JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR

JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-26
Oleh:  Aray FuOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
92Bab
2.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Seorang anak terlahir dengan tanda sabit hitam di pundaknya, dianggap sebagai kutukan oleh desanya. Mo Tian, yang tidak mengetahui jati dirinya, tumbuh dalam kesendirian dan perundungan. Namun, hidupnya berubah drastis ketika desa kecilnya dihancurkan oleh sekte keji bernama Langit Berdarah. Mo Tian adalah reinkarnasi Dewa Kematian, penguasa jiwa yang dihukum oleh Dewan Langit dan dilahirkan kembali sebagai manusia. Dengan sebuah pedang tua dan ingatan yang terkunci, ia memulai perjalanan ke dunia persilatan, bertarung melawan sekte jahat, dan mengejar jawaban tentang takdirnya. Namun, setiap langkah membawa Mo Tian lebih dekat pada keputusan besar: akankah ia menerima kembali kekuatannya sebagai Dewa Kematian atau tetap sebagai manusia fana yang lemah? "Kematian bukan akhir, tapi awal dari kekuatan yang sebenarnya."

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

“Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!”  

Baaam! 

Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.  

“Berlindung! Berlindung!”  

“Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala.  

Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.

Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit.  

Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming Shen harus dihukum.  

“Dewa Kematian harus mendapatkan hukuman. Dia terlalu sombong, terlalu angkuh, dan melupakan tugas utamanya sebagai penjaga keseimbangan, bukan sebagai hakim atas kehidupan manusia,” ujar Dewa Kehidupan.  

"Kau akan kehilangan semuanya," ujar Dewa Keseimbangan, suaranya bergema seperti gemuruh badai.  

"Kau akan dilahirkan kembali sebagai manusia biasa. Kau akan merasakan penderitaan, kelemahan, dan kehilangan—hal-hal yang selama ini hanya kau pandang dari jauh!"  

“Tapi…”

“Keputusan ini telah dibuat, Heiming Shen!”

Tanpa bisa melawan, Heiming Shen akhirnya direinkarnasikan, dia akan menjadi manusia sesuai keputusan Dewan Langit.

Bruush!

“Aaaaaa!” teriaknya dan akhirnya hilang.

Tubuhnya lenyap menjadi abu, meninggalkan hanya seberkas tanda hitam berbentuk sabit yang menyatu di pundak kanan tubuh barunya.  

Dan di saat yang sama, di dunia fana... 

Oweek! Oweek! 

Angin dingin berembus di sebuah desa kecil yang tersembunyi di lembah pegunungan. Tepat di tengah malam, di sebuah rumah sederhana, seorang wanita paruh baya terengah-engah di atas tikar jerami.  

Tangis seorang bayi baru lahir pecah, mengisi ruangan yang sunyi.  

"Akhirnya," bisik wanita itu dengan nafas tersengal. Ia memandangi bayinya dengan tatapan penuh cinta, meski tubuhnya lemah karena persalinan yang sangat sulit.  

“Anak kita sudah lahir,” sambut sang ayah.  

“Dia seorang lelaki.”  

"Kita akan beri dia nama Mo Tian," ujar ayah bayi itu yang merupakan seorang petani miskin dengan wajah keras karena kehidupan yang berat.  

Beberapa detik kemudian, kebahagiaan mereka terganggu, karena saat sang tabib membersihkan tubuh bayi itu, dia terkejut melihat tanda hitam berbentuk sabit di pundak kanannya.  

"Apa ini?" bisiknya, suaranya gemetar. "Tanda lahir yang aneh, ini seperti sebuah kutukan."  

“Ada apa?” tanya sang ayah.  

“Ah, tidak. Ini hanyalah tanda lahir biasa,” jawab sang tabib.  

Keluarga miskin itu sangat bahagia. Mereka sudah menunggu kehadiran anak selama puluhan tahun. Dan akhirnya, berkat kebaikan Dewa, mereka dikaruniai seorang anak lelaki.  

Tapi, desas-desus mulai menyebar di desa mengenai tanda lahir Mo Tian. Banyak yang percaya bahwa bayi Mo Tian adalah pertanda buruk, seorang anak yang membawa kesialan. Sebagian mengatakan dia adalah jelmaan roh jahat.  

Bahkan, ada yang berniat mengusirnya dari desa. Karena takut kalau Mo Tian akan membawa kesialan pada desa mereka.

Keluarga Mo Tian hidup dalam tekanan, tetapi mereka tetap merawatnya dengan penuh kasih sayang, meskipun harus menghadapi tatapan sinis dari penduduk desa. Ayahnya, mempertahankan anaknya, bahkan merelakan nyawanya demi sang anak.

Tahun-tahun berlalu, dan Mo Tian tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang kuat meski sering mengalami perundungan. Anak-anak desa lainnya mengejeknya, menyebutnya "anak kutukan" karena tanda hitam di pundaknya.  

"Aku bukan kutukan!" seru Mo Tian suatu hari ketika seorang anak laki-laki melemparinya dengan batu. "Aku sama seperti kalian!"  

Ejekan itu tak pernah berhenti. Mo Tian belajar untuk bertahan sendiri. Dia sering menghabiskan waktunya di hutan di pinggir desa, berburu hewan kecil dan memanjat pohon tinggi untuk menghindari anak-anak yang mengganggunya.  

Suatu hari, saat dia berjalan sendirian di hutan, tiba-tiba dia bertemu dengan seekor serigala besar yang terluka parah. Mata serigala itu bersinar merah, seperti api yang membara.  

“Aku tidak akan membunuhmu,” ujarnya.  

Mo Tian merasa takut, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya mendekati binatang itu. Dia merobek sebagian kain dari bajunya untuk membalut luka serigala itu.  

Ketika ia selesai, serigala itu menatapnya dengan tajam sebelum melolong keras. Anehnya, Mo Tian merasa seolah-olah ia mengerti apa yang dikatakan serigala itu: "Kau bukan manusia biasa. Darahmu menyimpan rahasia yang besar."  

Setelah melolong, serigala itu segera pergi masuk ke dalam hutan belantara.

Ketika Mo Tian beranjak remaja, dia mulai menunjukkan kemampuan yang tidak biasa. Tubuhnya lebih kuat dan gesit dibanding anak-anak seusianya. Dia mampu memanjat tebing terjal tanpa bantuan, dan instingnya untuk membaca bahaya sangat tajam.

"Ayah, kenapa orang-orang membenciku? Apa salahku?” tanya Mo Tian suatu malam saat mereka duduk di depan api unggun, membakar ikan hasil tangkapannya.

Ayahnya terdiam sejenak, lalu menghela nafas. "Bukan kau yang mereka benci. Mereka percaya hal yang mustahil. Tanda di pundakmu, mereka pikir itu kutukan. Tapi ayah percaya, itu hanyalah tanda lahir biasa. Buktinya, kau hidup sama seperti mereka.”  

Ucapan ayahnya menjadi penghiburan bagi Mo Tian. “Tapi, ini aku biasa saja. Tanda ini tidak menggangguku.”

“Kau benar. Jadi, jangan pikirkan itu.”

Waktu terus berlalu, hingga suatu malam yang mencekam…

“Api!”

“Ada api!”

Langit di atas desa berubah menjadi merah darah. Teriakan panik membangunkan Mo Tian dari tidur. Ketika dia keluar dari rumah melihat api melahap rumah-rumah penduduk desa.

Pada saat itu, dia melihat sosok-sosok berjubah hitam dengan lambang tengkorak di dada mereka menyerang warga tanpa ampun.  

"Mereka adalah orang-orang dari Sekte Langit Berdarah!" teriak seorang tetua desa sebelum tebasan pedang mengakhiri nyawanya.  

Mo Tian berlari ke dalam rumah untuk melindungi orang tuanya. Namun, seorang pria berjubah hitam dengan pedang besar telah masuk lebih dulu. Dalam sekejap, orang tua Mo Tian tergeletak di lantai, darah mengalir dari tubuh mereka.  

"Tidak!" teriak Mo Tian dengan suara parau.  

“Ayah! Ibu!”

Pria berjubah itu mendekatinya, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Sekarang giliranmu!”

Tapi sebelum pedang itu sempat turun, tanda di pundak Mo Tian mulai bersinar. Angin dingin berhembus dari tubuhnya, dan mata pria itu melebar ketakutan.  

"Apa? Apa ini?" suaranya gemetar.  

Braak!

Tubuh pria itu terhempas ke dinding, dalam sekejap sudah tak bernyawa. Mo Tian berdiri terpaku, tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. 

“Aku bisa melawannya?” tanya Mo Tian gemetar kepada dirinya sendiri.

Ketika ia melihat ke bawah, ia menemukan sebuah pedang tua berkarat di tangannya, seolah-olah pedang itu muncul entah dari mana.  

"Tuan muda..." suara parau terdengar di kepalanya. "Kembalilah. Ingat siapa dirimu."  

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
92 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status