Share

JATAH SUAMI ONLINE
JATAH SUAMI ONLINE
Author: Zia Novi Ristanti

JSO 1

[Sudah kutransfer, ya.]

Wajah Ratih berbinar begitu menerima chat beserta bukti transfer dengan nominal sebesar lima ratus ribu rupiah. Ia segera mengambil kartu ATM yang biasa ditaruh di bawah pakaian yang tersusun rapi di almari.

Ratih berlari menuju ATM terdekat yang jaraknya tidak lebih dari satu kilo. Di sepanjang jalan itu, Ratih tak henti mengulas senyum. Dalam otaknya mulai berhitung, beras lima kilo, telor satu kilo, mie kuah lima bungkus, satu liter minyak, satu kilo gula pasir dan sekotak teh celup. Totalnya hampir dua ratus ribu rupiah. Sisanya bisa untuk uang saku Rea dan Kinar selama satu minggu.

[Uangnya sudah diambil?] Chat dari orang yang mengirim uang itu.

[Sudah, Mas. Terima kasih.] balas Ratih.

[Kalau ada apa-apa kabari aku. Nggak usah sungkan.]

Pesan terakhir dari orang itu ditambah dengan tanda love berwarna biru. Orang yang baru beberapa bulan dikenalnya lewat aplikasi biru, dan mereka sudah sangat akrab.

***

Namanya Ratih Wulandari--janda beranak dua. Suaminya meninggal tiga tahun lalu karena sakit. Sejak itu Ratih bekerja menjadi penjaga warung sembako milik saudaranya. Ia mendapat gaji lima puluh ribu sehari. Pas untuk biaya makan dan uang saku kedua anaknya.

Namun, seminggu ini Ratih sakit. Padahal jika ia tidak bekerja, maka tidak ada uang untuk membeli makan dan uang saku. Ratih malu kalau harus meminjam uang ke Galuh pemilik warung tempat ia bekerja, mengingat ... hutang-hutangnya yang kemarin belum sempat dibayar. Meski, Galuh tidak pernah menagihnya.

Akhirnya ia beranikan diri meminjam uang ke orang yang baru dikenalnya lewat aplikasi biru itu. Rasa malu ia kesampingkan demi perut anak-anaknya esok hari.

Nama orang itu Damar Hikmawan, seorang pekerja tambang yang tinggal di Kalimantan. Mereka sering berbalas inbok sampai akhirnya bertukar nomor w******p dan bisa akrab seperti sekarang.

***

Setelah membelanjakan uang itu, Ratih pulang ke rumah. Rea dan Kinar sedang asik membaca buku.

“Ibuk habis belanja banyak, uang dari mana, Buk?“ tanya Kinar, remaja berusia 13 tahun itu, saat melihat Ratih membawa dua kantong besar yang berisi sembako. “Ibuk hutang lagi?“ imbuh Kinar.

“Kalian nggak perlu tahu Ibuk hutang di mana. Yang penting halal buat dimakan,“ jawab Ratih. Kinar mengerutkan kening, ibunya selalu begitu setiap kali ditanya perihal keuangan.

“Buk, Kinar izin ikut bekerja boleh?“ tanya Kinar.

“Kerja apa? Nggak usah, kamu sekolah saja. Sekolah yang pintar biar nggak hidup susah kayak Ibu,“ ucap Ratih sambil menata belanjaan di meja dapur.

Ratih mengambil ponsel dari saku celana. Ia mengambil foto dari semua belanjaan yang sudah ditata rapi di meja, lalu mengirimnya ke Damar.

[Uangnya sudah aku belanjakan, bisa untuk beberapa hari ke depan. Terima kasih, ya! Secepatnya aku akan kembalikan uang itu.]

Tidak berselang lama terdengar notifikasi pesan masuk. Ratih duduk di antara Rea dan Kinar sambil membuka pesan itu.

[Nggak usah buru-buru. Pakai saja dulu. Yang penting kamu sehat dulu.]

[Besok aku sudah mau masuk kerja, kok. Sudah sehat.]

[Kirimi foto kamu sekarang, dong! Aku kangen, sudah lama kamu nggak bikin story dengan foto.]

[Aku malu, ini juga lagi sama anak-anak. Nanti diketawain anak-anak.]

Ratih memang suka bermain media sosial, selain aplikasi berwarna biru, ia kerap posting di story w******p. Ratih mempromosikan dagangan tempat ia bekerja, ia juga ikut beberapa grup dagang online. Dari laba tiga ribu rupiah sampai sepuluh rupiah lumayan untuk menambah penghasilan.

[Mana fotonya?] pinta Damar sekali lagi.

Akhirnya Ratih mulai mencari pencahayaan yang bagus untuk berfoto. Dari satu kursi ke kursi yang lain, berganti-ganti pose, hapus, foto lagi, hapus, foto lagi. Hingga beberapa menit berlalu. Rea dan Kinar hanya memperhatikan gerak-gerik ibunya sambil geleng-geleng kepala.

“Ibuk kenapa? Perlu saya bantu untuk foto?“ tanya Kinar.

“Ehm nggak perlu, Ibuk bisa sendiri,“ jawab Ratih sambil mengambil foto selfie di depan buffet kayu, tepat di bawah lampu.

Ratih tersenyum sendiri melihat hasil foto terakhir. Ia terlihat lebih putih dengan wajah yang bersinar. Tanpa menunggu lama, ia mengirimkan foto itu ke Damar.

[Cantik!] balas Damar cepat sambil memberikan tanda love di akhir pesan. Ratih tersenyum sendiri membaca pesan itu.

Sebetulnya Ratih bukan perempuan cantik versi perempuan-perempuan sekarang yang berwajah dan berkulit putih. Ratih seorang perempuan Jawa asli dengan kulit sawo matang, tetapi setiap kali Ratih tersenyum, ia terlihat sangat manis. Hidungnya mancung dan rambutnya lurus sebahu. Namun, sejak suaminya meninggal, Ratih mengenakan hijab. Ia mencoba menjaga pandangan laki-laki jahat kepadanya.

“Buk, besok Rea mau ngingetin Ibuk. Terakhir bayar outing class besok Sabtu. Di kelas cuma Rea dan Danis yang belum bayar.“ Gadis berusia sebelas tahun yang sudah duduk di bangku kelas lima sekolah dasae itu mengingatkan ibunya.

Ratih menepuk jidatnya. Ia hampir saja lupa membayar outing class Rea. Beruntung masih ada sisa uang tiga ratus ribu. Ratih membuka dompet, lalu mengeluarkan uang itu.

“Kalau Ibu nggak salah hitung, Ibu masih kurang 250.000. Ini, besok bisa kamu bayarkan!“ Ratih mengulurkan uang itu. Sisanya dimasukkan lagi ke dompet.

Ratih mulai berpikir lagi, untuk uang saku Rea dan Kinar seminggu ke depan. Uang lima puluh ribu, mana cukup.

Ratih masuk ke kamar. Ia mengumpulkan baju bekas yang bisa dijual, bajunya saat masih muda dulu.

“Lumayan!“ ucapnya lirih. Tiga celana jeans, dua baju batik, dua gamis, dan kaos-kaos bermerk yang masih bagus ia masukkan dalam kantong plastik besar.

Ratih merebahkan diri di kasur. Matanya menatap genting rumah, ia mengira-ira jumlah uang yang akan diterima kalau pakaian itu laku terjual.

Stok baju-baju Ratih saat masih muda tak banyak lagi. Ia jual sedikit demi sedikit untuk menutupi kebutuhan. Sayang memang, tetapi tidak ada pilihan lain. Ratih sudah banyak memiliki hutang.

***

Sebelum berangkat ke toko, Ratih mampir dulu ke pasar baju-baju bekas. Beruntung, baru jam delapan pagi sudah ada toko yang buka. Ratih menawarkan pakaian yang ia kumpulkan semalam.

“Saya cuma berani bayar 150 ribu, Mbak,“ ucap pedagang pakaian bekas itu.

“Nggak bisa nambah dikit, Bu?“

“Ya sudah, untuk buka lapak saya tambahi sepuluh ribu, deh.“

Ratih sempat berpikir sejenak, harga satu gamisnya saja dulu ia beli 200 ribu. Sekarang setumpuk pakaian yang ia bawa hanya ditawar 160.000. Namun, saat teringat dua putrinya ia dengan cepat mengangguk.

Ratih memasukkan uang itu ke dalam tas. Ia berjalan menuju toko tempatnya bekerja, untuk sampai ke toko, ia harus berjalan kurang lebih lima belas menit. Ratih berjalan lebih cepat, jam sembilan toko sudah harus dibuka.

Namun malang, tepat di pertigaan ada sebuah sepeda motor yang hampir menyerempet dirinya. Tujuan utama mereka bukan untuk menabrak Ratih, tetapi mengambil tas Ratih lalu membawanya kabur. Sempat terjadi tarik menarik, tetapi Ratih kalah, ia jatuh tersungkur, dan tas itu berhasil dibawa kabur.

“Tolong jambret, tolooong!“

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status