Zahira, dokter spesialis ternama, tiba-tiba terlempar ke masa lalu dan masuk ke dalam tubuh seorang selir tawanan perang. Bahkan, dia dicap sebagai wanita pemberontak terhadap Pangeran pertama yang dingin dan kejam, sosok yang dijuluki Dewa Perang. Dengan keahlian medis dari masa depan, Zahira berjuang merebut tempat yang layak dalam kerajaan dan tanpa disangka, perlahan menaklukkan hati beku sang dewa perang.
View More“Di mana saya…”
Kesadaran menerjang Zahira seperti badai. Ia membuka mata dalam gelap, tubuh menggigil di lantai tanah yang basah dan busuk. Seharusnya, saat ini ia sedang menolong pasien anak kecil di UGD. Namun, mengapa sekarang justru ia berada di dalam ruang kumuh dengan obor tergantung di tembok batu lembab, lantai tanah, dan jeruji karat? Ia meringis pelan, belum percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sakit dengan hebat. Kilasan ingatan seseorang menghantamnya. Selir Elina? Kerajaan Azmeria? “Aku kembali ke zaman kuno?!” batin Zahira terkejut, sambil memegang kepalanya. “Bukankah kerajaan itu sudah lama menghilang dari sejarah?” gumam Zahira lagi. Selir Elina adalah istri kedua Pangeran Raeshan yang menjadi tawanan dari negeri Varindra. Ia juga dikenal angkuh dan pembangkang terhadap sang pangeran. Pangeran Raeshan sendiri dikenal kejam terhadap Elina karena ia bukan istri yang pangeran cintai. Raeshan jarang menemuinya, dan ketika datang hanya membawa kemarahan atau kekerasan. Pemilik tubuh ini sebenarnya sangat baik, tetapi menyimpan dendam besar pada Raeshan yang telah menghancurkan negeri Varindra dan membunuh keluarganya. Jadi ia selalu menentang dan mempermalukan Raeshan di depan para bangsawan. Saat masih dipenuhi kebingungan, telinga Zahira berdengung dan kepalanya mendadak pening. Zahira mengingat semuanya. Malam sebelumnya, Elina difitnah oleh Permaisuri Liora. Wanita cantik licik itu sengaja memberi racun ke dalam tehnya sendiri dan menuduh Elina hendak membunuhnya. Elina tak diberi kesempatan membela diri. Ia diseret, dicambuk, dan dilempar ke penjara bawah tanah. Liora juga secara pribadi pernah mencakar wajah Elina hingga luka panjang membekas dari tulang pipi hingga rahang. Luka itu belum benar-benar sembuh, mengering dengan kasar, menyisakan warna kehitaman di sepanjang sisi wajah kirinya. Zahira kini menyentuh bekas luka itu perlahan. Masih ada tersisa rasa perih dan bekas cambukan yang menembus kesadarannya, menyatu dengan trauma tubuh yang kini ia huni. Ditengah lamunan ingatannya, terdengar langkah mendekat. Pintu jeruji dibuka kasar. Seorang pelayan bertubuh besar datang membawa seember air kotor. Tanpa aba-aba … BYUURRR! Air busuk menyiram tubuh Zahira. “Kau pantas mati! Berani sekali kau racuni Permaisuri Liora?!” Pelayan mengangkat kakinya, siap menendang. Namun Zahira sudah bergerak duluan. Tangannya mencengkram pergelangan si pelayan, menarik tubuhnya maju, lalu dengan lutut menghantam perut wanita itu. BUGH! Pelayan terhuyung, kaget. Sebelum sempat bicara, Zahira mencengkram rambutnya, membanting wajahnya ke jeruji logam. CRAANG! “Cukup!” desis Zahira. “Kau pikir aku seseorang yang mudah kamu tindas?” Pelayan terjatuh, darah mengalir dari hidung. Ia ketakutan dan syok karena tak menyangka Selir Elina bisa melawan dan berubah dalam waktu semalam. Dulu pemilik tubuh ini, meski di permainkan dan di olok-olok para pelayan karena statusnya sebagai selir tidak di inginkan, ia tidak pernah melawan. Ia hanya kejam pada Pangeran Raeshan saja. Langkah berat menggema. Suara sepatu logam mendekat. Semua langsung membisu. Jeruji dibuka. Pelayan tadi langsung ditarik paksa oleh pengawal. Pangeran Raeshan berdiri di ambang pintu, tinggi, tegap, dan memikat dalam jubah gelap berhias bordiran perak. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, kulit pucat keemasan, dan rambut hitam yang diikat rapi ke belakang. Sorot matanya tajam dan dingin, memancarkan wibawa seorang penguasa yang tak kenal ampun. Ia kini menatap melihat Zahira, atau yang semua orang di sini kenal sebagai Elina, berdiri tegak dengan luka di wajah dan tubuh kotor, tapi kini tersenyum tipis setelah berhasil membuat pelayan tadi ketakutan. “Berani sekali kau masih bisa tersenyum setelah kemarin kau coba racuni permaisuri,” ujarnya tajam. Elina turun bersimpuh, menunduk. “Hamba mohon ampun, Yang Mulia,” suaranya serak. “Hamba rela dihukum. Tapi hamba bersumpah, hamba tak berniat menyentuh Permaisuri Liora apalagi meracuninya.” Raeshan mendekat, pandangannya menyelidik. “Lucu. Kau bisa bicara manis sekarang. Tapi bukankah mulut yang sama pernah menyebutku iblis?” Elina terdiam. Dadanya bergetar, wajahnya memucat. Ia buru-buru menunduk lebih dalam. “Itu kesalahan hamba, amarah sesaat. Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba tak layak menghina Pangeran seperti itu.” Raeshan menatapnya lama. Ia mengenal Elina sebagai wanita yang tak pernah menyesal, apalagi meminta maaf padanya. Tapi kini suaranya terdengar tulus. Tiba-tiba Eina limbung. Tubuhnya nyaris roboh. Raeshan bergerak cepat, menangkapnya. Tubuh itu dingin seperti salju, ringan, dan melemah di pelukannya. “Buka jalan,” ucap Raeshan singkat. Ia mengangkat Elina ke dalam pelukannya. Ia melangkah dengan cepat namun situasi selanjutnya membuatnya harus pelan-pelan. Dalam kondisi setengah sadar, Elina melingkarkan kedua tangannya ke bahu Raeshan. Pelukannya lemah, tapi terasa pasrah dan hangat. Seperti ia mencari perlindungan. Raeshan menoleh. Jantungnya berdetak lebih cepat sejenak. Wajah wanita di pelukannya itu tampak damai meski tubuhnya penuh luka. Rambutnya basah menempel di pipi, bibirnya pucat, tapi terlihat lebih lembut. “T-Ternyata kau lebih dingin dari yang kuduga.” gumam Elina lirih, hampir seperti bisikan mimpi. Raeshan diam. Matanya memandangi wanita itu lama. “Kurang ajar,” gumamnya, pelan. Tapi nadanya nyaris seperti bisikan. Meskipun ia bisa saja mendorong pelukan itu, Raeshan justru mengeratkan pegangannya. Raeshan lalu membawa Elina ke Istana Barat. Tempat yang sejak lama telah menjadi “kediaman” resmi Selir Elina. Tempat itu sunyi, jauh dari pusat istana, dan hampir terlupakan. Penempatan yang jelas-jelas disengaja oleh Permaisuri Liora dan tentu saja, disetujui Raeshan sendiri. Ia tak mengatakan sepatah kata pun. Hanya diam menatap wanita itu untuk beberapa detik, lalu berbalik dan pergi. Begitu pintu tertutup dan suara langkahnya menjauh, Elina membuka matanya perlahan. Ia menghela napas, menahan nyeri yang menjalar di tubuhnya. Membayangkan wajah Reshan saja sudah membuatnya merinding. “Sekar,” panggilnya pelan. Pelayan setia pemilik tubuh itu, segera masuk dari balik tirai, matanya berkaca-kaca melihat keadaan tuannya. Namun Elina menenangkan dan tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja. “Siapkan air dan ramuan. Luka-luka ini harus segera dibersihkan,” ujar Elina sesaat kemudian. Sekar mengangguk cepat, lalu bergegas keluar. Elina kini menyentuh pipinya yang bengkak, nafasnya berat begitu melihat wajahnya di cermin logam. “Aku tidak akan biarkan tubuh ini menderita lagi. Kalau mereka pikir aku akan tetap lemah mereka belum benar-benar mengenalku.”Musik merdu dari orkestra mulai mengalun lembut ketika MC mempersilakan pasangan yang berbahagia maju ke panggung utama.Zahira lalu menerima kotak kecil yang disodorkan Raka. Senyum hangat pria itu berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. Perlahan, cincin indah itu melingkar di jemari Zahira. Lalu giliran Raka yang menerima cincin darinya. Tepuk tangan meriah pun menggema, menandai resminya pertunangan mereka.Zahira sempat melirik ke arah Raeshan yang berdiri bersama Kania. Tatapan pria itu begitu sulit dibaca, yang pasti Zahira sangat kecewa padanya.Di sisi lain, Febri yang baru saja dari toilet tiba-tiba merasa ada tarikan kuat di lengannya. Belum sempat ia berteriak, seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya keluar lewat lorong servis hotel. Dalam kepanikan, ia melihat yang membekapnya adalah Zidan.Sementara itu, Raeshan beranjak mendekati Zahira dan Raka untuk memberi selamat. Ketika ia berjalan pergi dan melewati Zahira, ujung koreknya dengan lembut menyapu punggun
Melihat Zahira tak ingin menjawab, Raeshan kembali melajukan mobil kali ini lebih kencang.Tapi Raka malah terus mengomel, suaranya serak mabuk tapi menusuk telinga. Raeshan yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menghentikan mobilnya.Zahira spontan ingin menolong saat Raeshan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Raka keluar begitu saja. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu, Raeshan segera menahan pergelangan Zahira.“Biarkan dia,” suaranya datar tapi penuh kuasa. Klik! Pintu segera terkunci.Zahira terpaku, jantungnya berdegup liar. Mobil kembali melaju. Ia melirik cemas ketika mobil berhenti di sebuah hotel tak jauh dari rumah Raka. Raeshan keluar tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu. Ia membungkuk, mengangkat Zahira ke punggungnya meski wanita itu meronta lemah.Begitu sudah dikamar, tubuh Zahira dilempar ringan ke atas kasur kamar hotel. Nafas Zahira tercekat, sementara Raeshan menindih tubuhnya dan langsung merebut bibirnya dalam ciuman panas penuh gaira
Sore itu, di restoran barat privat yang terletak di lantai atas sebuah gedung megah.Raka duduk di ruangan VIP, ditemani asistennya, Sinta, yang setia menyiapkan dokumen.Ia sudah menunggu lebih dari lima belas menit. Tatapannya sesekali melirik jam tangan mewah di pergelangan tangan. “Klien macam apa ini, beraninya membuatku menunggu?” gumamnya kesal.Tapi begitu pintu terbuka, langkah kaki dua orang pria terdengar memasuki ruangan. Raka sontak berdiri. Wajahnya langsung memucat lalu berubah menjadi merah padam begitu sosok yang muncul jelas terlihat.“Kenapa kau di sini?!” suara Raka membentak, telunjuknya lurus menunjuk ke arah Raeshan.Raeshan hanya tersenyum miring. Lalu dengan santai ia menarik kursi tepat di hadapan Raka. Zidan berdiri di sampingnya, menunduk hormat sambil menyalakan tablet.“Duduklah, Raka. Jangan terlalu kaku,” ujar Raeshan, nada suaranya ringan namun penuh tekanan. Ia lalu meraih tablet di tangan Zidan, dan tanpa basa-basi melemparkan perangkat itu ke atas m
Meski suasana hatinya sangat buruk, tapi Raeshan harus tetap bekerja. Dedikasinya di Azmeria juga di masa modern sama saja yaitu ulet dan sangat totalitas.Malam itu, di sebuah restoran mewah, Raeshan duduk di meja sudut bersama Zidan dan seorang klien dari luar negeri. Meski ia berusaha fokus pada pembicaraan bisnis, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.Zahira.Ia duduk anggun di meja lain, tepat di seberang ruangan, ditemani Raka yang tampak begitu percaya diri.Sesaat dunia Raeshan terasa berputar. Tatapan matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Zahira tersenyum tipis, sesekali menunduk, sementara Raka terlihat terus berusaha memonopoli perhatiannya. Raeshan mengepalkan tangan di bawah meja, menahan gejolak emosi.Ketika Zahira berdiri menuju toilet, Raeshan segera meminta izin pada kliennya, berdiri, lalu diam-diam mengikutinya.Begitu Zahira keluar, Raeshan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke
Keesokan harinya, Raeshan kembali memperhatikan rumah Zahira, tapi masih kosong. Nomor telepon Febri pun masih tak bisa dihubungi.Ia mengingat kejadian tadi malam dan sangat cemas dengan kondisi Zahira.Ia lalu berbalik, langsung membanting stir menuju rumah sakit pusat. Ada sesuatu yang harus ia pastikan.Begitu sampai, Raka langsung menghadangnya di lobi. Lelaki itu bersandar di dinding dengan senyum congkak, lengan terlipat di dada.“Sedang mencari siapa, Tuan Raeshan yang terhormat?” suaranya dingin penuh sindiran. “Zahira? Sudahlah, jangan repot-repot. Dia tidak ada disini. Kau sebaiknya berhenti mencampuri urusan orang lain.”Raeshan menatapnya sekilas, lalu hendak berjalan melewati. Tapi Raka dengan cepat menahan langkahnya.“Jangan pura-pura tidak peduli,” suara Raka terdengar menyindir.“Semua orang tahu kau hanya sumber masalah bagi Zahira. Kau pikir dia akan menerima cinta dari seseorang yang tidak pernah bisa menentukan arah hidupnya? Semua orang juga tahu, hari ini kau c
Raka tiba-tiba meraih tubuh Zahira lalu menariknya dalam pelukannya. Kepalanya ditekan hingga menempel di dada bidang Raka.Senyum licik tergambar jelas di wajah pria itu.“Kau akan terbiasa seiring waktu…” bisiknya dengan nada yang membuat darah Zahira terasa dingin.Ia menahan napas, berusaha menahan getaran tubuhnya. Tapi seketika pelukan itu terlepas begitu pintu kamar diketuk.Febri masuk dengan raut cemas. Raka berbalik tenang, menepuk bahu Zahira sebelum melangkah pergi.“Kalian bisa berbicara. Aku tidak akan mengganggu,” katanya sambil melempar tatapan penuh arti.Begitu pintu tertutup, Febri langsung menatap lekat wajah kakaknya.“Kak… kenapa? Kenapa kau menerima Raka, padahal aku tahu jelas-jelas kau tidak mencintainya?” suaranya bergetar.Zahira terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tersenyum paksa, mengelus bahu adiknya.“Ini pilihan terbaik yang kakak pernah ambil dalam hidup kakak,” ucapnya pelan.“Jangan bohong padaku, Kak…” Febri menunduk, menggen
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments