Purnama bulan Kaso baru saja berlalu. Dua orang berusia muda sedang berbincang di atas kudanya melalui jalanan yang berbatu.
Sawah-sawah sudah tidak lagi nampak ditanami, tapi justru sudah mulai nampak menghitam karena sisa-sisa batang padi telah mulai dibakar. Pada masa seperti ini, petani sudah bersiap untuk menanam palawija karena hujan diperkirakan sudah tidak akan banyak lagi yang turun mengairi sawah-sawah mereka.
Dua orang muda itu berkuda menyusuri sawah-sawah yang sebentar lagi akan mengering dengan berlindung dari terik matahari yang membakar kulit di bawah pepohonan yang berjajar di sepanjang jalan. Sepertinya, mereka berdua adalah para Panuran yang baru saja selesai memungut pajak dari desa setempat. Namun, baru saja mereka melewati tikungan yang menuju jalan hutan, mereka dicegat delapan orang bersenjata.
Kedelapan orang bersenjata itu sepertinya adalah perampok yang memang suka mencegat petugas pajak dan merampas pajak negara yang tidak sedikit jumlahnya.
"Berhenti! Serahkan semua harta benda yang kau bawa, atau kami akan membunuhmu!" kata salah seorang perampok yang memiliki perawakan besar.
"Maaf Ki Sanak. Jika kamu mau merampok kami, maka kamu akan dihukum sangat berat karena yang kami bawa bukan harta kami, tetapi harta milik negara," kata salah seorang Panuran.
"Ha...ha....ha, dihukum? Dihukum hanya jika kami tertangkap bukan? Selama mereka tidak tahu, bagaimana kami akan ditangkap dan dihukum?" sahut perampok yang lain sambil tertawa.
"Kalian memang keterlaluan! Jangan mempersulit kami! Jika kalian mau pergi, kami akan memberikan sebuah lontar yang berisi peta sebuah mustika yang hebat dan istimewa. Tapi biarkan kami menyampaikan upeti ini pada Pratyaya," kata Panuran yang satu lagi. Pratayaya adalah sebutan untuk bendahara kerajaan di salah satu wilayah.
"Peta? Mustika? Apa kau pikir kami percaya dengan dongeng bocah semacam itu? Kalaulah ada benda-benda ajaib seperti itu, kami tinggal menariknya dari pepohonan di hutan kami yang angker. Sekarang, berikan saja semua yang kau bawa!" jawab perampok yang memiliki luka melintang di dahinya.
"Tidak! Kami tidak akan menyerahkan pajak ini pada kalian!" sahut kedua Panuran itu
"Wah, kalau begitu, kau mencari mati!" reriak perampok yang lain sambil mengayunkan pedangnya ke kiri dan ke kanan.
Kedua Panuran itu sedikit panik karena kalah jumlah. Namun, mereka pun bukan orang yang tidak siap dengan kondisi seperti itu.
Mereka mulai menghunus kerisnya yang panjang, khas dimiliki para Panuran untuk kondisi semacam ini. Pedang dan keris pun berdentingan dan mengeluarkan bunga api saat bertumbukan. Awalnya, para Panuran masih bisa mengimbangi para perampok itu. Namun kembali lagi karena mereka kalah jumlah, dengan cepat mereka segera tersudut dan dalam posisi berbahaya.
Semua hal itu ternyata tidak luput dari sepasang mata elang yang bergelayut di pepohonan, nampak mengawasi dengan seksama.
Ketika pedang-pedang para perampok itu berhasil menyingkirkan keris para Panuran itu hingga tak bersenjata, maka kelebat bayangan biru melayang lembut turun dari atas pohon. Hanya separo wajahnya yang terlihat dengan kejap mata elangnya yang menakutkan.
Ada parut tipis di pelipis, mungkin hingga pipinya karena tidak terlalu jelas terlihat. Ia mengibaskan jubah birunya, dan menyabetkannya pada salah seorang perampok yang seketika mengerang bersimbah darah. Teman-temannya terkejut karena mereka sama sekali tidak menyangka ada ksatria bermata elang yang menyerang mereka tiba-tiba.
"Perampok kurang ajar!" teriaknya.
"Sanditaraparan!" sorak para Panuran yang tadinya telah terdesak.
Sanditaraparan adalah sebutan bagi pasukan khusus mata-mata Kerajaan Medang. Pekerjaan mereka adalah mengawasi seluruh wilayah Medang dan bilamana perlu disusupkan ke negara lain untuk mendapatkan informasi.
Para perampok yang terkejut itu berbalik mengarahkan pedang mereka pada Sanditaraparan itu sambil berteriak-teriak marah.
"Siapa kau berani sekali ikut campur urusan kami?"
"Benar-benar keterlaluan menyerang dari belakang! Dasar pengecut!"
Semua mengumpat. Ksatria bermata elang itu sepertinya tersenyum dibalik topengnya karena matanya menyipit.
"Aku tidak suka menyebut nama saat bertugas. Namun khusus ketika aku mengeksekusi para perampok, dengan senang hati aku akan berbagi nama supaya kalian tidak mati penasaran dan bisa menyebut namaku dihadapan dewa neraka," Ksatria itu berkata sambil menatap para perampok dengan ajam.
"Namaku Jentra Kenanga, abdi Setia Pangeran Balaputeradewa dan hamba sahaya dari tuanku Maharaja Rakai Garung," lanjut ksatria itu.
Para Panuran itu tampak terkejut dan saling berpandangan. Sementara para perampok segera menyerang Jentra Kenanga dengan pedang mereka.
Perampok pertama langsung menusukan pedangnya ke arah rusuk Jentra, namun dengan mudah dihindari Jentra dengan menggunakan gerakan memutar yang indah. Jentra bahkan tidak perlu membuat gerakan yang rumit untuk menangkap kain pembebat perut si perampok dari belakang punggungnya, kemudian memelintir tangannya. Ia merobek lehernya dan melemparkan mayatnya ke tubuh mereka.
Semua dilakukan Jentra dengan tatapan yang sangat dingin membekukan. Tanpa memberikan waktu pada para perampok itu untuk berkelit atau lari, ia menangkap kedua orang yang terdekat dengannya. Membenturkan kepala mereka, dan memutar lehernya sehingga keretak leher yang patah terdengar oleh yang lain.
KKkkrrraratttakk!
Suaranya begitu keras dan membuat siapapun yang mendengarnya merasa ngilu. Para perampok yang tersisa berusaha lari. Jentra membiarkannya hingga beberapa saat, kemudian ia mengucapkan semacam mantra sehingga dari telapak tangannya keluar sebuah jentera erwarna biru lembut, memancarkan cahaya yang cukup terang dan mengeluarkan asap berwarna biru pekat.
Jentra kemudian melepaskan jentera sakti itu ke arah para perampok yang lari. Jentera itu mengejar mereka satu persatu dan menyemprotkan asap ke arah salah satu perampok yang terdekat. Sesaat, mereka merasa tercekat dan tak lama segera menyusul kawannya ke surga Yama.
Sementara yang lainnya digiring jentera itu ke tepi batang pohon sehingga tidak mampu lari lagi. Jentera itu kemudian seperti mengembung besar, lalu mengempis dengan mengeluarkan jarum beracun yang menusuk wajah perampok-perampok itu disambut teriakan.
"Arrrggghhh! Sakiiiiitt!" teriaknya dan menggelepar tak bernyawa dengan wajah membiru.
Semua perampok itu mengalami kematian yang mengerikan tanpa Jentra banyak berbuat apa-apa selain membaca mantra dan mengendalikan jentera saktinya. Setelah selesai menjalankan tugasnya, jentera itupun kembali masuk ke tubuh Jentra Kenanga.
Para Panuran masih terheran dengan kesaktian Panglima Sanditaraparan yang terkenal itu, segera berlutut di hadapan Jentra.
"Terima kasih, Tuan. Saya sungguh tidak bisa mengatakan betapa saya bersyukur Tuan menyelamatkan kami. Saya sering mendengar kehebatan Tuan, tapi hari ini, saya sungguh tidak menduga bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri," kata Salah seorang Panuran sambil bersujud di hadapan Jentra.
"Ah, bangunlah Ki Sanak. Itu memang sudah tugasku. Kau sendiri memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk memastikan pajak-pajak itu sampai kepada Pratyaya. Pajak itu akan digunakan untuk menolong rakyat juga, maka kita sebagai abdi negara harus saling menjaga amanat Sang Maharaja," jawab Jentra.
"Iya, Tuan Jentra. Tetapi tanpa bantuan Anda, kami sungguh tidak bisa menjalankan tugas kami dengan baik. Apalagi di masa paceklik seperti ini. Sebagian tanah terutama perdikan Walaing sudah tidak mendapatkan hujan, itu artinya kami juga tidak bisa semena-mena menarik pajak dari rakyat. Jika pajak yang sudah sedikit ini masih dirampok juga, maka rakyat juga yang akan menjadi korbannya." Kata Panuran yang lain
"Kau benar. Kewu Selatan-Timur sudah mulai kesulitan air. Sedangkan Kewu Utara masih hujan besar dan banyak wilayah yang banjir. Hal ini sering dimanfaatkan para perampok untuk mengambil kesempatan di dalam penderitaan orang lain. Tapi aku berharap kalian bisa mengatasi ini semua."
"Terima kasih, Tuan. Sekali lagi dengan ketulusan, kami ingin memberikan peta lontar yang kami dapatkan dari seorang brahmana dari Wanua Song di wilayah Walaing. Katanya peta ini menunjukan tempat Mustika Sakti di wilayah kerajaan Kanjuruhan. Mungkin, kelak peta ini akan berguna untuk Tuan. Kami mohon diri, Tuan," kata Panuran tersebut.
Jentra Kenanga menerima lontar itu dengan pertanyaan di dalam hati. Apakah masih ada orang yang begitu ingin mendapatkan benda-benda pusaka sakti seperti jenteranya? Dan apa manfaat dari mustika ini untuknya jika ia toh akhirnya harus mencarinya?
Namun karena menghargai para Panuran itu, ia menerima lontar itu dan mengucapkan banyak terima kasih.
Jentra melanjutkan perjalanannya menuju Kedu di utara. Namun, ia harus melalui banyak sekali rintangan. Dari binatang buas yang mengganggu, badai pancaroba yang menghancurkan pepohonan, dan wanua-wanua yang kurang bersahabat terutama wanua atau watak yang dikuasai oleh Rakyan atau rama berwangsa Sanjaya. Namun, Jentra tetap harus menjalankan misinya untuk mengetahui wanua-wanua mana yang memang memiliki potensi melakukan pemberontakan.Selama masa perjalanan itu, ia merasa dibuntuti seseorang. Ia memang berpura-pura tidak tahu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang membuntutinya.Sampai suatu malam, Jentra sengaja beristirahat di bawah pohon supaya penguntitnya mendekat. Ia sengaja tidak menambahkan kayu api dan pura-pura tertidur. Tidak berapa lama telinganya mendengar orang berbisik lirih."Apakah dia sudah tertidur?"Dari pendengaran Jentra. Penguntitnya adalah wanita dan tidak hanya satu orang, namun beberapa orang, tanpa Jentra bisa memastikannya."Sepertinya sudah,
Jentra baru sadar keesokan paginya. Ia berusaha mengingat semua yang terjadi, namun semuanya samar-samar.Akhirnya, Jentra berkemas untuk kembali ke Kedu dan memberikan laporan kepada Sri Maharaja Rakai Garung atas apa yang ditemukan dan dilihatnya. Namun, sesampainya di Sima Deruk, ia dihadang banjir bandang yang begitu besarnya.Hujan deras sudah hampir lima hari mengguyur Sima Deruk. Air Sungai Banjaran mulai meninggi karena terus menerus menerima curahan air langit yang tak kunjung berhenti."Emaaak! Bapaaak!"Jentra mendengar suara teriakan keras seorang anak di antara derasnya air banjir. Ia pun mengedarkan pandangan, lalu bertemu sosok yang terombang-ambing di atas sebuah rakit. Tubuh kecilnya mencoba melintas air yang semakin deras. Beberapa kali ia menghindari terjangan ranting besar dan kayu yang hanyut. Ia mencoba mencapai kebun pisang yang tidak jauh jaraknya dari rumahnya. Ia mendayung rakit dengan tangan kecilnya."Emaaakk! Bapaakk!!" teriakannya begitu menyayat hati. N
Jentra...Jentra!" Teriak Pangeran Balaputradewa dari dalam ruang pemujaan. Seorang abdi tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari dalam dan segera bersujud di depan pintu bangunan besar tempat biasanya para bangsawan bersemadi. "Maaf Pangeran. Tuan muda Jentra belum kembali." Jawabnya sambil menghaturkan sembah. Pangeran Balaputradewapun membuka pintu utama balai semadi. "Belum pulang? Ke mana saja dia? Aku sangat ingin berlatih ilmu sapu angin yang baru saja kupelajari." Katanya."Benar Pangeran. Tuan muda Jentra belum pulang dari tugas yang diperintahkan Yang Mulia Sri Maharaja Rakai Garung untuk menyelidiki perdikan-perdikan yang dikuasai oleh wangsa Sanjaya."Jawab abdi balai semadi. "Hhhmm....sayang sekali. Padahal aku sangat ingin berlatih ilmu ini untuk menghadapi ilmu Danurwenda dan Astra Kenanga miliknya."Kata Pangeran Balaputradewa."Astra Kenanga? Apakah tidak terlalu berbahaya bermain dengan ilmu itu Mahamentri I Halu?" Tanya Wiku Wirathu, penasehat Sang Maharaja Rakai Gar
Keinginan Pangeran muda wangsa Syailendra Balaputradewa untuk medapatkan benda pusaka nampaknya telah tercium oleh telik sandi baik dari kerajaan Pengging maupun oleh wangsa Sanjaya. Sehingga desas-desus mulai menyebar tidak hanya di kalangan kecil para bangsawan namun juga pendekar-pendekar jagad persilatan. Tidak terkecuali putra-putra para Rakai penguasa perdikan juga mulai memburu benda pusaka yang dimaksud yaitu Mustika Udarati. "Kau yakin kalau pangeran muda wangsa Syailendra itu akan naik ke puncak Udarati?"Tanya Cayapata salah seorang anggota Sandidharmayuga dari kerajaan Pengging atau satuan khusus mata-mata kerajaan. "Benar, Kakang Cayapata. Aku mendengar dari sumber yang bisa dipercaya. Konon pangeran muda ini ingin menjadi Mahamentri I Hino (Putra Mahkota) karena Maharaja belum berputra. Oleh karena itu dia mencari Mustika Udarati yang konon dapat menarik energi mahkota sehingga siapapun yang memilikinya akan dapat menjadi Raja besar. Seorang Chakrawartin (Raja di raja, p
Jentra Kenanga menjatuhkan tubuhnya ke kasur yang empuk. Ia sangat lelah setelah perjalanan selama berhari-hari untuk mengikuti pergerakan orang-orang Sanjaya. Namun saat matanya hendak terpejam pikirannya melayang pada benda yang ada di dalam tubuhnya. Ia kemudian mengambil posisi bersila, setelah konsentrasi mendalam sebuah Jentera biru keluar dari telapak tangannya. Benda itu berpendar indah memancarkan warna biru muda yang lembut. Perlahan ia menggiring Jentera itu masuk ke dalam sebuah kotak terbuat dari kayu yang dilapisi ukiran dari emas. Ia menutup kotak itu perlahan, menciumnya dan memasukannya pada almari yang terkunci rapat.Ia kemudian melangkah kembali ke tempat tidurnya. Ia berpikir mengenai Rukma yang diselamatkannya dari banjir. Hal yang sama pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saat ia menyelamatkan seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun bernama BIru. Penyelamatan itu berakhir sangat tragis baginya dan keluarganya, namun juga menjadi berkah berharga pada hid
Jentra akhirnya meninggalkan Candrakanti dengan perasaan berat. Apalagi Candrakanti tidak hanya memberikan bekal makanan dan obat-obatan yang bisa dipakai Jentra namun juga uang emas yang berharga. Sebenarnya Jentra bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Candrakanti ini? Apakah keluarganya, orang yang sangat kaya? Apakah karena ini pula Candrakanti takut membawanya pulang ke keluarganya?Jentra mencoba menepis semua bayangannya tentang Candrakanti.Ia terus melangkah hingga kakinya terhenti di sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun besar dan terurus dengan baik. Tak salah lagi ini adalah Kadewaguruan yang selama ini menjadi impian Jentra untuk bisa berguru.Perlahan ia mengucapkan salam. Seorang pembantu pendeta muncul dan menanyakan keperluannya. Jentra menyatakan keinginannya bertemu dengan kepala pendeta. Pembantu pendeta itupun mempersilahkannya menunggu di ruang khusus untuk tamu. Dari tempat Jentra menunggu, ia bisa melihat Kepala pendeta sedang menerima tamu pemuda-pemuda
Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum.
Jentra menggeliat, perlahan kesadarannya mulai pulih. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia memandang ke sekeliling namun semua terlihat gelap kecuali nyala api kecil dari lilin lebah yang tergeletak diatas meja pendek."Dimanakah aku?" Begitu pertanyaannya dalam hati.Jentra mencoba mengingat kejadian sepanjang hari sebelum dirinya terjebak di dalam ruang gelap ini. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara teriakan yang keras dari banyak orang."Hah!""Ho...!""Renggangkan kaki. Buat pijakan yang kuat!""Pasang kuda-kuda yang benar!"Teriakan itu seperti teriakan orang yang sedang berlatih kanuragan. Dengan kepala yang masih terasa pusing, Jentra mengintip dari daun jendela yang rupanya tidak terkunci. Dari dalam ia melihat puluhan orang berbaris bersap-sap dan membentuk kuda-kuda.Semuanya nampak masih seumurnya. Sap pertama dan kedua diisi para biksu muda dengan celana warna oranye terang tanpa baju dan jubah. Sementara sap ketiga hingga enam berisi anak-anak muda dengan celana tanggung berw