Nama lengkap Martin adalah Martin Sindoro.
Dia sebenarnya bukan orang sembarangan. Sesungguhnya, dia adalah seorang master seni beladiri yang merupakan pengawal pribadi sekaligus orang kepercayaan Kakek Sanjaya. Selain ahli beladiri, dia juga memiliki keahlian pengobatan tradisional tingkat tinggi.
Tidak berlebihan sama sekali jika dikatakan bahwa Martin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan pemimpin Keluarga Sanjaya.
Ahli beladiri dengan banyak keahlian itu sudah menjadi pengawal tersembunyi keluarga Sanjaya sejak usianya baru menginjak 20 tahun.
Pada masa itu dia bertugas mendampingi sekaligus melindungi Charles Sanjaya, yaitu ketika putra tunggal orang terkaya di Morenmor itu masih menjalani pendidikan di universitas.
Kemudian – saat masa awal Charles bergabung dengan militer – dia tetap melindungi putra Kakek Sanjaya itu secara rahasia. Saat itu, dia menyamar sebagai instruktur pelatih seni beladiri. Bahkan ketika Charles sudah menjadi perwira komando dan memiliki pasukan sendiri, dia tetap mendampinginya dengan menjadi sopir pribadi yang selalu ikut ke manapun perwira muda itu bertugas.
Martin baru berhenti mendampingi Charles lima tahun yang lalu.
Waktu itu Charles mendapat tugas sebagai atase militer Negara Pecunia di luar negeri, sementara di sisi lain – Kakek Sanjaya sudah mulai memasuki usia senja dan melemah secara fisik.
Tidak ada pilihan lain, Charles terpaksa berangkat ke luar negeri sendirian dan Martin mulai menjalani tugas barunya sebagai kepala pelayan Keluarga Sanjaya merangkap sebagai asisten pribadi Kakek Sanjaya.
Dua puluh tahun lebih mengabdi pada Keluarga Sanjaya, Martin tentunya tahu betul selera dan gaya Kakek Sanjaya dalam merencanakan setiap langkah dalam hidupnya. Tidak ada alasan sama sekali baginya untuk tidak memahami rencana lelaki tua kaya raya itu – yang hendak menjadikan Leon sebagai pendamping Edward, sebagaimana dulu dia menjadi pendamping Charles.
Martin sadar sepenuhnya, dia harus melatih Leon sebaik-baiknya hingga menjadi seorang pengawal tersembunyi yang tangguh, cerdas dan setia bagi Edward Sanjaya.
Namun, sebersit keraguan tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya, saat dia teringat bagaimana cucu Kakek Sanjaya itu memperlakukan Leon selama ini.
Keraguan Martin tidak salah.
Jauh di dasar hatinya, Leon memang sebenarnya memendam kebencian pada Edward. Bagaimanapun, setiap hari dipukuli tanpa ampun selama dua tahun penuh – pastilah akan menorehkan benci dan dendam di dalam hati.
Martin juga tahu, Leon tidak pernah menampakkan amarah dan kebenciannya hanya karena bocah itu menyadari statusnya yang cuma menumpang tinggal di rumah keluarga Sanjaya.
“Ini tidak akan mudah!” keluh Martin dalam hati, sadar akan tugas berat yang membebaninya.
Namun, perintah tetap perintah!
Martin akhirnya mulai menyusun rencana pelatihan untuk Leon, sesuai dengan kehendak Kakek Sanjaya.
Dia mengatur beberapa orang pelayan supaya mulai sering menyuruh Leon melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Tentu saja, dia juga menyuruh mereka agar memberikan makanan tambahan ala kadarnya sebagai imbalan.
Imbalan yang paling menyenangkan bagi Leon adalah ketika dia diizinkan menyantap sisa hidangan makan malam Kakek Sanjaya.
Bagaimanapun, sisa hidangan makan malam Kakek Sanjaya adalah makanan-makanan bergizi dengan cita rasa tinggi dan kelezatan khas kelas restoran bintang lima. Lebih dari itu, sering kali makanan sisa yang diberikan padanya itu bahkan belum disentuh sama sekali.
Sesungguhnya, agak terlalu sulit bagi siapapun untuk mengatakan bahwa itu adalah makanan sisa.
“Makanlah, habiskan kalau mampu. Badanmu harus lebih besar dan lebih kuat lagi, supaya bisa terus menemani Tuan Muda berlatih! Hahahaha….”
Seorang pelayan bertubuh gemuk yang memiliki wajah jenaka menyodorkan satu porsi besar Foie Grass sisa hidangan makan malam Kakek Sanjaya yang tampaknya belum disentuh sama sekali.
“Terima kasih, Tuan!” jawab Leon dengan mata berbinar-binar.
Selanjutnya, hidangan mewah berbahan dasar hati angsa yang dipaksa gemuk secara kejam sehingga kaya akan lemak dan protein itu sedikit demi sedikit mulai bermigrasi ke dalam lambung Leon hingga tandas tak bersisa.
Sebagai gantinya, bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan itu harus mencuci semua piring dan perlengkapan lain bekas makan malam Kakek Sanjaya.
Setelah selesai membantu para pelayan di dapur, Leon bergegas ke kamarnya untuk beristirahat. Bagimanapun, besok pagi dia harus kembali menjalankan peran sebagai samsak hidup demi memuaskan nafsu berkelahi Edward yang selalu menggebu-gebu.
Namun sebelum dia tiba di kamarnya, seorang lelaki setengah umur berbadan tegap terlihat berdiri santai sambil bersandar ke dinding – tepat di depan pintu kamar.
Lelaki berbadan tegap itu adalah Martin, kepala pelayan Keluarga Sanjaya yang juga merupakan orang kepercayaan Kakek Sanjaya.
“Selamat malam, Tuan Martin.” Leon menyapa sopan, antara takut dan khawatir.
Martin tidak merespon.
Dia hanya memutar badan lalu beranjak pergi dengan langkah perlahan sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Sesaat kemudian, dia menoleh seraya memberi isyarat agar Leon segera mengikutinya.
“Ayo kita latihan!” gumam Martin pelan, namun tak terbantahkan.
Leon terhenyak, tapi tetap patuh mengikuti Martin.
Sepanjang jalan, kekhawatirannya melonjak ke level maksimum. Bagaimanapun juga, selama ini dia hanya memahami bahwa latihan adalah sama artinya dengan dipukuli tanpa ampun!
Walaupun beberapa waktu belakangan dia sudah tidak lagi terlalu merasa sakit ketika dipukuli oleh Edward, namun situasinya sekarang jauh berbeda.
Bukan Edward yang akan berlatih dengan Leon, tapi Martin!
Leon tahu, dia tak mungkin bisa tertawa sebagaimana selama ini dia telah meremehkan pukulan Edward. Sepertinya, mungkin dia justru akan menangis. Bahkan, mungkin dia sudah akan menangis sebelum pukulan pertama menyentuhnya.
Bagaimanapun, Martin adalah orang dewasa. Pukulannya pasti akan jauh lebih kuat daripada Edward!
Leon pun mulai panik.
Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya tiba di aula olahraga. Martin berdiri tepat di tengah aula, sementara Leon terlihat pasrah beberapa langkah di belakangnya.
Hening sejenak.
Tidak ada yang berbicara atau mengeluarkan suara sedikitpun. Leon bahkan seperti bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang mulai berdetak tidak beraturan.
Sesaat kemudian, Martin berbalik hingga posisinya berhadap-hadapan dengan Leon.
“Mendekatlah!” perintah Martin.
Leon menurut, berjalan mendekat satu langkah lalu diam. Dia tak punya keberanian untuk melangkah lebih dekat. Perasaannya mulai tidak karuan sementara jantungnya berdebar makin cepat tak beraturan.
Antara ragu dan takut, dia akhirnya memberanikan diri memandang Martin dengan tatapan memohon belas kasihan.
Namun, Martin tidak peduli.
“Lebih dekat!” desis Martin penuh intimidasi, memerintah tanpa belas kasihan.
Hampir menangis, Leon kemudian memaksa kakinya untuk berjalan selangkah lagi.
“Lagi!” bentak Martin dengan suara menggelegar.
Leon tersentak.
Takut membuat Martin benar-benar murka, dia segera melangkah maju dengan cepat hingga jarak antara dirinya dengan sosok orang kepercayaan Kakek Sanjaya itu tidak lebih dari satu langkah saja.
Entah sejak kapan, tiba-tiba tubuhnya sudah gemetar dengan hebat. Tanpa dapat dibendung sedikitpun, sesuai dengan perkiraannya sendiri, ternyata tangisnya memang sudah meledak sebelum dia mulai dipukuli.
Entah sedih entah takut, mungkin juga keduanya, Leon akhirnya menyerah pada kenyataan.
Dia tak mampu untuk terus-menerus berpura-pura tegar. Dia kini berdiri pasrah tanpa daya sambil menundukkan kepala. Menangis terisak-isak hingga pundaknya ikut berguncang-guncang. Seiring dengan air matanya yang tumpah dan mengalir deras seperti bendungan jebol.
“Hapus air matamu! Laki-laki sejati tidak menangis.” Sebuah suara berat bernada tegas namun lembut memaksa Leon mengangkat wajah.
Leon tertegun.
Ternyata Martin tidak memukulinya.
Bahkan sebaliknya, Leon justru mandapati lelaki gagah itu berjongkok tepat di depannya.
Orang kepercayaan Kakek Sanjaya itu memegang pundak Leon dengan lembut. Sementara, dua ibu jarinya yang tebal dan kokoh menopang dagu bocah itu. Kini, wajah kedua lelaki yang berbeda generasi itu saling berhadapan hampir tanpa jarak.
Saat ini, Leon dan Martin bahkan bisa saling merasakan embusan napas masing-masing.
“Jangan menangis, lelaki sejati tidak menangis!” ulang Martin lebih lembut dan sangat bersahabat. Bahkan sikap galak dan tegas yang sebelumnya sangat mendominasi, kini tak terlihat sama sekali.
Namun, Leon terlanjur berkecil hati.
Dia hanya memandangi wajah Martin dengan bingung.
Dia tidak mengerti sedikitpun alasan di balik perubahan sikap Martin.
Beberapa saat yang lalu, suara lelaki berbadan tegap itu begitu dingin dan mengintimidasi. Bahkan lelaki itu juga sempat membentaknya ketika menyuruhnya mendekat tadi.
Namun, kenapa sekarang sikap kepala pelayan Keluarga Sanjaya itu terlihat begitu lembut dan bersahabat?
Leon tak mau terkecoh.
Dia sudah terlalu sering dibohongi. Dia bahkan sudah dibohongi sejak awal dia datang ke lingkungan orang kaya ini dua tahun yang lalu!
Terlalu percaya diri!Mungkin, itu adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tindakan Rudolf Subrata yang nekat mengejar Beta-1 sendirian!Dia mengejar hanya dengan ditemani seorang sopir, tanpa pengawal atau anak buah sama sekali. Kendaraan yang digunakannya pun hanya sebuah SUV mewah, bukan kendaraan militer atau kendaraan tempur yang dilengkapi persenjataan canggih atau fitur perlindungan yang mumpuni.Amarah dan dendam tampaknya telah benar-benar melumpuhkan akal sehatnya. Bayangan ratusan anak buahnya yang tewas dibantai pasukan milisi beberapa saat lalu, membuatnya tak lagi peduli pada keselamatan diri sendiri. Sepertinya, dia telah bertekad untuk mengantarkan sendiri nyawa komandan tentara milisi yang dikejarnya itu – ke hadapan dewa penjaga neraka!“Kejar terus, jangan sampai lolos!” perintah pemimpin gerombolan preman paling ditakuti di seantero Morenmor itu penuh tekad.Sopir yang mengemudikan mobil Rudolf tidak menjawab.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kaki kananny
Komandan senior pasukan dari benteng perbatasan tidak salah!Pada malam itu, sejak beberapa jam yang lalu – ternyata memang ada lebih dari 200 orang tentara milisi bersenjata lengkap yang tengah bergerak untuk menjalankan suatu misi rahasia.Ratusan tentara milisi bersenjata lengkap itu adalah anggota Tim Beta, kelompok terbesar dari 300 orang tentara milisi gabungan tiga keluarga besar kelas dua Morenmor yang sedang menggelar operasi senyap dalam rangka membasmi Keluarga Desplazado berikut seluruh kekuatan pendukungnya. Malam itu, misi rahasia yang dijalankan oleh para tentara milisi tersebut adalah menyerbu dan menghancurkan basis utama kekuatan Rudolf Subrata di suatu kawasan terpencil di luar kota Morenmor.Kawasan terpencil itu dikenal dengan sebutan Distrik Silentium.Semua orang tahu, Distrik Silentium adalah sarang preman terbesar di Morenmor. Hampir seluruh penduduk kawasan tersebut adalah adalah bandit kambuhan yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara.Rudolf Subrata ada
Bruk …!Brukk …!Brukkk ...!Satu per satu anggota Tim Alfa menjatuhkan diri, berlutut sambil meletakkan senjata lalu melipat tangan dengan jari-jari saling bertautan di belakang kepala yang tertunduk dalam.Tanpa dikomando, sepuluh orang prajurit benteng perbatasan segera bertindak.Tiga orang langsung mengumpulkan dan mengamankan senjata-senjata milik tentara milisi anggota Tim Alfa, sedangkan tujuh lainnya bergerak cepat melumpuhkan para tentara milisi itu dengan cara yang sedikit ektrim – yaitu memukul tengkuk mereka hingga jatuh pingsan.Selanjutnya, tubuh-tubuh tak sadarkan diri itu dimasukkan ke dalam sebuah truk besar lalu dibawa entah ke mana.Setelah itu, para serdadu yang hampir semuanya pernah dilatih langsung oleh Martin Sindoro itu mulai menyisir seluruh gedung Hotel Preatorium. Setiap kamar diperiksa tanpa kecuali, memastikan bahwa tidak ada sisa-sisa tentara milisi anggota Tim Alfa yang masih bersembunyi.Di luar dugaan, saat hendak memeriksa salah satu kamar di lantai
Ramos bukan ragu karena takut mati.Bandit tua itu hanya merasa tak percaya diri.Dia hanya sendirian dan harus melawan banyak orang yang bahkan belum diketahui jumlah dan posisi pastinya. Lebih dari itu, dia hanya berbekal dua pucuk senjata otomatis yang pelurunya pun sudah banyak terpakai – saat menembaki lampu tadi.“Harus minta bantuan secepatnya,” gumam Ramos pelan, mencoba berpikir jernih.Dia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Rudolf. Tanpa meninggalkan detil apa pun, dia melaporkan seluruh situasi yang dihadapinya.“Semua anggota kita mungkin sudah tewas, Ketua!” ujar Ramos menutup laporannya.“Bertahanlah, jangan mati sebelum aku datang. Bakar beberapa kamar di lantai atas untuk menarik perhatian dan bantuan pihak lain di luar gedung!” sahut Rudolf tegas, langsung memberi perintah setelah memahami situasi di Hotel Preatorium.“Siap, Ketua!” jawab Ramos girang, mulai percaya diri lagi.Selanjutnya, dia langsung membakar sebuah tempat tidur besar yang terdapat di
Sebuah truk militer tampak bergerak perlahan mendekati Hotel Preatorium. Aroma khas minuman keras kelas atas merebak makin harum ketika truk itu akhirnya berhenti di depan palang portal baja, tak jauh dari pos penjagaan.Benar!Truk tersebut adalah salah satu dari empat truk yang membawa 70 orang tentara milisi yang sedang menjalankan salah satu misi rahasia dalam operasi senyap yang digelar malam itu. Truk itu tiba di depan Hotel Preatorium tepat ketika – puluhan kilometer dari sana – suatu tim lain dari induk pasukan yang sama juga tengah menjalankan operasi rahasia lainnya di kota Granda Peko dan sedang mulai membunuhi orang-orang di Wisma Adulterium.“Stop!” seru Rafael menghentikan truk militer yang menebarkan aroma minuman keras itu.Truk itu pun berhenti.Seorang prajurit muda berseragam loreng hitam abu-abu turun dan menyapa, “Selamat malam, kami anggota pasukan milisi dari asrama Hotel Proditio mohon izin melintas.”Rafael menjawab tegas, “Ini bukan jalan menuju Hotel Proditi
Hotel Preatorium awalnya adalah salah satu properti milik Rudolf Subrata.Saat Gubernur Morgan Hanjaya mengambil alih hotel tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu asrama tentara aliansi, hotel kecil berlantai empat itu ditempati oleh sekitar 200 orang anggota pasukan milisi yang direkrut dari beberapa kelompok preman anak buah Rudolf Subrata dan para pengawal Keluarga Desplazado.Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu suasana di sekitar hotel Preatorium tampak sepi.Hampir semua anggota tentara milisi yang tinggal di hotel itu telah terlelap kelelahan di kamarnya masing-masing setelah sepanjang hari menjalani latihan berat bersama beberapa orang anggota pasukan khusus pengawal Keluarga Sanjaya. Tak seorang pun di antara para tentara milisi tersebut mengetahui bahwa pada malam itu, mereka telah ditetapkan sebagai salah satu target utama operasi senyap yang digagas oleh tiga komandan senior dari pasukan milisi gabungan tiga keluarga besar kelas dua Morenmor!Malam itu, dua ora