuskan bertunangan dengan perempuan lain begitu saja. “Aku mohon, lepaskan aku Bram. Aku capek.” Brama mengangkat dagu Rinjani arogan “Lepaskan? Jangan harap! Kamu nggak akan bisa lepas dariku!” Sejak awal bersama, Brama yang mengontrol hubungan ini, hutang budi dan cinta membuatnya pasrah menunggu selama lima tahun. Namun, Rinjani lelah, dia tidak ingin bertahan lagi ketika Brama sibuk pamer kemesraan dengan tunangannya. Dia akan lepas dari Brama, bagaimana pun caranya.
Lihat lebih banyakRinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.
Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.
“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat lelah.
“Aku hanya merasa sedikit lelah,” jawabnya singkat. Rinjani berjalan ke belakang kursi Brama. Tanpa banyak bicara, tangannya mulai memijat pelan kepala Brama. Brama tidak menolak, kerutan di kening pria itu perlahan mulai berkurang.
Dia menyandarkan kepalanya ke belakang, membiarkan tangan lentik itu mengurangi rasa penat di sekitar kepalanya.
“Kamu begadang lagi? Kapan kamu akan lebih peduli kesehatan sendiri? Semalam juga kamu nggak pulang. Tidur di kantor?” tanya Rinjani, suaranya hampir seperti protes lemah yang terdengar pasrah.
Lima tahun bersama, dia tahu Brama sangat gila kerja. Kekasih yang sekaligus juga atasannya itu tidak akan berubah hanya dengan satu protes darinya.
“Hmm.” Brama hanya bergumam tidak jelas, menanggapi ucapan Rinjani itu.
“Brama,” Rinjani memulai, suaranya sedikit meragu, tapi melihat Brama mulai rileks, dia memberanikan diri untuk bertanya. “Semua gosip tentangmu dan Kiara, apa itu benar?” tanyanya hati-hati.
Brama terdiam sejenak. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih sunyi, seolah waktu berhenti berputar. Rinjani berhenti memijat, tangannya masih terbangkit di atas bahu Brama. Dia menunggu, jantungnya berdebar kencang.
“Semua itu benar. Aku akan segera bertunangan dengan Kiara,” jawab Brama akhirnya, suaranya datar, tanpa emosi.
Rinjani tertegun. Tangannya jatuh lemas di sisi tubuhnya. Dia merasa seperti ditampar keras. “Tu-nangan?”
Lalu bagaimana dengannya? Sudah lima tahun, apa dia masih belum bisa melunakkan hati Brama?
Dia tidak ingin percaya pendengarannya sendiri sekarang. Beberapa minggu ini, dia mulai mendengar kabar gosip pertunangan pria itu dari orang-orang di sekelilingnya, dan bahkan orangtuanya juga mengatakan itu.
Namun, pengakuan Brama-lah yang menghancurkannya.
Brama berdiri dari kursinya, wajahnya berkerut. “Hmm, papa sudah menyuruhku untuk segera bertunangan. Kiara adalah pilihan terbaik, sekarang.”
Rinjani tidak mampu lagi memijat kepala Brama, tangannya terkepal menahan rasa sakit di dadanya. “Oke, aku mengerti. Aku akan pindah secepatnya dari apartemen itu.”
Gadis itu mencoba untuk tetap tenang. Meski, dia tidak ingin suaranya sedikit bebrgetar menahan tangis.
“Rinjani, jangan menambah masalah. Kepalaku sudah cukup pusing dengan semua masalah yang ada.”
Gadis itu menggiggit bibirnya kuat. “Aku nggak cari masalah. Aku hanya berbicara apa adanya. Kamu akan segera bertunangan. Hubungan kita harus segera berakhir, kan?”
Hatinya bagai diremas, dia juga ingin marah, dia juga ingin teriak. Dunia di sekitarnya terasa runtuh. Dia mencintai Brama sejak dia masih muda, memantaskan diri untuk Brama sudah nyaris bagai obsesi dalam dirinya.
Dia melakukan semua yang Brama mau, menjadi sekretaris yang bisa diandalkan, menjadi kekasih yang sempurna yang bisa menjadi tempat Brama mendapatkan ketenangan.
Dengan harapan, kalau itu bisa mengurangi kesenjangan yang terbentang lebar di antara mereka berdua.
Sayangnya, sekarang dia harus menerima kenyataan, semua perjuangan itu sia-sia. Brama tidak akan pernah bertunangan dengan anak pembantunya sendiri.
“Pertunangan itu nggak akan mengubah apapun di antara kita.” Tegas suara Brama tidak terbantahkan. Dia memilih memejamkan matanya, mengabaikan reaksi Rinjani.
Rinjani menghela napas panjang. Dia kenal Brama dan tahu pria itu tidak ingin melanjutkan pembicaraan di antara mereka.
“Rinjani, bangunlah! Sudah waktunya berhenti bermimpi. Kamu hanya anak pembantu yang beruntung mendapatkan beasiswa di keluarga ini. Brama tidak akan pernah serius denganmu,” batinnya pedih.
Semenjak kecil dia sudah mengenal Brama, sedari kecil dia tahu kalau Brama adalah tuan muda yang tidak terjangkau, sedangkan dia hanyalah anak pasangan pembantu di keluarga itu.
Dia yang tidak tahu diri, dibutakan cinta, dan berani berharap sesuatu yang mustahil. Sakit ini, adalah akibat dari perbuatannya sendiri.
Rinjani berjalan menjauh dari Brama, hendak keluar dari ruangan itu. Saat itu tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Kiara masuk dengan langkah percaya diri, senyum tipis terukir di bibirnya.
“Bram, sorry aku ganggu pekerjaan kamu ya?” Dengan langkah riang, gadis cantik itu menghampiri Brama, dan langsung merangkul lengannya manja.
Rinjani menatap Kiara, lalu kembali ke Brama. Dia merasa seperti orang ketiga di ruangan itu. Hatinya hancur, tapi dia tidak mau menunjukkan kelemahannya di depan Kiara.
“Saya permisi dulu, Pak.” bisik Rinjani, suaranya hampir tidak terdengar. Dia mengambil dokumen dari atas meja dan berjalan keluar ruangan dengan langkah terburu-buru. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin pergi dari sana, jauh dari Brama dan Kiara.
“Tunggu dulu!”
Rinjani benar-benar tidak ingin berbalik sekarang ini. Dia tidak ingin sisa harga diri yang berusaha dia bertahankan saat itu, tergerus bagai debu tidak berarti. Matanya masih berair dan dia tidak punya kepercayaan diri untuk menghadapi Kiara.
“Kamu ada perlu apa sama sekretarisku?” tanya Brama. “Kamu datang ke sini untukku, atau untuknya?”
Langkah kaki Rinjani terpaku saat itu, dia tidak tahu harus berbalik atau pergi begitu saja, meninggalkan tempat yang untuknya terasa memuakkan itu.
Rinjani memegang lehernya, kemudian menoleh ke Brama. “Wait, ini agak gelap, aku susah untuk mengaitkan belakangnya."Untukmu," ujarnya lembut. “Ini apa?” Dia meraba lehernya menemukan kalung sudah melingkar di sana. “Kalung yang kemarin.”Rinjani ingin menolak, tangannya sudah bergerak hendak meelepaskan kalung itu, tapi Brama langsung menahan tangannya. “Kamu sudah berjanji.”“Janji itu benar-benar jadi senjata buat kamu ya, sekarang.”Brama tertawa kecil. “Kamu harus tepat janji, kan?”"Baiklah ... tapi Cuma kalung ini, aku nggak akan menerima yang lain."Brama tidak memaksa lagi, sekarang Rinjani setuju memakai kalung itu, perlahan dia akan membuat Rinjani menerima semuaa perhiasan itu bahkan hingga cincinnya.Tidak lama lagi, dia akan menggantikan cincin jelek yang sekar
***“Nggak usah keluar! Aku akan langsung masuk ke mobil kamu!!”Rinjani buru-buru menyusun barangnya ke dalam tas dengan ponsel menempel di telinganya. Setelah itu dia berjalan cepat ke luar hingga setengah berlari.Sore ini, Brama mengajaknya makan malam bersama sepulang kerja. Rinjani berusaha menolak, tapi entah dari mana Brama tahu kalau malam ini, Jagat sibuk menemani Evie. Dia tidak punya alasan untuk menolak.Akhirnya dia membiarkan pria itu menjemputnya di depan kantornya. Meski begitu dia tidak ingin banyak yang melihat Brama di kantornya.Rinjani membuka pintu mobil Brama, masuk dan kemudian menutupnya dengan cepat!“Hah!” Jarak yang singkat itu cukup untuk membuatnya kepanasan karena rasa tegang takut ada yang melihat.“Setakut itu? Aku sudah pernah ke sini, kan?” celetuk Brama tidak mengerti.Rinjani dia menyadari kebenaran kata-kata itu. “Kalau orang salah itu memang bawaannya selalu takut!” gumamnya lirih. Rinjani menyerahkan tablet Brama kembali ke pria itu. Bram
Karena tidak mungkin kembali ke sana, Rinjani mengirim pesan ke Brama saat dia tiba di mobilnya.Rinjani [Tabnya terbawa. Kapan aku bisa kembalikan? Ketemu di mana?”Brama [Bawa saja dulu, hari ini aku ada janji sama Mama. Besok aku akan mengabari kamu harus bawa tab itu ke mana.]Rinjani menghela napas gusar. Tab di tangannya itu sekarang terasa bagai bola panas di tangannya.Rinjani. [Oke.]Dengan wajah masam, Rinjani meninggalkan tempat itu. Sementara itu di sisi lain, Brama masih sibuk menenangkan ibunya. “Ma, aku tahu apa yang harus dilakukan. Mama tenang saja.” Mengingat apa yang sudah dilakukan oleh Brama beberapa saat lalu terkait perusahaan, ibunya menyadari kalau Brama adalah orang yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.Dengan sifat itu, bagaimana dia bisa percaya kalau Brama tidak memiliki niat lain ke Rinjani.“Mungkin, kalau dulu kamu bilang begini, mama akan percaa. Mama kira kamu adalah anak yang nggak menuntut banyak, ternyata mama s
Berbeda dengan Rinjani yang panik, Brama justru terlihat tenang. Dengan santai, dia meraih tangan Rinjani yang gemetar dan menatapnya dengan tatapan menenangkan."Tenang saja, aku yang akan urus ini," ujarnya dengan suara rendah namun tegas.Rinjani hanya bisa menggeleng, wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. Dengan cepat, dia membereskan sisa nasi Padang di meja, memasukkannya ke dalam plastik, dan membuangnya ke tong sampah."Aku harus pergi," bisiknya sambil melirik ke arah pintu.Brama memegang erat pergelangan tangan Rinjani. "Aku janji tidak akan bilang apa-apa tentang kita ke Mama. Kamu tidak perlu takut.""Bukan itu masalahnya!" Rinjani berbisik keras. "Mama kamu nggak akan suka melihatku di sini! Kamu juga tahu itu!”Pertemuan terakhir mereka di rumah Brama itu berakhir dengan sangat buruk, Rinjani tidak tahu harus bersikap seperti apa kalau bertemu.Brama menggeleng. “Tenang saja, sekarang mama nggak akan lagi mempermasalahkan kamu.”Rinjani tidak yakin. Pikirannya dipenuh
“Sudahlah, kamu nggak perlu ngerti. Aku juga nggak pernah mengomentari pertunangan kamu dengan Kiara kan?”Rinjani mengabaikan kebingungan Brama, dan memutuskan untuk fokus ke ponselnya, menjawab beberapa email dari klien dan membalas pesan masuk dari pegawainya soal pekerjaan.Melihat Rinjani tidak berniat lagi membahas masalah itu, Brama juga akhirnya memutuskan untuk diam.Hubungan mereka baru saja membaik, Brama tahu kalau sekarang Rinjani masih akan condong membela Jagat saat ini.Tetapi, teringat Kiara, Brama menyadari kalau dia masih belum menyelesaikan urusannya dengan gadis itu.Sepertinya dia tidak bisa menunda lagi untuk menyelesaikan masalah ini.Sampai jam makan siang, mereka berdua tidak banyak lagi berbicara. Ada keheningan yang familiar menyelingkupi keduanya.Rinjani merasa mereka seperti kembali ke masa-masa dulu, saat mereka masih bersama. Tidak ada pembicaraan kosong dan kalimat gombal seperti pasangan pada umumnya. Mereka lebih suka menghabiskan waktu bersa
“Itu adalah syarat dariku! Kalau kamu bisa terima, silahkan. Kalau nggak, aku juga nggak masalah! Aku yakin, Jagat masih bisa menyelesaikan masalah ini!”Brama mengamati Rinjani dengan tatapan tidak sabar, bibirnya mengerut dalam kebingungan. Dia masih tidak mengerti. Ini bukan sesuatu yang baru antara dia dengan Rinjani.“Nggak kaya, belum pernah juga!”gerutunya.Di saat yang sama ada kemarahan yang menggelegak dalam dadanya. Rasa cemburu yang mengancam hendak meledak keluar. Apa Rinjani sebegitu ingin menjaga tubuhnya untuk Jagat?Rinjani menghindari kontak mata. “Apa yang kita lakukan itu salah! Dan aku nggak mau mengulanginya lagi.”Tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah dia buat. Tidak mengulangi itu, tidak akan membuat dia kembali suci, tapi Rinjani ingin menghargai dirinya sendiri.Belajar mencintai dirinya sendiri dengan benar, sembari berbenah hati sebelum mulai membuka hati lagi untuk hubungan yang baru.Brama tersenyum t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen