"Hai sayang. Sudah tidur belum? Aku masih kangen sama kamu. Aneh ya, padahal seharian penuh kita bersama dan baru beberapa jam yang lalu kita berpisah. Tapi hati ini rasanya kangen banget sama kamu. Sayang apa aku boleh telepon? Aku ingin dengar suara kamu" Zahra mematung. Air mata yang sejak dari tadi sudah berhenti, kini mulai muncul kembali saat dia membaca pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih. "Kak Leo…" gumam gadis itu. Zahra teringat dengan kata-kata dari Tama yang memerintahkan dirinya untuk mengakhiri hubungannya dengan laki-laki itu. Dia bingung bagaimana mengatakan semuanya kepada Leo. Seandainya saja bisa, dia tidak ingin mengakhiri semuanya. Walaupun cinta di dalam hatinya belum sepenuhnya milik laki-laki itu akan tetapi dia akan terus berusaha untuk bisa mencintai Leo dengan tulus. Gadis itu menunduk ketika sebuah pesan dari laki-laki yang beberapa jam yang lalu menjadi kekasihnya itu kembali muncul. "Sayang, kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu tidak membalas pesan
Tepat pukul 11 siang, Zahra terbangun dari tidurnya. Matanya perlahan mengerjap menyesuaikan bias cahaya yang masuk. Dengan tubuh yang masih sedikit lemas, dia bangkit lalu duduk di atas tempat tidur itu. Sedikit meregangkan tubuhnya disana."Hmm, jam berapa ini?" gumam Zahra masih dengan mata yang sipit."Jam 11 siang nona Zahra."Suara bariton yang begitu menggelegar terdengar di telinga Zahra, membuat gadis itu membuka matanya lebar-lebar karena dia tahu siapa pemilik suara itu. Rasa ngantuk yang semula masih tersisa, kini seolah lenyap begitu saja. Zahra menoleh ke arah samping dan dia melihat Tama sedang duduk tegak di salah satu kursi yang ada di sana. Tatapan matanya sangat tajam dengan mimik wajah yang mengerikan. Gadis itu kembali kesulitan menelan salivanya."Nyenyak tidurnya?" ucap Tama lagi. Nadanya memang normal tapi memiliki kekuatan intimidasi yang cukup kuat. Membuat Zahra kembali merasakan ketakutan pada dirinya."Maaf Tuan," jawab Zahra sambil menunduk.Tama berdiri
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Zahra masih melaksanakan tugasnya memijat kaki Tama yang terduduk di kursi. Selama ini interaksi diantara mereka berdua memang selalu terjadi di luar kamar Tama. Entah kenapa tapi laki-laki itu tidak ingin Zahra menginjakkan kakinya ke dalam kamarnya. Dan hal itu tertulis jelas di lembaran aturan pekerjaan yang harus gadis itu lakukan selama menjadi pelayan pribadi Tama.Tama tampak memejamkan matanya. Sepertinya rasa kantuk sudah mulai menyerangnya. Zahra sedikit terkejut saat merasakan ponsel yang dia simpan di saku celananya bergetar. Zahra yakin jika itu adalah pesan dari sang kekasih."Bagaimana ini? Itu pasti chat dari Kak Leo? Apa Kak Leo sudah ada di belakang mansion?" ucap Zahra dalam hati. Kedua matanya terus melirik ke arah wajah Tama yang masih saja menyeramkan di benaknya.Setelah beberapa saat, salah satu tangan Tama terangkat memberikan isyarat agar Zahra berhenti memijatnya. "Tugasmu sudah selesai hari ini. Kembalilah ke
Mendengar suara tembakan yang diluncurkan oleh senjata Tama, membuat ingatan Zahra kembali pada peristiwa beberapa minggu silam. Muka gadis itu seketika memucat membayangkan sang kekasih kembali bernasib sama dengan Satria. Dengan cepat dia mengalihkan pandangannya kepada laki-laki yang sudah menolongnya keluar dari mansion bak penjara milik Tama tersebut.“Tidak!” Zahra berteriak sekencang mungkin saat kedua matanya melihat Leo terjatuh, terbaring di jalan dengan kedua tangan yang memegang kakinya yang sudah berlumuran darah. Air matanya kembali terjatuh dengan sangat deras.Zahra berdiri dan berniat untuk berlari mendekati sang kekasih. Akan tetapi cengkraman keras Tama di lengannya membuat gadis itu tidak bisa melangkah sama sekali.“Tuan. Tolong lepaskan aku Tuan. Tuan, tolong bebaskan Kak Leo. Jangan sakiti Kak Leo. Kak Leo tidak bersalah. Ini semua salahku. Aku mohon tolong jangan sakiti Kak leo,” pinta Zahra dengan merintih. Kedua tangannya kembali dia satukan di depan dadanya.
Setelah Tama dan juga Rey pergi ke kantor, Zahra langsung membereskan semua peralatan makan pagi laki-laki itu. Dia yang sebelumnya lebih memilih untuk beristirahat ke dalam kamar jika Tama tidak ada di rumah, nyatanya kali ini dia tidak melakukan hal itu. Zahra lebih memilih untuk melakukan semua pekerjaan rumah walaupun itu bukan termasuk bagiannya. Mencuci perabotan yang kotor, menyapu, mengepel, bahkan merapikan kebun, gadis itu lakukan. Beberapa pelayan lainnya mencoba untuk menghentikan akan tetapi Zahra tidak peduli. Dia seperti orang kesurupan yang tidak ingin berhenti selain kerja, kerja dan kerja saja.Begitu banyak pekerjaan yang Zahra lakukan. Dia bahkan sampai lupa jika dirinya belum sarapan. Dari sejak pagi tak ada satupun makanan atau minuman yang masuk ke dalam tenggorokannya. Zahra seperti bertekad ingin menyakiti dirinya sendiri. Dan ternyata dia berhasil. Tepat disaat matahari sudah hampir mencapai puncaknya, Zahra yang saat itu sedang memotong rumput di halaman b
Beberapa menit kemudian, Tama dan juga Rey telah sampai di mansion. Mereka berdua langsung berjalan menuju kamar Zahra dimana gadis itu sedang beristirahat. Setelah tadi sempat tak sadarkan diri akan tetapi dia juga sempat siuman saat para pelayan lain berusaha membantunya. Dan kini wanita itu sedang berbaring di atas kasurnya, tertidur.Sebelum Tama membuka pintu kamar Zahra, laki-laki itu menghentikan langkahnya kemudian berbalik menghadap ke belakang dimana Rey masih berdiri dengan setia."Tunggu disini saja. Aku akan masuk sendiri," ucap Tama. Rey mengangguk.Laki-laki itu pun membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar tersebut. Sejurus kemudian dia menutup kembali pintu itu seolah dirinya memang tak ingin diganggu sama sekali.Tama berjalan perlahan mendekati Zahra yang masih tertidur pulas. Sedikit mengelilingi ranjang berukuran sedang itu dengan tujuan ingin melihat sang gadis dari setiap sudut. Hal itu ditunjukkan dengan kedua matanya yang tak pernah lepas dari tubuh Zahra.Tiba-
Malam itu Zahra berjalan mengikuti Tama. Laki-laki itu mengajaknya ke suatu tempat yang masih merupakan bagian dari mansion tersebut. Akan tetapi Zahra tidak tahu kemana. Sambil berjalan di belakangnya, Zahra melihat pakaian Tama yang sangat berbeda. Celana hitam dengan beberapa saku dan juga sabuk perak yang memiliki ukuran lebih besar dari ukuran normal. Sebuah kaos yang dibalut dengan jaket kulit hitam. Dan juga leher yang terbalut sehelai syal. Tak lupa sepasang sepatu boot berwarna hitam."Dia mau mengajakku kemana malam-malam begini? Apa dia mau mengajakku naik kuda?" pikir Zahra melihat pakaian yang digunakan oleh laki-laki di depannya itu.Sesekali dia menunduk melihat pakaian yang dia kenakan. Sebuah celana panjang berwarna hitam dan baju rajut lengan panjang berwarna putih. "Hmm, semoga saja jangan berkuda," batin Zahra berucap lagi.Langkah mereka berdua terhenti di sebuah lapangan kecil yang dihiasi beberapa pepohonan di setiap sudutnya. Kening Zahra mengerut. Dia tidak
"Apakah… apakah Kak Leo baik-baik saja?" Dengan lirih dan sedikit takut, Zahra mencoba menanyakan kabar Leo. Terakhir kali dia melihat laki-laki itu adalah saat Tama menembak kakinya dan setelah itu dia tidak mendengar kabar tentang Leo lagi.Tama terdiam sejenak. Suasana sepi dan udara yang dingin terasa semakin menusuk masuk ke dalam pori-pori kulit. Zahra masih menatap punggung laki-laki itu. Beberapa saat kemudian, Tama membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Zahra. Dia menatap tajam wanita di depannya itu dan membuat Zahra seketika menunduk. Di dalam hatinya gadis itu merutuki dirinya sendiri karena sudah berani bertanya hal tersebut. Walaupun sebenarnya dia memang sangat mengkhawatirkan Leo akan tetapi dia juga tahu resikonya jika membuat Tama marah. Zahra menutup matanya saat merasakan laki-laki itu berjalan mendekatinya perlahan. Dia sudah siap menerima hukuman yang akan diberikan oleh Tama. Akan tetapi yang terjadi ternyata berbeda dari apa yang dibayangkannya. Setelah beb