Share

JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI
JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI
Author: Alexa Ayang

KSATRIA BERMATA ELANG

Purnama bulan Kaso baru saja berlalu. Dua orang berusia muda sedang berbincang di atas kudanya melalui jalanan yang berbatu.

Sawah-sawah sudah tidak lagi nampak ditanami, tapi justru sudah mulai nampak menghitam karena sisa-sisa batang padi telah mulai dibakar. Pada masa seperti ini, petani sudah bersiap untuk menanam palawija karena hujan diperkirakan sudah tidak akan banyak lagi yang turun mengairi sawah-sawah mereka.

Dua orang muda itu berkuda menyusuri sawah-sawah yang sebentar lagi akan mengering  dengan berlindung dari terik matahari yang membakar kulit di bawah pepohonan yang berjajar di sepanjang jalan. Sepertinya, mereka berdua adalah para Panuran yang baru saja selesai memungut pajak dari desa setempat. Namun, baru saja mereka melewati tikungan yang menuju jalan hutan, mereka dicegat delapan orang bersenjata.

Kedelapan orang bersenjata itu sepertinya adalah perampok yang memang suka mencegat petugas pajak dan  merampas pajak negara yang tidak sedikit jumlahnya.

"Berhenti! Serahkan semua harta benda yang kau bawa, atau kami akan membunuhmu!" kata salah seorang perampok yang memiliki perawakan besar.

"Maaf Ki Sanak. Jika kamu mau merampok kami, maka kamu akan dihukum sangat berat karena yang kami bawa bukan harta kami, tetapi harta milik negara," kata salah seorang Panuran.

"Ha...ha....ha, dihukum? Dihukum hanya jika kami tertangkap bukan? Selama mereka tidak tahu, bagaimana kami akan ditangkap dan dihukum?" sahut perampok yang lain sambil tertawa.

"Kalian memang keterlaluan! Jangan mempersulit kami! Jika kalian mau pergi, kami akan memberikan sebuah lontar yang berisi peta sebuah mustika yang hebat dan istimewa. Tapi biarkan kami menyampaikan upeti ini pada Pratyaya," kata Panuran yang satu lagi. Pratayaya adalah sebutan untuk bendahara kerajaan di salah satu wilayah.

"Peta? Mustika? Apa kau pikir kami percaya dengan dongeng bocah semacam itu? Kalaulah ada benda-benda ajaib seperti itu, kami tinggal menariknya dari pepohonan di hutan kami yang angker. Sekarang, berikan saja semua yang kau bawa!" jawab perampok yang memiliki luka melintang di dahinya.

"Tidak! Kami tidak akan menyerahkan pajak ini pada kalian!" sahut kedua Panuran itu

"Wah, kalau begitu, kau mencari mati!" reriak perampok yang lain sambil mengayunkan pedangnya ke kiri dan ke kanan.

Kedua Panuran itu sedikit panik karena kalah jumlah. Namun, mereka pun bukan orang yang tidak siap dengan kondisi seperti itu.

Mereka mulai menghunus kerisnya yang panjang, khas dimiliki para Panuran untuk kondisi semacam ini.  Pedang dan keris pun berdentingan dan mengeluarkan bunga api saat bertumbukan. Awalnya, para Panuran masih bisa mengimbangi para perampok itu. Namun kembali lagi karena mereka kalah jumlah, dengan cepat mereka segera tersudut dan dalam posisi berbahaya.

Semua hal itu ternyata tidak luput dari sepasang mata elang yang bergelayut di pepohonan, nampak mengawasi dengan seksama.

Ketika pedang-pedang para perampok itu berhasil menyingkirkan keris para Panuran itu hingga tak bersenjata, maka kelebat bayangan biru melayang lembut turun dari atas pohon. Hanya separo wajahnya yang terlihat dengan kejap mata elangnya yang menakutkan.

Ada parut tipis di pelipis, mungkin hingga pipinya karena tidak terlalu jelas terlihat. Ia mengibaskan jubah birunya, dan menyabetkannya pada salah seorang perampok yang seketika mengerang bersimbah darah. Teman-temannya terkejut karena mereka sama sekali tidak menyangka ada ksatria bermata elang yang menyerang mereka tiba-tiba.

"Perampok kurang ajar!" teriaknya.

"Sanditaraparan!" sorak para Panuran yang tadinya telah terdesak.

Sanditaraparan adalah sebutan bagi pasukan khusus mata-mata Kerajaan Medang. Pekerjaan mereka adalah mengawasi seluruh wilayah Medang dan bilamana perlu disusupkan ke negara lain untuk mendapatkan informasi.

Para perampok yang terkejut itu berbalik mengarahkan pedang mereka pada Sanditaraparan itu sambil berteriak-teriak marah.

"Siapa kau berani sekali ikut campur urusan kami?"

"Benar-benar keterlaluan menyerang dari belakang! Dasar pengecut!"

Semua mengumpat. Ksatria bermata elang itu sepertinya tersenyum dibalik topengnya karena matanya menyipit.

"Aku tidak suka menyebut nama saat bertugas. Namun khusus ketika aku mengeksekusi para perampok, dengan senang hati aku akan berbagi nama supaya kalian tidak mati penasaran dan bisa menyebut namaku dihadapan dewa neraka," Ksatria itu berkata sambil menatap para perampok dengan ajam.

"Namaku Jentra Kenanga, abdi Setia Pangeran Balaputeradewa dan hamba sahaya dari tuanku Maharaja Rakai Garung," lanjut ksatria itu.

Para Panuran itu tampak terkejut dan saling berpandangan. Sementara para perampok segera menyerang Jentra Kenanga dengan pedang mereka.

Perampok pertama langsung menusukan pedangnya ke arah rusuk Jentra, namun dengan mudah dihindari Jentra dengan menggunakan gerakan memutar yang indah. Jentra bahkan tidak perlu membuat gerakan yang rumit untuk menangkap kain pembebat perut si perampok dari belakang punggungnya, kemudian memelintir tangannya. Ia merobek lehernya dan melemparkan mayatnya ke tubuh mereka.

Semua dilakukan Jentra dengan tatapan yang sangat dingin membekukan. Tanpa memberikan waktu pada para perampok itu untuk berkelit atau lari, ia menangkap kedua orang yang terdekat dengannya. Membenturkan kepala mereka, dan memutar lehernya sehingga keretak leher yang patah terdengar oleh yang lain.

KKkkrrraratttakk!

Suaranya begitu keras dan membuat siapapun yang mendengarnya merasa ngilu.  Para perampok yang tersisa berusaha lari. Jentra membiarkannya hingga beberapa saat, kemudian ia mengucapkan semacam mantra sehingga dari telapak tangannya keluar sebuah jentera erwarna biru lembut, memancarkan cahaya yang cukup terang dan mengeluarkan asap berwarna biru pekat. 

Jentra kemudian melepaskan jentera sakti itu ke arah para perampok yang lari. Jentera itu mengejar mereka satu persatu dan menyemprotkan asap ke arah salah satu perampok yang terdekat. Sesaat, mereka merasa tercekat dan tak lama segera menyusul kawannya ke surga Yama.

Sementara yang lainnya digiring jentera itu ke tepi batang pohon sehingga tidak mampu lari lagi. Jentera itu kemudian seperti mengembung besar, lalu mengempis dengan mengeluarkan jarum beracun yang menusuk wajah perampok-perampok itu disambut teriakan.

"Arrrggghhh! Sakiiiiitt!" teriaknya dan menggelepar tak bernyawa dengan wajah membiru.

Semua perampok itu mengalami kematian yang mengerikan tanpa Jentra banyak berbuat apa-apa selain membaca mantra dan mengendalikan jentera saktinya. Setelah selesai menjalankan tugasnya, jentera itupun kembali masuk ke tubuh Jentra Kenanga.

Para Panuran  masih terheran dengan kesaktian Panglima Sanditaraparan yang terkenal itu, segera berlutut di hadapan Jentra.

"Terima kasih, Tuan. Saya sungguh tidak bisa mengatakan betapa saya bersyukur Tuan menyelamatkan kami. Saya sering mendengar kehebatan Tuan, tapi hari ini, saya sungguh tidak menduga bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri," kata Salah seorang Panuran sambil bersujud di hadapan Jentra.

"Ah, bangunlah Ki Sanak. Itu memang sudah tugasku. Kau sendiri memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk memastikan pajak-pajak itu sampai kepada Pratyaya. Pajak itu akan digunakan untuk menolong rakyat juga, maka kita sebagai abdi negara harus saling menjaga amanat Sang Maharaja," jawab Jentra.

"Iya, Tuan Jentra. Tetapi tanpa bantuan Anda, kami sungguh tidak bisa menjalankan tugas kami dengan baik. Apalagi di masa paceklik seperti ini. Sebagian tanah terutama perdikan Walaing sudah tidak mendapatkan hujan, itu artinya kami juga tidak bisa semena-mena menarik pajak dari rakyat. Jika pajak yang sudah sedikit ini masih dirampok juga, maka rakyat juga yang akan menjadi korbannya." Kata Panuran yang lain

"Kau benar. Kewu Selatan-Timur sudah mulai kesulitan air. Sedangkan Kewu Utara masih hujan besar dan banyak wilayah yang banjir. Hal ini sering dimanfaatkan para perampok untuk mengambil kesempatan di dalam penderitaan orang lain. Tapi aku berharap kalian bisa mengatasi ini semua." 

"Terima kasih, Tuan. Sekali lagi dengan ketulusan, kami ingin memberikan peta lontar yang kami dapatkan dari seorang brahmana dari Wanua Song di wilayah Walaing. Katanya peta ini menunjukan tempat Mustika Sakti di wilayah kerajaan Kanjuruhan. Mungkin, kelak peta ini akan berguna untuk Tuan. Kami mohon diri, Tuan," kata Panuran tersebut.

Jentra Kenanga menerima lontar itu dengan pertanyaan di dalam hati. Apakah masih ada orang yang begitu ingin mendapatkan benda-benda pusaka sakti seperti jenteranya? Dan apa manfaat dari mustika ini untuknya jika ia toh akhirnya harus mencarinya?

Namun karena menghargai para Panuran itu, ia menerima lontar itu dan mengucapkan banyak terima kasih.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wawan Ayla
ceritanya bagus dan sangat seru.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status