Waktu terus berlalu.
Hari demi hari, Leon akhirnya mulai terlatih untuk menahan rasa sakit dan amarah. Perlahan tapi pasti, tubuhnya pun menjadi lebih kuat dan tangguh.Saat ini, dia tidak lagi mudah untuk dijatuhkan. Bahkan, segalanya kini mulai terasa jauh lebih ringan baginya.Seiring tubuhnya yang terus tumbuh menjadi semakin besar dan kuat, Leon pun menjadi jauh lebih tabah dan percaya diri dalam menjalani hari-harinya bersama Edward.Apalagi, pada kenyataannya, tubuhnya sekarang memang sudah lebih besar dan lebih kuat daripada cucu lelaki Kakek Sanjaya itu.Namun, walaupun tubuhnya telah tumbuh menjadi lebih tinggi dan lebih besar, Leon tak berubah menjadi tinggi hati dan besar kepala.Dia tetap membiarkan Edward memukulinya dan menjadikannya sebagai samsak hidup hampir setiap hari. Apalagi, saat ini pukulan Edward sudah tak lagi terasa menyakitkan baginya!Lebih dari itu, terkadang Leon justru menerima semua pukulan itu sambil tersenyum atau tertawa dalam hati.Entah bagaimana, bocah malang yang dulu bertubuh sangat kurus itu sepertinya memang sudah mulai kebal terhadap pukulan!Leon memang tumbuh jauh lebih cepat daripada kebanyakan anak-anak seusianya. Semua orang menyadari pertumbuhan fisik Leon yang melaju di atas rata-rata itu.Dia benar-benar mulai menarik perhatian hampir semua orang di kediaman Keluarga Sanjaya. Mereka bahkan mulai membicarakannya, terutama para pelayan yang setiap hari bergaul dengannya.Bukan cuma para pelayan yang tertarik dan memperhatikan Leon. Bahkan, Kakek Sanjaya sendiri juga sudah mulai mengamatinya.Orang terkaya di kota Morenmor itu beberapa kali terlihat memasuki ruang kontrol keamanan, lalu menonton aktifitas Leon melalui CCTV.“Anak itu sepertinya cukup kuat dan tabah. Dia sama sekali tidak melawan, padahal itu sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Benar-benar luar biasa!” pikir Kakek Sanjaya saat melihat adegan Leon yang sedang dipukuli oleh Edward melalui sebuah monitor besar yang menempel di dinding.Kakek Sanjaya terus menonton hingga akhirnya dia melihat cucunya itu pergi meninggalkan Leon sendirian di aula olah raga.Dia terus menonton.Adegan selanjutnya masih sama seperti apa yang pernah dia lihat pada waktu-waktu sebelumnya. Leon terlihat membereskan semua peralatan bekas Edward latihan, lalu beranjak pergi.Selanjutnya, sosok yang kini tak lagi nampak sekurus dua tahun lalu itu terlihat pada monitor lain yang menampilkan gambar suasana di selasar menuju paviliun belakang.Di monitor itu, Leon terlihat sedang berjalan menuju ke kamarnya di wisma para pelayan.Kakek Sanjaya tersenyum lalu berkata pada seorang pengawal yang saat itu sedang bertugas di ruang kontrol, “Panggil Martin. Suruh dia menemuiku di taman kota!”“Siap, Tuan Besar!” kata pengawal itu patuh tanpa bertanya, lalu segera menghubungi Martin melalui alat komunikasi canggih yang terselip di telinganya.Martin adalah kepala pelayan Keluarga Sanjaya.Selain itu, dia juga merupakan asisten sekaligus pengawal pribadi Kakek Sanjaya. Dalam banyak hal, dia juga berperan aktif sebagai perwakilan resmi Keluarga Sanjaya.Terkadang, orang-orang yang tidak mengenalnya akan berpikir bahwa dialah pemimpin Keluarga Sanjaya yang sebenarnya.Bagaimanapun, pada kenyataannya – Kakek Sanjaya memang sangat mengandalkan dan mempercayai Martin.Sore ini, sepertinya Kakek Sanjaya akan kembali mengandalkan Martin untuk suatu urusan yang spesial.Tidak biasanya orang terkaya Morenmor itu ingin bertemu seseorang di taman kota, apalagi orang itu adalah asisten pribadinya sendiri. Biasanya dia akan langsung memanggil orang itu untuk menghadap ke kantornya – atau di manapun selain di tempat terbuka.Tentu ada sesuatu yang sangat penting dan rahasia!Martin sangat memahami isyarat itu!Tak lama berselang, dia sudah terlihat berjalan-jalan santai sambil mengobrol dengan Kakek Sanjaya di taman kota.Mereka terlihat sangat akrab. Siapapun akan sulit untuk percaya jika dikatakan bahwa kedua orang lelaki gagah itu sebenarnya adalah majikan dan pelayannya.Lebih dari itu, bahkan hampir tidak ada yang mengenali bahwa salah satu di antara kedua orang itu sebenarnya adalah orang paling kaya dan berpengaruh di seantero Morenmor!“Bagaimana? Apakah Edward masih suka memukuli anak itu?” tanya Kakek Sanjaya.“Tuan Muda masih bersemangat seperti biasa, Tuan Besar. Setiap pagi dan sore, Tuan Muda masih terus berlatih bersama anak itu.” Martin sengaja mengganti istilah memukuli dengan kata berlatih. Bagaimanapun, dia harus senantiasa menunjukkan kesetiaan dan rasa hormat terhadap anggota inti Keluarga Sanjaya.“Lalu, apakah anak itu baik-baik saja?” tanya Kakek Sanjaya lagi.“Dia baik-baik saja, Tuan Besar. Malah sepertinya dia juga bertambah kuat. Dia benar-benar mampu mendorong Tuan Muda untuk lebih bersemangat dalam berlatih,” jawab Martin jujur, tentu saja setelah menyusun dan menyaring setiap kata yang dia ucapkan.Kakek Sanjaya tersenyum simpul, “Bagus! Tapi sebenarnya, ada sesuatu yang sampai saat ini masih membebani pikiranku.”Martin langsung tersentak. Dia memandang Kakek Sanjaya dengan tatapan bingung campur khawatir lalu bertanya dengan nada suara cemas, “Maafkan saya, Tuan Besar. Apakah ada masalah dengan Tuan Muda?”Kakek Sanjaya tersenyum lagi, “Sebenarnya bukan masalah. Tapi saat ini Edward sudah berusia sembilan tahun. Tiga tahun lagi, dia harus mulai masuk sekolah umum. Dia harus mulai mengenal dunia luar dan belajar mengatasi masalah. Tentu saja, akan perlu ada seseorang yang harus selalu bersamanya setiap saat.”“Apakah Tuan Besar menginginkan anak itu?” tanya Martin hati-hati, langsung memahami kegundahan tuan besarnya.Kakek Sanjaya diam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu.Sesaat kemudian dia menjawab, “Aku belum terlalu yakin, tapi tidak ada salahnya jika kamu mulai menyelidiki latar belakang anak itu. Aku agak curiga, sepertinya ada aura bangsawan yang kental pada anak itu.”Martin tersenyum, “Sebenarnya saya juga merasakannya, Tuan Besar. Tapi saya tidak yakin jika anak itu benar-benar dari keluarga kaya atau bangsawan. Saat mengambilnya dulu, saya banyak bertanya pada pengurus panti asuhan dan orang-orang sekitar. Semuanya mengatakan bahwa anak itu ditemukan sembilan tahun lalu di depan pintu panti asuhan tanpa nama atau tanda keluarga manapun.”Kakek Sanjaya mengernyitkan kening lalu bertanya, “Oh, begitu? Lalu – selama tujuh tahun ini, apakah ada yang mencarinya? Apakah pernah ada orang yang datang ke panti asuhan lalu menanyakan sesuatu tentang anak itu?”Martin menjawab dengan yakin, “Tidak ada, Tuan Besar.”Kakek Sanjaya mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali seraya mengembuskan napas lega.Lelaki tua kaya raya itu tampaknya memiliki ketertarikan tersendiri terhadap Leon. Terlihat jelas pada sorot matanya bahwa dia memang merencanakan sesuatu terhadap bocah malang berusia sembilan tahun itu.“Kalau begitu, seharusnya tidak akan ada masalah di kemudian hari. Anak itu tampaknya cukup baik dan dapat dipercaya. Saya kira dia cukup layak untuk menjadi pendamping Edward. Mulai sekarang, pastikan anak itu mendapat makanan yang lebih baik – supaya dia tumbuh makin kuat dan tangguh. Ajari dia sedikit ilmu beladiri, tapi pastikan juga supaya dia tidak akan pernah menggunakannya terhadap cucuku. Pokoknya, aku mau anak itu mulai dipersiapkan dengan benar!” ujar Kakek Sanjaya memberondong, melepaskan titahnya.Martin tertegun sejenak.Dia tak menduga, ternyata Kakek Sanjaya benar-benar akan mulai mempersiapkan Edward sebagai calon penerus tahta Keluarga Sanjaya. Dia tahu tahu persis bagaimana seriusnya Keluarga Sanjaya dalam mempersiapkan calon penerus kejayaan keluarga mereka dari generasi ke generasi.Martin paham betul apa yang direncanakan oleh lelaki tua kaya raya itu.Dulu, saat Charles Sanjaya masih kuliah, Martin adalah orang yang diperintahkan untuk mendampingi. Sekarang, ternyata dia juga yang diminta untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi pendamping bagi putra Charles.“Baik, Tuan Besar. Saya akan melatihnya. Akan saya pastikan semua berjalan sesuai dengan keinginan dan rencana Tuan Besar,” ucap Martin penuh percaya diri.Kakek Sanjaya tersenyum puas.“Bagus! Tapi lakukan semuanya secara rahasia. Aku tidak mau anak itu jadi besar kepala dan melupakan kedudukannya hanya karena mendapat sedikit perhatian lebih darimu!” pungkas Kakek Sanjaya menuntaskan perintahnya.“Siap, Tuan Besar! Saya mengerti,” sahut Martin dengan kepatuhan maksimal.Selanjutnya mereka berpisah, mengambil arah dan jalan yang berbeda – walaupun sebenarnya mereka menuju tempat yang sama, Mansion Keluarga Sanjaya.Terlalu percaya diri!Mungkin, itu adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tindakan Rudolf Subrata yang nekat mengejar Beta-1 sendirian!Dia mengejar hanya dengan ditemani seorang sopir, tanpa pengawal atau anak buah sama sekali. Kendaraan yang digunakannya pun hanya sebuah SUV mewah, bukan kendaraan militer atau kendaraan tempur yang dilengkapi persenjataan canggih atau fitur perlindungan yang mumpuni.Amarah dan dendam tampaknya telah benar-benar melumpuhkan akal sehatnya. Bayangan ratusan anak buahnya yang tewas dibantai pasukan milisi beberapa saat lalu, membuatnya tak lagi peduli pada keselamatan diri sendiri. Sepertinya, dia telah bertekad untuk mengantarkan sendiri nyawa komandan tentara milisi yang dikejarnya itu – ke hadapan dewa penjaga neraka!“Kejar terus, jangan sampai lolos!” perintah pemimpin gerombolan preman paling ditakuti di seantero Morenmor itu penuh tekad.Sopir yang mengemudikan mobil Rudolf tidak menjawab.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kaki kananny
Komandan senior pasukan dari benteng perbatasan tidak salah!Pada malam itu, sejak beberapa jam yang lalu – ternyata memang ada lebih dari 200 orang tentara milisi bersenjata lengkap yang tengah bergerak untuk menjalankan suatu misi rahasia.Ratusan tentara milisi bersenjata lengkap itu adalah anggota Tim Beta, kelompok terbesar dari 300 orang tentara milisi gabungan tiga keluarga besar kelas dua Morenmor yang sedang menggelar operasi senyap dalam rangka membasmi Keluarga Desplazado berikut seluruh kekuatan pendukungnya. Malam itu, misi rahasia yang dijalankan oleh para tentara milisi tersebut adalah menyerbu dan menghancurkan basis utama kekuatan Rudolf Subrata di suatu kawasan terpencil di luar kota Morenmor.Kawasan terpencil itu dikenal dengan sebutan Distrik Silentium.Semua orang tahu, Distrik Silentium adalah sarang preman terbesar di Morenmor. Hampir seluruh penduduk kawasan tersebut adalah adalah bandit kambuhan yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara.Rudolf Subrata ada
Bruk …!Brukk …!Brukkk ...!Satu per satu anggota Tim Alfa menjatuhkan diri, berlutut sambil meletakkan senjata lalu melipat tangan dengan jari-jari saling bertautan di belakang kepala yang tertunduk dalam.Tanpa dikomando, sepuluh orang prajurit benteng perbatasan segera bertindak.Tiga orang langsung mengumpulkan dan mengamankan senjata-senjata milik tentara milisi anggota Tim Alfa, sedangkan tujuh lainnya bergerak cepat melumpuhkan para tentara milisi itu dengan cara yang sedikit ektrim – yaitu memukul tengkuk mereka hingga jatuh pingsan.Selanjutnya, tubuh-tubuh tak sadarkan diri itu dimasukkan ke dalam sebuah truk besar lalu dibawa entah ke mana.Setelah itu, para serdadu yang hampir semuanya pernah dilatih langsung oleh Martin Sindoro itu mulai menyisir seluruh gedung Hotel Preatorium. Setiap kamar diperiksa tanpa kecuali, memastikan bahwa tidak ada sisa-sisa tentara milisi anggota Tim Alfa yang masih bersembunyi.Di luar dugaan, saat hendak memeriksa salah satu kamar di lantai
Ramos bukan ragu karena takut mati.Bandit tua itu hanya merasa tak percaya diri.Dia hanya sendirian dan harus melawan banyak orang yang bahkan belum diketahui jumlah dan posisi pastinya. Lebih dari itu, dia hanya berbekal dua pucuk senjata otomatis yang pelurunya pun sudah banyak terpakai – saat menembaki lampu tadi.“Harus minta bantuan secepatnya,” gumam Ramos pelan, mencoba berpikir jernih.Dia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Rudolf. Tanpa meninggalkan detil apa pun, dia melaporkan seluruh situasi yang dihadapinya.“Semua anggota kita mungkin sudah tewas, Ketua!” ujar Ramos menutup laporannya.“Bertahanlah, jangan mati sebelum aku datang. Bakar beberapa kamar di lantai atas untuk menarik perhatian dan bantuan pihak lain di luar gedung!” sahut Rudolf tegas, langsung memberi perintah setelah memahami situasi di Hotel Preatorium.“Siap, Ketua!” jawab Ramos girang, mulai percaya diri lagi.Selanjutnya, dia langsung membakar sebuah tempat tidur besar yang terdapat di
Sebuah truk militer tampak bergerak perlahan mendekati Hotel Preatorium. Aroma khas minuman keras kelas atas merebak makin harum ketika truk itu akhirnya berhenti di depan palang portal baja, tak jauh dari pos penjagaan.Benar!Truk tersebut adalah salah satu dari empat truk yang membawa 70 orang tentara milisi yang sedang menjalankan salah satu misi rahasia dalam operasi senyap yang digelar malam itu. Truk itu tiba di depan Hotel Preatorium tepat ketika – puluhan kilometer dari sana – suatu tim lain dari induk pasukan yang sama juga tengah menjalankan operasi rahasia lainnya di kota Granda Peko dan sedang mulai membunuhi orang-orang di Wisma Adulterium.“Stop!” seru Rafael menghentikan truk militer yang menebarkan aroma minuman keras itu.Truk itu pun berhenti.Seorang prajurit muda berseragam loreng hitam abu-abu turun dan menyapa, “Selamat malam, kami anggota pasukan milisi dari asrama Hotel Proditio mohon izin melintas.”Rafael menjawab tegas, “Ini bukan jalan menuju Hotel Proditi
Hotel Preatorium awalnya adalah salah satu properti milik Rudolf Subrata.Saat Gubernur Morgan Hanjaya mengambil alih hotel tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu asrama tentara aliansi, hotel kecil berlantai empat itu ditempati oleh sekitar 200 orang anggota pasukan milisi yang direkrut dari beberapa kelompok preman anak buah Rudolf Subrata dan para pengawal Keluarga Desplazado.Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu suasana di sekitar hotel Preatorium tampak sepi.Hampir semua anggota tentara milisi yang tinggal di hotel itu telah terlelap kelelahan di kamarnya masing-masing setelah sepanjang hari menjalani latihan berat bersama beberapa orang anggota pasukan khusus pengawal Keluarga Sanjaya. Tak seorang pun di antara para tentara milisi tersebut mengetahui bahwa pada malam itu, mereka telah ditetapkan sebagai salah satu target utama operasi senyap yang digagas oleh tiga komandan senior dari pasukan milisi gabungan tiga keluarga besar kelas dua Morenmor!Malam itu, dua ora