“Siapa kau?!”
“Tuan muda…” “Jawab aku!” Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan. Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya. Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus. Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya. “Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya. Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubungannya dengan pedang itu. Disaat dia menggenggam pedang tua di tangannya, merasa ada sesuatu yang memanggilnya ke tempat yang lebih jauh. “Auuu!” Tanda di pundaknya kembali bersinar samar, Mo Tian bingung, ada apa dengan dirinya dan tanda sabit hitam itu. “Aku akan pergi,” ujar Mo Tian memutuskan. Dia bersumpah untuk mencari jawaban tentang siapa dirinya sebenarnya dan membalas dendam pada Sekte Langit Berdarah yang telah membunuh kedua orang tuanya dan menghancurkan segala yang berharga baginya. Keesokan harinya… Uhuk! Uhuk! Angin pagi membawa aroma kesedihan dan abu dan membuat Mo Tian terbatuk-batuk. Mo Tian berdiri di atas bukit kecil di tepi desanya yang kini rata dengan tanah, kenangan masa kecilnya hilang dalam semalam. Puing-puing rumah berserakan, dan nyala api masih membara di beberapa tempat. Tubuh-tubuh penduduk desa, termasuk kedua orang tuanya, ikut terbakar bersama api yang membara. Mereka hilang tanpa bekas. "Tuan Muda, pergilah. Dunia ini terlalu luas untuk dikuasai rasa takut. Desa ini tidak ada artinya lagi. Carilah jawaban atas takdirmu," ujar suara parau itu di benaknya yang terus berdengung hingga sekarang. Suara yang tidak dikenal namun terasa begitu akrab, tapi cukup mengganggu pikirannya. Dengan pedang tua berkarat di tangannya, yang entah dari mana datangnya, Mo Tian mengalihkan pandangannya dari desa. Dia tahu, masa kecilnya yang sederhana telah berakhir hari ini. Kini ia harus meninggalkan segalanya, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus membebani pikirannya. “Ayah, Ibu… aku pergi,” pamit Mo Tian sambil membungkukkan badannya. Whuss! Angin sejuk berembus menerpa wajahnya, seolah itu adalah jawaban dari kedua orang tuanya yang merelakan anaknya mengembara di dunia fana ini. Langkah Mo Tian membawa dirinya ke Hutan Luanyang, sebuah tempat yang terkenal penuh dengan bahaya. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi dengan akar yang menjalar liar, menciptakan bayangan menyeramkan meski siang hari. Aroma lembab begitu terasa. Disetiap desiran angin terasa seperti bisikan misterius membangkitkan bulu kuduk. Tapi, Mo Tian tak punya pilihan lain. Jalan menuju kota terdekat melewati hutan ini. Kretak! Baru saja Mo Tian melangkah masuk, suara patahan ranting membuatnya berjaga. Insting tajamnya, yang dia tak pahami sepenuhnya, memperingatkan bahwa dia tidak sendirian. Mo Tian bersiap dengan kuda-kuda beladiri, yang membuatnya beberapa saat tersadar, dari mana dia belajar beladiri. Selama ini dia hanya tumbuh di desa, tidak pernah belajar ilmu apapun. “Kau!” Dari balik pepohonan besar, sesosok wanita muncul dengan pedang terhunus. Rambut panjangnya diikat rapi, dan matanya tajam menatap Mo Tian seperti elang mengawasi mangsa. Pakaiannya sederhana, namun penuh dengan bekas robekan dan noda darah, menandakan pengalaman bertarung yang tidak sedikit. “Iya, ada apa?” tanya Mo Tian sambil melanjutkan perjalannya. “Hentikan langkahmu,” perintah wanita itu dingin. “Aku harus bergegas,” jawab Mo Tian. “Kau siapa, dan apa tujuanmu di sini?” tanya wanita itu. Mo Tian memandang wanita itu, bingung. “Aku hanya seorang pengembara. Aku harus melewati Hutan Luanyang sebelum gelap,” jawabnya jujur. “Aku tidak percaya!” “Kau bisa mengikutiku kalau tidak percaya.” “Pedang itu…” “Ini hanyalah pedang tua,” jawab Mo Tian. Namun, wanita itu tidak terpengaruh. “Bohong! Itu bukanlah pedang biasa. Apa kau anggota Sekte Langit Berdarah?” “Sekte Langit Berdarah?” Mo Tian terkejut, beberapa saat kemudian dia menggeleng. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” “Kau berbohong!” teriak wanita itu sambil menyerang dengan kecepatan luar biasa. Mo Tian refleks mengangkat pedangnya untuk menangkis. Traang! Suara logam bertemu logam memenuhi udara. Mo Tian tersentak. Serangan itu begitu kuat, meski pedang wanita itu hanya pedang baja biasa. “Berhenti! Aku bukan musuhmu!” seru Mo Tian sambil mundur. Wanita itu tidak peduli. Dia terus menyerang dengan serangkaian gerakan cepat dan mematikan. Setiap tebasan dan tusukan terasa seperti angin tajam yang hampir tidak bisa dihindari. Mo Tian, yang belum pernah dilatih ilmu bela diri, hanya bisa bertahan dengan mengandalkan insting. Anehnya, tubuhnya bergerak seolah-olah dia sudah berlatih selama bertahun-tahun. Pedang tua di tangannya terasa ringan, hampir seperti bagian dari dirinya. “Aku sudah muak dengan tipu daya kalian,” desis wanita itu di antara serangannya. “Aku tidak mengerti,” jawab Mo Tian. “Setelah sekian banyak nyawa yang kau hancurkan, apa kau pikir aku akan membiarkanmu hidup?” “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!” balas Mo Tian dengan nafas tersengal. Setelah beberapa menit bertarung sengit, keduanya terpisah oleh jarak. Mo Tian memegang pedangnya dengan erat, sementara wanita itu menatapnya tajam, mencari celah. “Cara kau bertarung, kau tidak seperti anggota Sekte Langit Berdarah lainnya...” gumam wanita itu, mulai merasa ragu. “Aku bahkan tidak tahu siapa mereka!” seru Mo Tian, frustasi. Wanita itu akhirnya menurunkan pedangnya, meski tatapannya tetap penuh kecurigaan. “Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?” Mo Tian menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya. “Namaku Mo Tian. Aku berasal dari sebuah desa kecil di lembah yang baru saja dihancurkan oleh orang-orang yang tidak kuketahui, tapi ada yang bilang kalau mereka adalah Sekte Langit Berdarah.” Mendengar itu, wajah wanita itu melunak sedikit, namun ia tetap waspada. “Aku Liu Qingxue,” katanya singkat. “Aku seorang pemburu hadiah.” Setelah ketegangan mereda, sekarang sudah mulai gelap, keduanya duduk di dekat api unggun kecil yang dibuat Liu Qingxue. Cahaya api menerangi wajah mereka, menciptakan bayangan samar di pepohonan sekitar. “Apa yang kau tahu tentang Sekte Langit Berdarah?” tanya Mo Tian, memecah kesunyian. Liu Qingxue menghela nafas panjang. “Mereka adalah sekte jahat yang terkenal di dunia persilatan. Mereka membantai desa-desa kecil, menculik anak-anak, dan merampas sumber daya. Aku kehilangan keluargaku karena mereka.” Mo Tian terdiam. Ia merasa rasa sakit Liu Qingxue mencerminkan perasaannya sendiri. “Mereka mengejar sesuatu,” lanjut Liu Qingxue. “Apa yang mereka kejar?” “Sebuah kekuatan besar yang katanya mampu mengubah tatanan dunia.” “Tapi, mengapa mereka menghancurkan desa?” “Darimana kau mendapatkan pedang itu?” tanya Liu Qingxue mengabaikan pertanyaan Mo Tian. “Aku tidak tahu dari mana pedang ini datang. Tiba-tiba saja, dia muncul di tanganku saat orang tuaku dibunuh.” Mata Liu Qingxue menyipit. “Pedang yang muncul begitu saja? Kau pasti pembohong ulung.” “Aku tidak berbohong dan aku tidak tahu apa-apa,” jawab Mo Tian, suaranya melemah. “Kemana tujuanmu?” “Aku tidak ada tujuan pasti, hanya saja aku ingin tahu siapa diriku. Apa arti tanda ini.” Mo Tian menunjuk ke pundaknya, di mana tanda hitam berbentuk sabit bersinar samar di bawah cahaya api. Liu Qingxue memandang tanda itu dengan serius. “Aku pernah mendengar cerita tentang tanda lahir. Sebagian orang percaya itu adalah tanda dari dunia roh. Mungkin kau terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia fana.” Mo Tian menatap Liu Qingxue dengan tatapan bingung, namun penuh harap. “Apa kau tahu di mana aku bisa menemukan jawaban?” “Ada seorang tetua di Kota Jingbei. Dia dikenal sebagai Tabib Langit. Katanya, dia tahu banyak tentang rahasia dunia ini. Cobalah kesana, kalau beruntung kau bisa bertemu dengannya.” “Kalau tidak beruntung?” “Kau akan mati di tangannya, karena dia tidak sembarangan menolong dan juga tidak sembarangan membunuh.”Bayangan Mo Tian berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh kesombongan. Mata merahnya berkilau, memperlihatkan aura yang sangat kuat dan jahat. Di sekeliling mereka, angin berputar kencang, menciptakan pusaran energi yang membatasi arena pertarungan.Fang Zhi mengepalkan tinjunya, sementara Liu Qingxue menatap Mo Tian dengan cemas.“Kami tidak bisa membantu?” Liu Qingxue bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.Penjaga Kuil Jiwa Terakhir menggeleng. “Ini adalah ujian Mo Tian. Jika kalian ikut campur, maka pertarungan ini dianggap tidak sah, dan Mo Tian akan langsung kalah.”Fang Zhi menggertakkan giginya. Ia ingin sekali menghunus pedangnya dan menyerang bayangan Mo Tian itu, tetapi ia tahu bahwa hal itu hanya akan membuat segalanya semakin buruk.Mo Tian menarik napas dalam-dalam. Tangannya meraih gagang pedangnya dengan erat. “Baiklah. Aku akan mengalahkanmu.”Bayangannya tertawa dingin. “Kau? Mengalahkanku?” Ia mengangkat tangannya, dan tiba-tiba pedang hitam pekat muncul di geng
Fang Zhi menggertakkan giginya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan lelaki tua itu. Tatapan matanya kepada Mo Tian seolah mengandung maksud tersembunyi, seperti seseorang yang menunggu sesuatu terjadi.“Kita harus pergi,” katanya tegas, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya.Mo Tian mengangguk pelan, tubuhnya masih lemah. Liu Qingxue tampak ragu, tapi ia tahu Fang Zhi tidak akan bertindak gegabah tanpa alasan.Lelaki tua itu hanya tersenyum tipis melihat mereka bersiap pergi. “Kalian boleh mencoba pergi, tapi ingatlah kata-kataku. Pada akhirnya, hanya ada satu jalan untuk menghancurkan Buku Kematian…”Fang Zhi menatapnya tajam sebelum menarik lengan Mo Tian, membantunya berjalan. “Kita tidak akan mempercayaimu begitu saja.”Lelaki tua itu terkekeh. “Kita lihat saja nanti.”Tanpa menunggu lebih lama, mereka segera meninggalkan tempat itu.Langit malam mulai menyelimuti perjalanan mereka. Angin dingin berhembus perlahan, menambah ketegangan di antara mereka
ShaaatMo Tian hanya bisa menghela napas berat saat Buku Kematian tiba-tiba melayang dan tersedot ke dalam Pedang Langit Membara, seolah-olah pedang itu memiliki kekuatan alami untuk menyegel keberadaan buku tersebut. Cahaya redup berkedip dari pedang, lalu segalanya kembali tenang.Fang Zhi dan Liu Qingxue saling berpandangan, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Lelaki tua berjubah abu-abu itu tetap diam, matanya menatap tajam ke arah pedang suci yang kini kembali menjadi wadah segel bagi buku terkutuk itu."Sepertinya kita tidak perlu menyegel Mo Tian..." kata Fang Zhi, mencoba mencairkan ketegangan.Namun, lelaki tua itu justru tertawa pelan, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Jangan terlalu cepat bernafas lega. Kalian sudah mengetahui keberadaan Buku Kematian… dan yang lebih buruk lagi, buku itu telah mengenali pemiliknya."Mo Tian menoleh dengan ekspresi dingin. "Apa maksudmu?"Lelaki tua itu melangkah maju, tatapannya penuh makna. "Kau pasti menyadarinya. B
Mo Tian merasakan tubuhnya melemah seiring dengan hisapan kekuatan yang dilakukan oleh Buku Kematian. Wajahnya memucat, tangannya gemetar, dan matanya mulai kehilangan fokus. Sebuah perasaan kosong merayapi pikirannya—seakan ada bagian dari dirinya yang terenggut dan tak akan pernah kembali.Fang Zhi yang sejak awal memperhatikan perubahan pada Mo Tian segera bertindak.“Berhenti!” serunya, matanya melebar saat menyadari sesuatu yang mengerikan.Buku Kematian bukan hanya menyerap jiwa yang mereka korbankan, tapi juga terus menarik jiwa Mo Tian!Namun, sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh, aura hitam pekat meledak dari buku itu, menyebar ke seluruh ruangan seperti kabut neraka. Buku itu bergetar hebat, seolah ada kekuatan yang terbangun di dalamnya.Mo Tian tak mampu bertahan lebih lama. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan suara berdebum keras.“Mo Tian!” Liu Qingxue berlari mendekat, wajahnya penuh kepanikan.Fang Zhi, tanpa berpikir panjang, segera mengalirkan kekuatan spiritualnya
“Tunggu!” teriak Liu Qingxue.“Gunakan cara yang lain! Dan aku yakin kita bisa menggunakan cara lain,” sambungnya sambil menggeleng dan airmata yang telah jatuh di wajahnya.Mo Tian menatap Liu Qingxue. “Aku tidak apa-apa.”“Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kami?” tanya Liu Qingxue.Lelaki berjubah itu mendesah dan kembali bersuara. "Jika kau ingin aku membaca buku ini, kau harus memilih... darah atau jiwa. Jika kau memilih darah, maka pemiliknya harus mengorbankan darahnya sendiri untuk membuka tiap halaman. Tapi darah manusia terbatas. Membuka seluruh isi buku ini dengan darahnya... hanya akan membuatnya mati kehabisan darah sebelum semua terungkap. Tidak bisa dengan darah orang lain.”Mo Tian menggenggam buku itu semakin erat.“Jika jiwa orang lain? Disini banyak jiwa yang terperangkap, gunakan mereka," tanya Liu Qingxue."Jiwa seseorang akan dikorbankan untuk membuka halaman buku. Jiwa itu akan musnah, tidak bisa bereinkarnasi, tidak bisa kembali. Jiwa itu akan menjadi bagi
Buku Kematian yang kini berada di tangan Mo Tian kembali terlihat kosong. Huruf-huruf yang sebelumnya muncul saat terkena darahnya telah lenyap, menyisakan halaman-halaman kosong yang seakan menyimpan misteri yang lebih dalam.Mo Tian menghela nafas panjang. Jika satu tetes darah saja dapat menampakkan huruf-huruf itu, maka butuh seluruh darahnya untuk membaca keseluruhannya. Itu bukan pilihan yang bisa diambil begitu saja.Perjalanan mereka menuju Gunung Jiwa Abadi terasa lebih mudah dari yang mereka bayangkan. Tidak ada rintangan berarti, tidak ada serangan dari iblis atau makhluk penjaga. Ini terlalu aneh. Gunung Jiwa Abadi seharusnya menjadi tempat yang paling sulit dijangkau, namun mereka berjalan tanpa hambatan."Aku tidak suka ini," gumam Liu Qingxue sambil menatap sekeliling dengan waspada."Aku juga," timpal Fang Zhi. "Biasanya tempat seperti ini penuh dengan jebakan atau makhluk penjaga. Ini terlalu sepi."Mo Tian tidak banyak bicara, tetapi dia bisa merasakan hawa dingin ya