Share

JSO 3

“Teman Ibuk yang mana? Perasaan aku belum pernah denger nama itu sebelumnya.“ Kinar mengerutkan kening. Ratih berdiri, lalu berjalan menuju kamarnya.

Kinar yang tidak mendapatkan jawaban dari ibunya, gegas ikut masuk ke kamar.

Ratih menyimpan uang pemberian Kinar. Andai Kinar dapat uang itu dari kemarin, mungkin Ratih tidak perlu menjual baju dan celana. Dan mungkin, peristiwa penjambretan itu tidak akan terjadi. Ratih bisa meminjam uang Kinar dulu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Ratih mengambil baju ganti, lalu mengganti pakaiannya. Ratih terbiasa mandi di toko. Jadi, pulangnya ia hanya perlu berganti pakaian. Belum selesai mengganti baju, ponselnya berdering kembali, Mas Damar memanggil.

“Assalamualaikum.“ Suara dari seberang spontan membuat Ratih menarik bibirnya ke atas. Ia merebahkan diri di kasur.

“Waalaikumsalam.“

“Kenapa telponnya tadi nggak diangkat,“ tanya Damar.

“Ada Kinar di sampingku. Aku nggak enak ngobrol dengan orang asing di depannya.“

“Jadi ... sampai sekarang Kinar belum tahu siapa aku?“

“Belum, kinar tidak pernah tahu aku dekat dengan laki-laki, sejak Bapaknya meninggal.“

“Kenapa? Bukankah suamimu sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu?“

“Iya, nanti kalau waktunya sudah tepat, pasti aku cerita ke dia.“

“Statusmu di beranda faceb**k kenapa? Kamu sedang ada masalah?“

“Nggakpapa,“ jawab Ratih. Ia tidak mau Damar tahu masalahnya.

“Kamu bohong! Aku tahu, pasti sudah terjadi sesuatu sama kamu. Katakan! Kamu kenapa? Siapa tahu aku bisa membantu.“

“Tadi pagi, sih, iya. Tapi sudah teratasi, kok.“

“Ya, sudah kalau nggak mau cerita, aku nggak akan maksa. Tapi, kalau memang kamu butuh bantuan apa pun katakan saja. Jika masih bisa kujangkau, aku akan membantumu.“

“Terima kasih orang baik.“

“Kamu yang baik, Ratih. Sejak beberapa bulan ini aku merasa nyaman dekat dengan kamu. Meski kita belum punya kesempatan untuk bertemu,“ ucap Damar. Nada suaranya melemah.

“Iya, semoga kita punya waktu untuk bertemu,“ sahut Ratih pelan. “Sudah dulu, ya, Mas. Aku salat dulu, sudah azan. Besok kita sambung lagi.“

“Kenapa harus besok. Nanti malam, aku boleh, 'kan, telpon lagi?“

“Ehm, eh, nanti malam saya temani Rea belajar. Besok dia ada ulangan.“

“Ya, sudah. Kamu jangan lupa makan. Miss you!“

Ratih tidak menjawab kalimat terakhir Damar yang menggunakan bahasa Inggris itu. Ia hanya mengucapkan salam, lalu menutup teleponnya.

Ratih memang sudah akrab dengan Damar. Namun, mereka tidak punya komitmen apa pun. Jadi, Ratih sangat menjaga kata-katanya. Dan sejauh ini, Ratih tidak mengenal secara keseluruhan, hanya tahu kalau Damar pekerja tambang yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun. Ratih pernah mencoba bertanya tentang status Damar, tetapi Damar seperti menghindar. Ia selalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lebih netral.

Usai makan malam, Ratih membantu Rea mengerjakan tugas sekolah. Kalau Kinar ... ia sudah bisa dilepas belajar sendiri. Hanya sesekali saja ketika ia kesulitan, baru akan bertanya kepada Ratih.

Rea dan Kinar anak yang cerdas. Mereka selalu masuk peringkat tiga besar meski tidak pernah merasakan les ataupun bimbingan belajar dari luar seperti teman-temannya. Rea dan Kinar beruntung memiliki ibu seperti Ratih yang masih sangat hafal dengan pelajaran sekolah, meski sudah belasan tahun yang lalu ia lulus sekolah.

Ratih merogoh ponsel lalu mengambil foto kedua putrinya yang sedang belajar. Lantas ia mengunggah foto itu di story w******p dengan tulisan, “Belajar yang rajin, ya, Nak. Meski rangking di kelas tidak menjamin kehidupanmu nanti, tetapi jadikan prestasimu sebagai cerita berharga di hari tua nanti.“

Tak selang lama ada bunyi pesan masuk dari Radit, teman satu kelas Ratih sewaktu SD dulu. Mereka bertetangga dari kecil, dekat, dan pernah pacaran sewaktu SMA dulu. Hanya saja, jodoh tidak berpihak pada mereka. Radit menikah lebih dulu karena dijodohkan orang tuanya.

[Kalau ibunya saja pintar, pasti anak-anaknya juga pintar. Menurut orang-orang, kecerdasaan anak menurun dari ibunya.] Radit menambahkan emticon tersenyum di akhir chatnya.

Ratih tidak membalas pesan itu. Kecuali hal-hal penting, Ratih tidak pernah membalas pesan dari Radit. Tika--istri Radit, tahu kalau Radit dan Ratih pernah pacaran. Ratih takut menyulut api di dalam rumah tangga Radit jika ia membalas pesan-pesan dari Radit.

Ratih pernah ingin memblokir nomor Radit. Namun, sekarang Radit justru menjadi ketua RT. Setiap warga wajib masuk dalam grup w******p RT biar mudah untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan kependudukan, sosial dan lain-lain.

[Seperti biasa, pesanku tidak pernah kamu balas. Kenapa?] Radit kembali mengirimkan pesan. Namun, Ratih hanya membacanya, tanpa membalasnya.

Ratih menaruh ponselnya. Ia kembali fokus pada anak-anak. Sesekali mereka bercanda di tengah belajar. Hingga tak terasa sudah jam sembilan malam.

Kinar dan Rea masuk ke kamar. Ratih ke dapur untuk mencuci piring bekas makan malam tadi. Usai itu, ia pun ikut masuk ke dalam kamar.

Ratih memandang foto suaminya di ponsel. “Mas Bowo,“ ucap Ratih lirih. Ratih mengusap wajah suaminya yang mirip dengan Rea. Andai suaminya masih hidup, mungkin Ratih tidak akan mengalami hidup sesulit ini. Namun, sakit ginjal telah merenggut nyawa Bowo tiga tahun lalu, dan Ratih harus melanjutkan perjuangannya untuk menghidupi anak-anak.

Notifikasi pesan kembali berbunyi. Pesan dari Damar. Ratih langsung membukanya.

[Sudah tidur?] tanya Damar singkat.

[Baru mau tidur.]

[Boleh minta fotonya sekarang?]

[Aku sudah nggak pakai jilbab, sudah mau tidur ini.]

[Nggakpapa, aku pengen lihat kamu nggak pakai jilbab.] Damar memaksa, tetapi Ratih enggan menuruti kemauan Damar.

[Nggak mau!] balas Ratih singkat.

[Kenapa?]

[Ya, karena nggak boleh.]

[Baiklah, nggak akan maksa lagi. Oiya, besok aku cuti. Bagaimana kalau kita ketemu. Aku bisa ke Jogja dua sampai tiga hari.]

Ratih melongo. Bertemu dengan Damar yang baru dikenalnya lima bulan ini? Bagaimana kalau Damar menagih hutangnya? Kalimat itu sempat terlintas di pikiran Ratih, “Apa aku bayar saja, ya, pakai uang Kinar?“ ucap Ratih. Namun, ia segera menggeleng-gelengkan kepala.

[Ratih ... kenapa tidak dibalas?] tanya Damar setelah beberapa saat tidak menerima jawaban dari Ratih.

[Ehm, kenapa mendadak sekali? Aku baru mulai masuk kerja, tidak mungkin izin lagi untuk menemuimu.]

[Bagaimana kalau sepulang kerja? Belum terlalu sore, bukan?]

[Tapi .... ] Ratih masih berpikir kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang buruk. Meski selama lima bulan ini Damar berlaku baik, tetapi Ratih tidak tahu dan belum penah melihat secara langsung Damar itu seperti apa. Ratih menepuk-nepuk keningnya, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan ia katakan kepada Damar.

[Tidak ada tapi-tapian. Besok aku jemput di tempat kerja. Kalau kamu takut aku jahati, kamu bisa minta pengawalan polisi.]

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status