"Pilihanmu hanya menikah denganku, maka seluruh keluargamu akan selamat. Ingat, kamu yang pertama datang padaku! Terhitung sejak malam itu kau tak lagi punya pilihan. Jadi, jangan pernah mencoba untuk kabur atau berpura-pura ingin bebas dariku!" tandas Khairen pada Sunrise yang membisu. --- Khairen Crown hidup di puncak dunia bisnis. Muda, berkuasa, dan dingin. Dunia korporat tunduk padanya, dan ia yakin telah mengendalikan segalanya. Hingga suatu malam, kejadian tak terduga mempertemukannya dengan wanita bermata biru, berambut pirang yang mengguncang dunianya. Sunrise White, muncul misterius seperti bayangan yang tak bisa dihindari, elegan, agresif, penuh rahasia, namun sangat memikat. Khairen tak tahu namanya, tak tahu latar belakangnya. Yang ia tahu, ia terobsesi dan menginginkannya. Sepenuhnya! Siapa sangka, ternyata Sunrise adalah karyawan terbaik yang mendapatkan promosi jabatan di perusahaannya. Namun, cinta yang mulai tumbuh itu segera membeku oleh kenyataan kelam. Sunrise bukan sekadar karyawan biasa, dia adalah darah dari musuh lama keluarga Crown. Musuh yang selama ini dikira telah mati, ternyata kembali untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai. Di tengah gairah cinta yang membakar dan dendam yang membeku, Khairen harus memilih, menghancurkan wanita yang telah membuatnya jatuh cinta, atau tetap setia pada nama keluarganya.
view more"Cinta datang tanpa peringatan, dari luka yang tak pernah sembuh dan dari musuh yang tak seharusnya disentuh." (Sunrise White)
--- Crown's Hotel and Suites, Zurich-Switzerland. Hampir tengah malam, pukul 23.35. Swiss telah memasuki musim dingin, udara di luar nyaris membeku. Seorang lelaki berpostur tinggi dan gagah berjalan lelah menyusuri lantai lorong hotel yang sunyi, sambil menahan dingin telapak tangannya di balik coat luxury hitamnya yang dilapisi bulu domba terbaik. Menunjukkan siapa pemiliknya tanpa perlu orang bertanya. Khairen Crown, seorang old money, pewaris tunggal Crown's Company yang artinya pemilik hotel mewah ini. Room 1101, Presidential Suites. Khairen, mengeluarkan Mastercard Privilege dari dalam sakunya. Menempelkannya pada ganggang pintu yang otomatis membuka segel pintu kamar yang jarang dihuni. Ia mendorong pintu dengan sedikit lelah karena jetlag. Perjalanan bisnis yang panjang membuatnya ingin segera merebahkan badan. Namun, tanpa ia sadari. Sejak tadi, ada seorang wanita misterius yang terus mengintainya dari kejauhan, membuntuti dengan langkah hampir tanpa suara. Khairen baru melangkahkan kaki ke dalam kamar, segera wanita misterius tadi berjalan cepat menuju kamar yang masih belum sempat tertutup. Ia mendorong kuat pintu tersebut dengan kakinya. Pintu kamar hotel terbuka dengan kasar, membentur punggung Khairen dengan sangat keras hingga membuatnya terkejut dan hampir tersungkur. Khairen berbalik, menegakkan kembali tubuhnya, ia memicing mencoba mengenali sosok yang telah lancang dan brutal masuk ke dalam kamarnya. Seorang wanita bertubuh tinggi berdiri di ambang pintu. Sorot matanya dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian yang mendalam, tersembunyi di balik masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Rambut pirangnya yang panjang dikuncir dengan rapi, memperlihatkan garis-garis wajahnya yang tegas. Dia mengenakan pakaian one set hitam yang ketat, menyembunyikan tubuhnya yang proporsional dan sexy. Belum sempat Khairen bicara, wanita itu langsung menyerang Khairen yang berdiri di depannya, tamparan keras menghantam pipi Khairen dengan suara yang nyaring. Menciptakan jiplakan jari merah di wajah tampannya. Rambutnya yang hitam dan tersisir rapi ke belakang pun berantakan, menutupi dahinya yang lebar. "Bajingan!" teriak wanita itu dengan penuh kebencian, suaranya menggema di ruangan hotel yang mewah. Tinjunya membabi buta, menghantam dada dan wajah tampan Khairen tanpa ampun, hingga membuat tubuh tegap Khairen tersungkur ke lantai. "Ini balasan untuk lelaki brengsek yang berani menyentuh dan mempermainkan adikku!" pekiknya yang kemudian menindih dada Khairen dengan lututnya. Khairen terkejut, tapi tidak melawan. Dia hanya menatap sang wanita dengan sorot mata tajamnya yang tenang, tanpa ekspresi di wajah tegasnya. Namun, ada sesuatu yang terlintas di pikirannya, sesuatu yang membuatnya penasaran tentang sosok wanita brutal yang menghajarnya tanpa ampun dan tanpa alasan. "Berani kau menyentuhnya lagi, aku tak segan menghabisimu!" ancamnya penuh tekanan dengan melayangkan satu pukulan lagi di hidung Khairen yang menjulang tinggi dan tegas. Setelah puas, wanita itu berhenti menghajarnya. Dia menatap Khairen dengan mata yang masih menyala, lalu berdiri dan berbalik. Berjalan pergi dengan langkah tegap, seolah-olah dia telah memenangkan pertarungan. "Dasar pengecut!" umpatnya dengan nada penuh kebencian, sebelum menghilang di balik pintu. Khairen hanya bisa menontonnya pergi dengan pikirannya yang masih kacau, ia pun tersenyum samar penuh arti. Khairen tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkannya pergi begitu saja. Dia mencoba untuk bangkit perlahan, meringis menahan perih di wajahnya. Darah segar pun menetes dari hidungnya yang mancung. Ia berjalan menuju cermin di kamarnya, mencoba untuk memeriksa wajahnya yang babak belur. "Dia sangat barbar!" umpat Khairen namun dengan senyum tipis. Sementara itu, di luar kamar, wanita tadi berhenti sejenak lalu melihat nomor kamar di pintu. Ia mengeluarkan ponselnya untuk membalas pesan singkat yang dikirimkan adiknya tadi. ("Aku baru saja selesai menghajarnya! Awas saja jika kau kembali berulah, kau yang akan kuhajar!") balasnya di pesan singkat. Seketika wajahnya berubah menjadi pucat pasi ketika dia menyadari bahwa dia telah salah masuk kamar. Di pesan terakhir adiknya tertulis nomer 1011. ("Kak, sekarang dia ada di Crown's Hotel and Suites, kamar 1011!") "1011?!" gumam wanita itu dengan mata birunya yang terbelalak. Dia merasa seperti telah melakukan kesalahan besar, kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Kembali menatap nomer kamar di depannya, 1101. Ia menelan ludahnya paksa. "Oh no..." bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar. Tanpa banyak berpikir, ia langsung berlari menuju lift, wajahnya penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Dia tidak ingin bertemu lagi dengan lelaki yang sudah dibuatnya babak belur, dan tidak ingin menjelaskan apa-apa. Jarinya yang dingin menekan tombol lift berkali-kali dengan panik. Ketika lift tiba, ia langsung masuk dan kembali menekan tak sabaran tombol lantai dasar dengan jari yang bergetar. Dia tidak berani menoleh ke belakang, takut melihat lelaki tadi mengejarnya. Jantungnya benar-benar bertalu cepat, melihat angka di layar lift yang seperti bergerak lamban menuju lantai dasar. Sedangkan Khairen masih tersenyum di depan cermin, melihat kebodohannya sendiri yang justru terpesona pada wanita aneh yang baru saja menghajarnya. Wanita aneh berambut pirang bermata biru yang justru meninggalkan kesan istimewa pada dirinya. Dan dia tidak sabar untuk mengetahui siapa wanita itu sebenarnya. Setelah beberapa saat termenung di depan cermin, Khairen berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya. Dia menekan nomor yang tertera di layarnya. "Berikan aku rekaman CCTV sepuluh menit yang lalu dari waktu sekarang, di seluruh sudut hotel tanpa terkecuali!" perintahnya tegas dan dominan pada seseorang di seberang teleponnya. Dia tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit kepuasan. "Wanita yang menarik!" katanya pada dirinya sendiri, sebelum membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi dia yakin bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan belaka. Dan malam yang beku itu telah menyalakan api yang tak akan mudah padam bagi keduanya.Wajah Paula memucat, seketika. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Seolah-olah jantungnya mendadak berhenti berdetak dan digantikan oleh gumpalan ketakutan yang membesar, menggulung dirinya dalam gejolak yang tak bisa ia kendalikan.“Lucas, jangan ulangi kalimat itu. Tarik kembali ucapan itu, Nak.” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Namun tatapan matanya menusuk tajam, penuh kengerian dan penyangkalan.Tapi Lucas tak berpaling. Ia menatap ibunya lurus dengan mantap, meski matanya berkabut, hatinya berdarah, dan nadanya penuh dengan rasa bersalah yang tidak bisa ia hindari.“Aku tahu ini salah di mata Ibu,” suaranya parau, bergetar di antara emosi yang menyesakkan. “Tapi aku lelah terus berpura-pura. Aku lelah menyimpan semuanya sendirian selama bertahun-tahun."Paula terhuyung, punggungnya membentur sandaran kursi. Seolah Lucas telah menamparnya dengan kenyataan paling kejam. Ia memejamkan mata sejenak, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Bahwa Lucas, tidak ben
Di sisi lain Swiss, Yayasan Kasih Ibu. Lampu-lampu bilik kamar mulai padam. Lorong-lorong yang biasa terisi suara riuh tawa riang telah sunyi oleh gelapnya malam.Mata dari anak-anak yang memiliki sejuta impian telah terpejam lelap di bawah hangatnya selimut. Napas tenang dan damai mengisi ruang.Langkah pelan menuju taman, dari wanita yang sudah puluhan tahun mengabdikan hidupnya, untuk anak-anak yang tak memiliki orang tua dan tempat tinggal. Ia Paula White, guru seni yang kini menjadi pemilik yayasan. Malaikat pelindung dan penyelamat bagi mereka.Seorang berdiri di ujung taman, menanti dengan senyum hangat. Tatapan penuh cinta dari seorang anak lelaki yang begitu menyayangi ibu dan keluarganya, Lucas Anderson."Kau sudah pulang?" ucap Paula dengan senyumnya yang damai."Ibu..." Lucas merentangkan tangannya untuk menyambut hangat sang ibu.Paula berjalan mendekat dan menerima pelukan sang putra sulung dengan penuh kasih. Lucas mengecup pucuk kepala sang ibu yang rambutnya sudah mul
“Nick, berikan kuncinya!” perintah Khairen tegas.Tanpa banyak bicara, Nick mengangguk dan menyerahkan kunci mobil berwarna hitam, lengkap dengan seluruh dokumen kendaraan kepada Sunrise.“Semuanya sudah atas nama Nyonya,” ucapnya sopan.Sunrise menatap buku kecil kepemilikan kendaraan itu. Namanya tertera jelas di halaman pertama. Meski hatinya berat, ia akhirnya menerima pemberian itu dengan sorot mata tak percaya.“Aku akan menerimanya, tapi aku tetap ingin mengangsurnya. Setiap bulan, setelah menerima gaji, aku akan membayar,” ucap Sunrise mantap, menyampaikan syaratnya.Tawa ringan lolos dari bibir Khairen. “Mengangsurnya?” Ia nyaris tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Sunrise.Sunrise mengangguk. “Ya. Aku tidak ingin menerimanya secara cuma-cuma. Bagaimanapun, kecelakaan itu bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga kurang fokus saat mengemudi. Jadi, aku akan terima mobil ini, jika kau setuju aku mencicilnya. Jika tidak, maka maaf, aku tak bisa menerimanya.”Ia hendak menyerahkan
Di ruangannya, Sunrise membuka laptop dan mulai merapikan berkas presentasi untuk rapat Kepala Divisi pagi ini. Tangannya cekatan menyusun laporan kinerja tim teknologi bulan ini, lengkap dengan grafik progres, kendala teknis, dan rekomendasi pengembangan berikutnya.Tak lupa ia menyelipkan juga berkas-berkas penting yang harus ditandatangani CEO. Semua ia persiapkan dengan teliti.Ia menatap bayangan dirinya di layar laptop yang memantul samar. Wajah itu masih menyimpan rona kemerahan dari kejadian semalam. Tidur bersama CEO-nya, dalam satu ranjang. Dalam pelukan di bawah selimut yang sama.Ia mendesah. “Fokus, Sunrise. Fokus!”Sepuluh menit kemudian, ia sudah duduk di ruang rapat Divisi. Semua Kepala Divisi sudah hadir, menyapanya ramah.“Pagi, Sunrise. Aku datang lebih dulu darimu" canda Kepala Divisi Keuangan yang tak pernah datang tepat waktu.“Pagi,” ia membalas pelan, mencoba tersenyum walau gugupnya tak kunjung reda.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Langkah sepatu hitam yang
Pagi masih petang, menyisakan jejak salju tipis di atas jendela apartemen Sunrise. Di dalam kamar yang hangat, detik-detik pagi mengalir pelan di antara napas sepasang suami istri kontrak yang tertidur dalam satu ranjang, dalam satu dekap sunyi yang tak pernah direncanakan.Khairen perlahan membuka mata. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Bau lavender yang samar, hembusan napas hangat di dada kirinya. Berat tubuh mungil yang masih bersandar erat padanya."Sunrise." Khairen menunduk sedikit, dan mendapati wajah Sunrise terlelap dengan tenang di pelukannya."Kukira hanya mimpi." lirihnya, rambut pirang gadis itu menjuntai menutupi sebagian pipi, membuat Khairen terdiam sejenak. Dadanya berdesir pelan, ia ingin lebih lama seperti ini.Pelan-pelan, ia menyibakkan rambut Sunrise, menyentuh dahi gadis itu dengan ujung jarinya. Demamnya sudah turun. Ia merasa lega.Sekali lagi ia menatap wajah itu lama, wajah yang keras kepala, berani, dan terlalu sering me
"Sunrise, aku pulang duluan. Hari ini, aku ada janji makan malam bersama keluarga." pamit Carmen yang sudah menenteng tasnya."Kau tidak masalah kan pulang sendiri? Jika, ada apa-apa hubungi aku." Carmen tetap khawatir."Aku bukan anak kecil, cepat pulanglah!" Sunrise tersenyum tipis."Bye..." Carmen meninggalkan ruang divisi.Senja menuruni langit Zurich dengan warna oranye keemasan, menelusup di balik kaca-kaca lantai tempat Sunrise bekerja, suasana mulai lengang. Satu per satu meja ditinggalkan, komputer dimatikan, dan lampu-lampu kantor mulai meredup pelan. Hanya beberapa orang yang masih bertahan, mengejar tenggat.Sunrise menghela napas panjang sambil mengemasi dokumen. Wajahnya lelah, tapi matanya menyimpan semacam kedamaian aneh.Perlakuan Khairen tadi pagi, sup, minuman herbal, dan sepatu hitam yang tiba-tiba ada di mejanya, semua masih membekas hangat.Ia berdiri dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sepatu flat yang terletak rapi di bawah mejanya. Saat kulit kakinya men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments