Jentra baru sadar keesokan paginya. Ia berusaha mengingat semua yang terjadi, namun semuanya samar-samar.
Akhirnya, Jentra berkemas untuk kembali ke Kedu dan memberikan laporan kepada Sri Maharaja Rakai Garung atas apa yang ditemukan dan dilihatnya. Namun, sesampainya di Sima Deruk, ia dihadang banjir bandang yang begitu besarnya.
Hujan deras sudah hampir lima hari mengguyur Sima Deruk. Air Sungai Banjaran mulai meninggi karena terus menerus menerima curahan air langit yang tak kunjung berhenti.
"Emaaak! Bapaaak!"
Jentra mendengar suara teriakan keras seorang anak di antara derasnya air banjir. Ia pun mengedarkan pandangan, lalu bertemu sosok yang terombang-ambing di atas sebuah rakit.
Tubuh kecilnya mencoba melintas air yang semakin deras. Beberapa kali ia menghindari terjangan ranting besar dan kayu yang hanyut. Ia mencoba mencapai kebun pisang yang tidak jauh jaraknya dari rumahnya. Ia mendayung rakit dengan tangan kecilnya.
"Emaaakk! Bapaakk!!" teriakannya begitu menyayat hati. Namun tak terdengar jawaban apapun.
"Emaaakk! Bapaaak!!"
Kembali ia memompa suaranya dengan seluruh udara di paru-parunya, bersamaan dengan datangnya arus sungai Banjaran. Anak itu gelagapan. Tubuhnya timbul tenggelam dipermainkan oleh arus sungai. Sejenak, kesadarannya memudar, dan pada saat itulah Jentra turun sebagai bayangan biru melayang di antara pepohonan.
Dengan sigap, Jentra mengeluarkan energi cakranya untuk mengendalikan aliran air yang deras. Seketika, air terbelah dan tubuh kecil anak itu nampak teronggok di tanah basah.
Jentra mendorong keras energi di tangannya sehingga air menghantar tubuh anak itu ke pelukannya. Ia kemudian meloncat dengan ringan ke tepian sungai. Ia segera menepuk-nepuk punggung kecil anak itu, sampai akhirnya memuntahkan air beberapa kali. Ia mengatur napas dan kembali terbatuk.
Hujan telah berhanti dan ia menyadari bahwa ia berada di tanah yang kering.
"Apa kau sudah gila? Terjun ke dalam sungai yang tengah mengamuk seperti itu?" tanya Jentra dingin namun penuh wibawa.
"Siapakah anda, Tuan?" tanya anak itu ketakutan.
Jentra hanya memberikan sepotong kain berwarna soga dengan batikan yang halus kepadanya. "Pakai itu biar kau tak mati kedinginan. Susah-susah aku mengambilmu dari air kalau akhirnya nyawamu tak dapat ditolong juga, sia-sia seluruh tenagaku."
"Terima kasih, Tuan!"
Jentra hanya mengangguk. Anak itu tidak bisa memandang wajah Jentra meskipun malam itu, nyala api unggun begitu terang.
"Ini ada ubi dan sedikit daging. Kau pasti lapar. Makanlah," kata Jentra sambil menyodorkan makanan yang baru saja dipanggangnya kepada anak itu.
Ia pun menerima dengan tangannya yang masih gemetar dan kisut karena air yang dingin.
"Makanlah pelan-pelan. Kau pasti sudah beberapa hari tidak makan bukan?" tanyanya lagi, dan dibalas dengan anggukan.
"Seharusnya untuk kondisi seperti itu, kau makan bubur atau ubi tumbuk. Namun karena aku tidak membawa cukup bekal, makanlah yang ada dulu. Dan minumlah air jahe yang kubuat untukmu agar kau lebih hangat," lanjutnya lagi. Kali ini dengan nada yang lebih lunak.
"Terima kasih banyak, Tuan. Tuan sangat baik," jawab sang anak.
"Siapa namamu?" tanya Jentra.
"Saya Rukma, Tuan. Saya anak dari sima Deruk. Saya tadi mencoba menyelamatkan orang tua saya di dalam rumah di sana," jawab sang anak terbata-bata.
Rukma, anak berusia dua belas tahun yang tidak mengetahui bagaimana nasib orang tuanya di sana. Namun, Rukma sendiri dalam hati bertanya-tanya mengapa orang ini menyelamatkannya? Rukma hanya menduga-duga jika orang ini adalah bangsawan yang baik hati. Rukma juga menaksir bahwa usianya pasti tidak lebih dari tujuh belas atau delapan belas tahun.
Wajahnya ditutup logam berwarna emas indah dengan ukiran wajah yang menggambarkan ketampanan, namun itu hanya topeng. Rambutnya panjang menjuntai dengan sebagian digelung dengan mahkota berwarna emas juga. Melihat cara orang itu berpakaian, tentu saja bukan orang biasa. Apalagi ia mengenakan jubah berwarna biru dan disulam dengan benang emas dan perak.
"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku, Kakang Jentra. Namaku Jentra Kenanga," kata orang itu sambil kembali menuangkan air jahe.
"Tapi Tuan seorang pembesar. Mana boleh saya memanggil Tuan seperti itu," jawab Rukma polos.
Jentra menatap wajah anak itu. Ada ketulusan, sifat baik dan sopan santun meskipun ia anak desa. Jentra menyukainya. Sepertinya anak itu bisa dididik menjadi abdi atau pelayan istana.
"Tidurlah sekarang. Kau pakai baju ini. Keringkan yang itu dan pakai kain tadi jadi selimut. Setidaknya kau aman sekarang. Besok kita cari orang tuamu. Aku tidak janji bisa menemukan mereka, tapi setidaknya kita bisa tahu kabarnya," kata Jentra.
Rukma mengangguk. Malam itu untuk pertama kalinya Rukma bisa tidur dengan perut kenyang.
Jentra sendiri tidak langsung tidur. Ia menjaga nyala api agar tetap besar supaya anjing hutan tidak mengganggu mereka. Sesekali ia memeriksa anak yang ditolongnya dan ia menghela nafas dalam seolah berbagi kesedihan yang sama. Dulu ia pernah sekali mengalaminya dan tahu rasanya kehilangan orang tua.
Saat bulan telah mulai memudar cahayanya Jentra pun berbaring di samping Rukma. Ia tertidur dengan mengatupkan jubah birunya. Selama beberapa jam ia tertidur pulas, sampai ia mendengar suara gemerisik langkah kaki dan bisik-bisik orang bicara.
"Ah, Kang. Kita beruntung. Ada korban banjir yang mengungsi di sini. Sepertinya orang kaya. Lihat jubahnya saja dari sutera halus. Ia memakai kelat emas di pergelangan tangannya," bisik orang pertama.
"Benar, Sro. Ini makanan empuk. Kita tinggal gorok saja lehernya dan ambil hartanya!" bisik orang kedua.
Perlahan, kedua orang itu mendekati Jentra. Kilau kelewang dan golok yang terkena pantulan api membuat Jentra bersiap waspada. Saat orang pertama mendekatinya dengan Kelewang, Jentra sigap menangkap pergelangan tangannya dan memutarnya, sementara kakinya menendang wajah orang kedua.
"Aduh biyung!" teriak orang yang diplintir tangannya.
Teriakan itu seketika membangunkan Rukma. Dan dengan mata yang baru tersadar Rukma melihat bagaimana Jentra menggunakan orang pertama sebagai tameng dan menggunakan senjatanya untuk menyerang orang kedua.
"Ampuuun, Tuan.....!" teriak orang pertama.
Namun, Jentra tidak peduli dan tidak melepaskannya. Ia mencengkeram leher orang itu dan terus merangsek menyerang orang kedua yang terus menangkis kelewang temannya itu. Jentra lebih jago dalam memainkan kelewangnya, golok yang dipegang akhirnya lepas dan dada orang itu terluka. Ia menjerit kesakitan sambil menahan dadanya yang berdarah. Jentra kemudian melemparkan orang yang dipegangnya hingga tertelungkup mencium tanah.
"Sungguh tak berhati. Tega sekali kau menganggu orang yang sudah susah karena bencana. Dasar Perampok brengsek. Sampah kau semua!" kata Jentra
"Ampun, Tuan! Maafkan kami!" kata para perampok yang ketakutan.
"Maaf? Enak sekali kau meminta maaf! Untuk perilakumu aku takkan mengampunimu. Rukma tutup hidung dan mulutmu dengan kain dan jangan bernafas. Aku tidak akan mengampuni tikus-tikus busuk ini!" perintah Jentra pada Rukma.
Rukma pun segera menjalankan perintah Jentra.
Rukma kaget ketika tiba-tiba dari tangan Jentra keluar bola berduri berwarna biru terang. Jentra memutar bola itu tanpa menyentuhnya dengan tenaga dalam dan benda pusaka itu mulai berputar mengelilingi perampok-perampok yang ketakutan.
Bola itu berputar cepat mengeluarkan pendar biru dan kelopak bunga kenanga wangi. Saat mencium aroma itu, kedua perampok itu seketika mati lemas dengan wajah membiru. Rukma terkejut. Ia cepat-cepat menutup hidungnya kuat-kuat dan tidak bernafas.
Saat kedua orang jahat itu tewas. Jentara biru itu kembali pada pemiliknya. Kemudian, Jentra menjatuhkan mayat mereka ke sungai dan kembali tanpa ekspresi yang bisa dilihat oleh Rukma. Dari cara Jentra berjalan, menghadapi dan, menghabisi orang-orang itu, Rukma tahu bahwa Jentra adalah pembunuh yang sangat terlatih.
Jentra...Jentra!" Teriak Pangeran Balaputradewa dari dalam ruang pemujaan. Seorang abdi tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari dalam dan segera bersujud di depan pintu bangunan besar tempat biasanya para bangsawan bersemadi. "Maaf Pangeran. Tuan muda Jentra belum kembali." Jawabnya sambil menghaturkan sembah. Pangeran Balaputradewapun membuka pintu utama balai semadi. "Belum pulang? Ke mana saja dia? Aku sangat ingin berlatih ilmu sapu angin yang baru saja kupelajari." Katanya."Benar Pangeran. Tuan muda Jentra belum pulang dari tugas yang diperintahkan Yang Mulia Sri Maharaja Rakai Garung untuk menyelidiki perdikan-perdikan yang dikuasai oleh wangsa Sanjaya."Jawab abdi balai semadi. "Hhhmm....sayang sekali. Padahal aku sangat ingin berlatih ilmu ini untuk menghadapi ilmu Danurwenda dan Astra Kenanga miliknya."Kata Pangeran Balaputradewa."Astra Kenanga? Apakah tidak terlalu berbahaya bermain dengan ilmu itu Mahamentri I Halu?" Tanya Wiku Wirathu, penasehat Sang Maharaja Rakai Gar
Keinginan Pangeran muda wangsa Syailendra Balaputradewa untuk medapatkan benda pusaka nampaknya telah tercium oleh telik sandi baik dari kerajaan Pengging maupun oleh wangsa Sanjaya. Sehingga desas-desus mulai menyebar tidak hanya di kalangan kecil para bangsawan namun juga pendekar-pendekar jagad persilatan. Tidak terkecuali putra-putra para Rakai penguasa perdikan juga mulai memburu benda pusaka yang dimaksud yaitu Mustika Udarati. "Kau yakin kalau pangeran muda wangsa Syailendra itu akan naik ke puncak Udarati?"Tanya Cayapata salah seorang anggota Sandidharmayuga dari kerajaan Pengging atau satuan khusus mata-mata kerajaan. "Benar, Kakang Cayapata. Aku mendengar dari sumber yang bisa dipercaya. Konon pangeran muda ini ingin menjadi Mahamentri I Hino (Putra Mahkota) karena Maharaja belum berputra. Oleh karena itu dia mencari Mustika Udarati yang konon dapat menarik energi mahkota sehingga siapapun yang memilikinya akan dapat menjadi Raja besar. Seorang Chakrawartin (Raja di raja, p
Jentra Kenanga menjatuhkan tubuhnya ke kasur yang empuk. Ia sangat lelah setelah perjalanan selama berhari-hari untuk mengikuti pergerakan orang-orang Sanjaya. Namun saat matanya hendak terpejam pikirannya melayang pada benda yang ada di dalam tubuhnya. Ia kemudian mengambil posisi bersila, setelah konsentrasi mendalam sebuah Jentera biru keluar dari telapak tangannya. Benda itu berpendar indah memancarkan warna biru muda yang lembut. Perlahan ia menggiring Jentera itu masuk ke dalam sebuah kotak terbuat dari kayu yang dilapisi ukiran dari emas. Ia menutup kotak itu perlahan, menciumnya dan memasukannya pada almari yang terkunci rapat.Ia kemudian melangkah kembali ke tempat tidurnya. Ia berpikir mengenai Rukma yang diselamatkannya dari banjir. Hal yang sama pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saat ia menyelamatkan seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun bernama BIru. Penyelamatan itu berakhir sangat tragis baginya dan keluarganya, namun juga menjadi berkah berharga pada hid
Jentra akhirnya meninggalkan Candrakanti dengan perasaan berat. Apalagi Candrakanti tidak hanya memberikan bekal makanan dan obat-obatan yang bisa dipakai Jentra namun juga uang emas yang berharga. Sebenarnya Jentra bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Candrakanti ini? Apakah keluarganya, orang yang sangat kaya? Apakah karena ini pula Candrakanti takut membawanya pulang ke keluarganya?Jentra mencoba menepis semua bayangannya tentang Candrakanti.Ia terus melangkah hingga kakinya terhenti di sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun besar dan terurus dengan baik. Tak salah lagi ini adalah Kadewaguruan yang selama ini menjadi impian Jentra untuk bisa berguru.Perlahan ia mengucapkan salam. Seorang pembantu pendeta muncul dan menanyakan keperluannya. Jentra menyatakan keinginannya bertemu dengan kepala pendeta. Pembantu pendeta itupun mempersilahkannya menunggu di ruang khusus untuk tamu. Dari tempat Jentra menunggu, ia bisa melihat Kepala pendeta sedang menerima tamu pemuda-pemuda
Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum.
Jentra menggeliat, perlahan kesadarannya mulai pulih. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia memandang ke sekeliling namun semua terlihat gelap kecuali nyala api kecil dari lilin lebah yang tergeletak diatas meja pendek."Dimanakah aku?" Begitu pertanyaannya dalam hati.Jentra mencoba mengingat kejadian sepanjang hari sebelum dirinya terjebak di dalam ruang gelap ini. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara teriakan yang keras dari banyak orang."Hah!""Ho...!""Renggangkan kaki. Buat pijakan yang kuat!""Pasang kuda-kuda yang benar!"Teriakan itu seperti teriakan orang yang sedang berlatih kanuragan. Dengan kepala yang masih terasa pusing, Jentra mengintip dari daun jendela yang rupanya tidak terkunci. Dari dalam ia melihat puluhan orang berbaris bersap-sap dan membentuk kuda-kuda.Semuanya nampak masih seumurnya. Sap pertama dan kedua diisi para biksu muda dengan celana warna oranye terang tanpa baju dan jubah. Sementara sap ketiga hingga enam berisi anak-anak muda dengan celana tanggung berw
Jentra kembali ke gua, dimana ia dan Candrakanti pernah berjanji untuk bertemu. Ini adalah tahun ketiga yang ia janjikan. Jentra telah jauh berubah. Ia menjadi pemuda yang sudah cukup matang meskipun belum sepenuhnya dewasa. Tubuhnya tinggi, besar dan gagah. Ototnya terbentuk dengan baik dan kemampuannya semakin terasah. Ia juga semakin tampan. Apalagi saat di vihara, Wiku Sasodara memberikan semua yang terbaik untuknya termasuk pakaian. Ia bukan lagi remaja lusuh dan bau. Ia telah menjadi pria tampan yang cukup mewah.Bajunya terbuat dari sutera warna biru lembut dan disulam dengan benang perak. Ia juga memakai pelindung pergelangan tangan yang terbuat dari emas dan berukiran naga. Ikat pinggangnyapun terbuat dari perak yang bertabur batu mulia.Candrakanti hampir tidak mengenalinya saat mereka bertemu di mulut gua. Ia terpana pada pria dihadapannya itu. Benarkah itu Jentra? Pria yang ditunggunya selama tiga tahun dengan menolak semua lamaran pria yang disodorkan oleh ayahnya. Hatiny
Jentra mengendap-endap menuju barak kelompok perampok yang telah membunuh keluarganya. Ia menyiapkan dua bilah pedang. Ia berpakaian serba hitam dan menutup wajahnya. Kemudian ia menunggu sampai ia melihat Candrakanti keluar dari tempat itu, menuju tempat yang telah mereka sepakati. Saat Candrakanti telah berlalu beberapa saat. Jentra langsung menyerang tempat itu. Pertama ia membunuh penjaga pintu dengan memotong lehernya. Sementara salah satu dari perampok-perampok itu melihat kejadian itu berteriak."Penyusup...penyusup!" Namun, Jentra melemparkan belatinya dan mengenai perut orang itu. Kemudian keluarlah tiga orang dari rumah-rumah mereka dan menghadang Jentra."Siapa kau manusia keji. Kurang ajar sekali membunuh saudara kami." Kata orang pertama"Ya, buka topengmu. Perlihatkan siapa dirimu. Dasar pecundang." Sambut orang kedua"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Tetapi aku adalah orang yang sedang menagih hutang darah kalian." Jawab Jentra."Kurangajar. Habisi dia!" Kata orang