Share

Bab 4

“Bangun!”

Sebuah tendangan teriring bentakan keras memaksa Leon meninggalkan alam mimpi.

Dia terbangun bahkan tanpa sempat mengumpulkan setengah dari kesadarannya. Tubuhnya terjatuh dari atas landasan treadmill yang selama beberapa jam terakhir telah menjadi ranjang tidurnya.

Terhuyung-hutung, Leon berusaha bangkit dan berdiri.

Dia mengejapkan matanya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya matahari yang ternyata sudah lama meninggalkan peraduan.

Samar-samar, dia akhirnya berhasil mengenali sesosok tubuh yang telah menendang perutnya yang bahkan belum diisi sejak kemarin.

“Ma … maafkan saya, Tuan Muda. Saya kesiangan,” ujar Leon ketakutan.

“Keterlaluan kamu! Bukankah aku sudah mengatakan agar kamu menjauhi barang-barang milikku? Tapi lihat – kamu bukan hanya menyentuh treadmill itu, kamu bahkan justru tidur di situ! Sepertinya, kamu benar-benar menganggap remeh ucapanku! Apa maksudmu sebenarnya, hah?!?” sahut Edward, membentak dengan sengit.

“Maaf, Tuan Muda. Tadi malam saya tidak sengaja tertidur ketika sedang membersihkannya. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Leon lirih penuh penyesalan.

Namun Edward tak peduli.

Dia terus meradang dan membentak Leon dengan kasar, “Maaf, maaf, hanya maaf saja yang kamu ucapkan dari tadi! Apa kamu pikir semua bisa selesai dengan minta maaf? Asal kamu tahu, gara-gara kamu, treadmill ini sekarang harus dibuang dan tidak mungkin dipakai lagi!” tukas Edward makin sengit.

Leon tercengang.

Treadmill itu tidak bisa dipakai lagi? Apakah alat itu rusak?

Leon memperhatikan treadmill itu dengan seksama.

Alat itu masih terlihat sama seperti tadi malam, tak ada yang berubah sama sekali. Bagaimanapun, dia memang tidak merasa melakukan apapun terhadap benda itu.

Dia hanya tertidur di atas landasannya, tidak lebih!

“Kenapa tidak bisa dipakai lagi, Tuan Muda? Apakah alat ini rusak?” tanya Leon hati-hati, penuh kekhawatiran.

Edward menjawab, “Tidak penting apakah itu rusak atau tidak, tapi pasti ada terlalu banyak bekas keringatmu di situ sekarang. Aku jijik untuk menggunakannya lagi!”

Leon terperangah.

Hanya karena bekas keringat maka alat semewah itu tak dapat digunakan lagi? Benar-benar tak masuk di akal!

Namun, siapa yang dapat mencegah orang kaya untuk bertindak tak masuk akal? Edward adalah cucu orang terkaya Morenmor, tentu tak akan ada masalah apapun jika dia bersikap tidak masuk akal.

Sedangkan Leon?

Dia hanya bocah miskin yang bahkan belum pernah melihat mesin treadmill selama hidupnya.

Jiwa miskinnya tentu akan menjerit tak terima ketika membayangkan sebuah alat olahraga mahal harus disingkirkan hanya karena terkena keringat orang miskin.

“Maaf, Tuan Muda. Alat ini pasti sangat mahal, sayang sekali jika harus dibuang. Saya akan membersihkannya supaya dapat dipakai lagi,” kata Leon mencoba membujuk Edward.

Namun, Edward justru tertawa mendengar ucapan Leon.

Dia manatap Leon dengan pandangan jijik lalu berkata, “Tidak perlu! Tidak perlu dibersihkan, aku sudah terlanjur jijik melihatnya. Akan lebih baik jika kamu yang membersihkan diri. Segera mandi dan minta pakaian baru pada pelayan, aku muak melihat baju murahmu itu!”

Selanjutnya, Edward memanggil kedua pengawal yang selalu mengiringinya ke manapun dia pergi. Dia memerintahkan mereka untuk menyingkirkan mesin treadmill yang sebenarnya masih sangat baru itu!

Leon tak bisa berkata apa-apa lagi.

Dia hanya bisa memandangi mesin treadmill yang sedang digotong keluar itu dengan hati gundah penuh rasa bersalah. Bagaimanapun, dialah yang menyebabkan alat mahal itu pensiun sebelum waktunya.

Leon tak bisa berlama-lama meratapi nasib treadmill itu. Dia harus segera pergi mandi sebelum nasibnya menjadi lebih tragis daripada mesin mahal itu.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia melangkahkan kakinya mengikuti kedua pengawal pribadi Edward.

Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti mendadak.

Edward menahannya, “Tunggu! Segera kembali ke sini begitu kamu selesai, lima menit lagi kita akan mulai latihan. Jangan terlambat, aku tidak suka menunggu!”

Leon menyahut, “Baik, Tuan Muda.”

Selanjutnya, bocah bertubuh kurus itu melesat meninggalkan aula olahraga.

Tak sampai lima menit kemudian, dia sudah kembali dengan penampilan yang berbeda.

Wajahnya tampak segar walaupun rambutnya masih basah dan terlihat sedikit acak-acakan. Titik-titik air bahkan masih menetes dari ujung-ujung rambut yang sepertinya belum sempat dikeringkan dengan sempurna itu.

Bukan hanya rambut, sebenarnya bocah kurus itu bahkan tak sempat mengeringkan tubuhnya sama sekali!

Terlepas dari rambutnya yang tampak acak-acakan, keadaan Leon saat ini terlihat jauh berbeda.

Pakaian baru yang dia kenakan sepertinya benar-benar berjasa dalam merubah penampilannya. Bahkan, ada samar-samar aura bangsawan yang kini menguar dari tubuh bocah kurus yang kini menebarkan aroma mewah sabun mahal.

Leon memang hanya mandi dan berganti pakaian. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk merubah penampilannya menjadi jauh lebih baik.

Hanya satu yang kurang.

Semua perubahan itu tak sampai merubah keadaan di dalam perutnya. Lambung bocah kurus itu masih tetap menjerit-jerit histeris. Bagaimanapun, Leon memang belum maka napa-apa sejak kemarin!

Edward terlihat puas dengan penampilan baru Leon. Kini dia tak perlu takut dan jijik lagi untuk bersentuhan dengan anak dari panti asuhan itu.

“Bagus, sekarang kita dapat mulai latihan. Ayo!” kata Edward, tak jelas apakah mengajak atau memerintah. Yang jelas hanyalah sikap dan suaranya yang tetap angkuh seperti biasa.

Sepasang mata Leon langsung berbinar penuh kegembiraan. Bagaimanapun, dia sebenarnya tak menyangka bahwa Edward akhirnya akan benar-benar mengizinkannya berlatih ilmu beladiri bersama.

Leon segera menegakkan punggungnya dengan penuh semangat dan berkata, “Siap, Tuan Muda. Saya berjanji akan berlatih dengan sunguh-sungguh!”

Edward tidak menjawab.

Cucu orang terkaya Morenmor itu hanya memandang sekilas dengan tatapan sinis, lalu beranjak ke tengah aula.

Di sana dia melakukan pemanasan dengan melompat-lompat ringan sambil memutar-mutar kedua tangannya. Beberapa kali, dia terlihat melakukan gerakan meninju dan menendang udara kosong.

Leon mengamati tingkah laku Tuan Muda Keluarga Sanjaya itu sejenak, lalu perlahan-lahan mulai mencoba mengikuti. Terlihat sekali, gerakannya sangat canggung dan kaku.

Edward melirik sekilas, memperhatikan gerakan Leon.

Dia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Bukan begitu caranya. Kemarilah!”

Leon tertegun, tak menyangka bahwa Edward memperhatikannya.

Dia segera menghampiri Edward dengan penuh semangat. Dia berpikir bahwa cucu Kakek Sanjaya itu hendak memberi petunjuk dan memperbaiki gerakannya.

Dia tak tahu bahwa Tuan Muda Keluarga Sanjaya itu sebenarnya menyimpan rencana jahat.

“Mendekatlah, aku akan menunjukkan padamu bagaimana cara memukul dengan benar!” kata Edward sambil tersenyum aneh penuh misteri.

Leon menurut tanpa curiga.

Namun, kepatuhannya justru berbuah bencana.

Edward tiba-tiba meninju perut Leon dengan sangat keras, tepat di ulu hatinya.

Leon langsung jatuh terduduk dan napasnya mendadak terasa sangat sesak.

Tampak sekali bahwa dia amat kesulitan untuk menghirup oksigen, sementara isi di dalam perutnya bergolak hebat mencari jalan keluar.

Bocah kurus itu hampir muntah, tapi tak ada apapun yang dapat dimuntahkannya. Bagaimanapun, perutnya memang belum terisi apa-apa sejak kemarin!

Leon memandang Edward dengan tatapan tak percaya, “Kenpa kamu memukulku?”

Edward menjawab, “Aku hanya ingin menunjukkan cara memukul yang benar, tapi kamunya saja yang terlalu lemah!”

Leon tak bisa berkata apa-apa.

Selain karena pergolakan dalam perutnya yang terasa makin hebat sehingga membuatnya sulit bicara, dia juga berpikir bahwa Edward mungkin memang mengatakan yang sebenarnya.

Bagaimanapun, pada kenyataannya dia memang benar-benar tak mampu menahan pukulan bocah kaya raya itu.

Leon kemudian bangkit perlahan-lahan sambil meringis hampir menangis. Sementara di hadapannya, Edward terlihat bersiap-siap untuk mulai memukul lagi.

“Ayo, kita belum selesai latihan. Jangan cengeng!” bentak Edward tanpa belas kasihan.

Leon tak terima dikatakan cengeng.

Harga dirinya sebagai anak laki-laki langsung melonjak dan membuatnya langsung menantang tanpa berpikir panjang, “Ayo, mari kita lanjutkan!”

Dengan tekad dan ketabahan yang jauh di atas rata-rata, dia kemudian berdiri dengan tegap.

Walaupun perutnya masih terus bergolak dan napasnya masih terasa sesak, dia berusaha untuk bertahan sekuat tenaga. Dia bahkan mengunci mulutnya rapat-rapat supaya tidak mengeluh, apalagi sampai menangis.

Selanjutnya, Edward memukul perut Leon lagi.

Leon tersungkur lagi, kemudian bangkit lagi. Dipukul lagi, lalu jatuh lagi. Bangkit lagi, lalu dipukul lagi.

Begitu terus, hingga akhirnya Edward berhenti sendiri karena kelelahan.

“Sudah, cukup! Besok kita latihan lagi,” ujar Edward seraya beranjak pergi, meninggalkan Leon begitu saja tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Setelah Edward benar-benar tidak terlihat, Leon pun mengembuskan napas lega.

Dia kemudian menjatuhkan diri, duduk meringkuk sambil memegangi perutnya yang lapar dan terasa amat sakit.

Tanpa terasa, kedua sudut matanya mulai mengalirkan butir-butir bening yang meluncur tak terkendali membasahi pipinya.

Tanpa suara, Leon menangis dalam diam.

Keesokan harinya, hal yang sama terulang lagi.

Kemudian berulang lagi pada hari berikutnya, lalu hari berikutnya dan berikutnya lagi. Berulang terus hampir setiap hari, hingga tanpa terasa sudah berlangsung hampir dua tahun!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status