Jentra...Jentra!" Teriak Pangeran Balaputradewa dari dalam ruang pemujaan.
Seorang abdi tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari dalam dan segera bersujud di depan pintu bangunan besar tempat biasanya para bangsawan bersemadi. "Maaf Pangeran. Tuan muda Jentra belum kembali." Jawabnya sambil menghaturkan sembah. Pangeran Balaputradewapun membuka pintu utama balai semadi. "Belum pulang? Ke mana saja dia? Aku sangat ingin berlatih ilmu sapu angin yang baru saja kupelajari." Katanya. "Benar Pangeran. Tuan muda Jentra belum pulang dari tugas yang diperintahkan Yang Mulia Sri Maharaja Rakai Garung untuk menyelidiki perdikan-perdikan yang dikuasai oleh wangsa Sanjaya."Jawab abdi balai semadi. "Hhhmm....sayang sekali. Padahal aku sangat ingin berlatih ilmu ini untuk menghadapi ilmu Danurwenda dan Astra Kenanga miliknya."Kata Pangeran Balaputradewa. "Astra Kenanga? Apakah tidak terlalu berbahaya bermain dengan ilmu itu Mahamentri I Halu?" Tanya Wiku Wirathu, penasehat Sang Maharaja Rakai Garung. "Ah, guru Wirathu."Sambut Pangeran Balaputradewa memberi hormat. "Saya sangat penasaran dengan kemajuan Jentra mengembangkan kekuataan kanuragannya, Guru. Maka saat saya berhasil menguasai tapak sapu angin dan Balasraya dari Wiku Sosadara, saya tak sabar ingin mencobanya." Lanjut Balaputradewa. Wiku Wirathu tersenyum. Pangeran muda yang bergelar Mahamentri I Halu ini begitu bersemangat untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilannya di dalam latihan energi spiritual dan bela diri. Namun karena usianya yang begitu muda, kematangannya dalam mengendalikan diri masih sangat kurang. Wiku Wirathu lalu merangkul Pangeran muda itu. "Nakmas, gelar sebagai Mahamentri I Halu bukanlah hanya gelar yang tersemat. Paduka harus sangat hati-hati. Terutama jika hal itu menyangkut keselamatan dan keamanan paduka. Jentra memang beruntung mendapatkan Jentara sakti saat bermeditasi di puncak Sadara (sekarang Gunung Sindoro). Jentara itulah yang memperkuat ilmu kanuragannya disamping memberikannya kemampuan untuk menyerap ilmu orang lain tanpa harus mempelajarinya." Kata Sang Wiku. "Apakah saya dapat memiliki Jentara seperti itu guru?" Tanya Pangeran balaputradewa "Bisa saja jika tuanku mau seperti Jentra mencari dan bermeditasi di tempat-tempat sunyi yang penuh dengan energi. Namun sebagai Mahamentri I Halu, paduka punya kewajiban yang harus diselesaikan dan tidak boleh terlalu memikirkan kepentingan pribadi." jawab Sang Wiku "Tapi....bukankah dengan kemampuan yang lebih hebat, saya akan mampu melakukan tugas negara dengan baik?" Balaputradewa mencoba menyanggah gurunya. "Tentu saja. Hanya bagaimana meraih kedua hal itu tanpa adanya tumbukan kepentingan?"Tanya Wiku Wirathu kembali bertanya. Pangeran Balaputradewa mengernyitkan dahinya dan memainkan bibirnya tanda ia berpikir keras. Wiku Wirathu akhirnya luluh melihat kesungguhan dan semangat Pangeran muda itu. "Baiklah kalau kau memaksa, Nakmas. Saya akan sampaikan keinginanmu pada Yang Mulia. Kalau Beliau mengijinkan maka kau boleh pergi mencari benda yang kau inginkan itu. Tetapi benda itu belum tentu berwujud Jentera seperti milik Jentra." Jawab Wiku Wirathu. "Terima kasih guru." Katanya sambil tersenyum bahagia. "Sama-sama nakmas. Nanti apabila Yang Mulia mengijinkan. Pergilah ke gunung Udarati (Gunung Arjuna saat ini), carilah vihara di dekat air terjun tertinggi di tempat itu. Bertemulah dengan Wiku Dharmasana dan sampaikanlah keinginan paduka." Jawab Wiku Wirathu. Pangeran Balaputradewa menatap Wiku Wirathu dengan wajah penuh harapan dan binar tajam matanya menunjukan kesungguhannya meskipun ada sebersit rasa ragu dihatinya mengenai ijin dari Maharaja yang merupakan kakak iparnya. Wiku Wirathu tersenyum dan memohon diri untuk bermeditasi di ruang pemujaan. Balaputradewa-pun memberikan hormat pada gurunya itu. Saat pintu tertutup, Pangeran Balaputradewa mendengar langkah kaki dibelakangnya dengan wangi bunga Kenanga. "Jentra..!" Teriaknya bahagia. Jentra Kenanga dan Rukma langsung bersujud dihadapan Pangeran muda itu. Balaputradewa menatap keduanya dengan raut wajah yang sedikit curiga. Tidak biasanya Jentra membawa seseorang pulang kecuali orang itu tawanan atau musuh negara. Namun mengapa ia membawa anak yang sepertinya belum genap sepuluh tahun usianya. "Salam hormat tuanku Mahamentri I Halu." Sapa Jentra dengan menyembah ke hadapan Pangeran muda yang tampan itu. Matanya terus menunduk ke lantai membuat hati Rukma terasa ciut. Belum pernah ia memasuki tempat semegah dan semewah itu. Ia juga belum pernah melihat para pangeran dan putri yang memiliki paras yang elok, tampan, bersih dan bercahaya. Ia hanya membayangkan, mungkin inilah gambaran nirwana itu. Penuh makhluk yang indah dan menakjubkan. "Saya dengar, Gusti mencari saya?" Tanya Jentra "Benar. Apakah tugasmu untuk Yang Mulia sudah kau selesaikan?" Tanya Pangeran muda itu. "Sudah Gusti. Saya juga sudah melapor." Jawab Jentra hormat. Pangeran Balaputradewa nampak berjalan mengelilingi mereka sambil menatap anak yang dibawa Jentra. "Siapa yang kau bawa, Jentra?"Tanya Pangeran itu lagi "Dia yatim piatu yang saya temukan saat perjalanan pulang, tuanku. Saya ingin mendidiknya menjadi prajurit sandi. Usianya cukup untuk dididik dan kelak saat ia lebih dewasa, ia akan berguna memperkuat pasukan khusus kita."Jawab Jentra. Pangeran Balaputradewa tersenyum, kemudian melirik pada Rukma. Rukma merasa tidak nyaman namun ia hanya mengikuti kata Jentra sebelum tiba di tempat itu bahwa jika tidak ditanya ia tidak boleh berkata apa-apa. "Anak yang cukup kuat dan besar untuk seumurnya. Siapa namamu?"Tanya Pangeran Balaputradewa. "Saya Rukma, Gusti." Jawabnya menirukan Jentra. "Nama yang bagus. Baiklah Jentra. Karena kau baru kembali dan pasti lelah sekali. Mungkin lain kali saja aku berlatih denganmu. Sekarang istirahatlah. Kau boleh bawa anak ini tinggal bersamamu. Nanti aku akan berikan beberapa potong pakaian yang cocok untuknya dan kukirimkan ke tempatmu. Sekarang pergi dan istirahatlah dulu. Dua hari lagi temui aku di tempat ini." Kata Pangeran Balaputradewa. "Siap Gusti!"Jawab Jentra sambil memberikan tanda pada Rukma agar berterima kasih. Rukmapun menyembah junjungan Jentra sambil berterima kasih lalu keduanya undur diri. Dalam perjalanan menuju tempat tinggal Jentra, Rukma memberanikan diri bertanya. "Kakang Jentra, siapakah pria yang bertemu kita tadi?" Tanyanya lugu dan sedikit takut. Jentra tersenyum. "Dia adalah Mahamentri I Halu Pangeran Balaputradewa." Jawab Jentra. "Apa itu Mahamentri I Halu?" Tanya Rukma "Agak rumit menjelaskannya. Namun di bawah Maharaja ada beberapa pejabat yang disebut Rakyan Mahamentri. Mereka semua keluarga atau putra raja dan karena Pangeran Balaputradewa adalah adik dari permaisuri Maharaja maka ia bergelar, Rakyan mahamentri I Halu." Jawab Jentra. Rukma tiba-tiba pucat wajahnya. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan orang nomer dua di kalangan istana. Bagai melihat Dewa yang begitu agung. Pantas saja jika ia mengira mereka bukanlah orang-orang dunia namun dewa-dewi yang menjelma. Jentra tertawa melihat ekspresi wajah Rukma. "Jangan kaget begitu, ah. Kau nanti juga akan lebih sering melihat mereka. Yang terpenting, Pangeran telah menyetujui aku untuk mendidikmu menjadi prajurit sandi. Kau tahu artinya?" Tanya Jentra. Rukma menggeleng. "Mulai saat ini dan seterusnya, hidupmu adalah milik kerajaan Medang. Kau akan menjadi bagian dari angkatan perang Medang dan akan dilatih dengan keras. Kau bukan lagi anak petani yang akan berladang. Kau adalah bagian dari prajurit Medang kelak. Dadu telah dilemparkan maka kau tak bisa menariknya kembali. Mengerti?" Tanya Jentra. Rukma mengangguk. Meskipun hatinya sedih karena harus kehilangan semuanya, ia menatap masa depan dimana nasib telah digulirkan dengan cara berbeda. Ia hanya mengikuti permainan takdir seperti angka-angka dadu yang tak tahu nantinya akan berhenti dimana. Keduanya kemudian memacu kudanya ke arah barat ibukota Medang di Poh Pitu dataran Kedu.Fajar merekah di ufuk timur, menyinari tanah Medang dengan sinar keemasan yang lembut. Angin pagi berhembus perlahan, seakan ikut merasakan beban yang menggantung di hati mereka yang berkumpul di halaman istana. Hari ini adalah hari perpisahan, dan tak ada yang bisa menghindari kepedihannya.Di gerbang utama, rombongan kecil telah siap berangkat menuju pelabuhan. Pangeran Balaputeradewa berdiri gagah dengan jubah perjalanannya, sementara di sisinya, Ganika menggenggam tangan anak-anak mereka erat, seolah tak ingin kehilangan satu detik pun bersama mereka. Jentra dan Candrakanti berdiri sedikit di belakang, mata mereka dipenuhi emosi yang tak terucapkan. Amasu dan Wiku Sasodara juga telah bersiap, wajah mereka menyiratkan keteguhan untuk menemani perjalanan menuju Swarnabhumi.Namun di antara mereka, ada satu sosok yang memilih tetap tinggal—Rukma.Ia berdiri tegak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan perasaan yang mendesak keluar. Di sampingnya, Gaurika, istrinya, me
Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk me
Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul
"Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi
Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene
Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b