Beberapa hari sebelumnya, kepala Emma sakit–masih pusing akibat kekerasan, seluruh tubuhnya sakit, tetapi Emma harus keluar dari rumah mantan suaminya. Dia tidak ingin tinggal di sana lagi. Rumah itu bagaikan neraka baginya yang tidak bahagia selama dua tahun pernikahan.
Emma menyewa sebuah apartemen murah untuk ditempati. Barang-barangnya sudah disusun. Emma kelelahan karena berjalan sepanjang hari sambil menahan rasa sakit. Sayangnya, hal itu justru menambah rasa sakitnya, sebab Emma menyeret kopernya sejak pagi sampai akhirnya menemukan apartemen tersebut malam itu.
Emma tidak bisa menahan diri agar tidak menangis. Sebentar lagi, perceraiannya akan terbongkar. Bagaimana dia bisa menyembunyikan agar ayahnya tidak tahu tentang kehidupannya yang tidak bahagia? Bahwa dia telah mengalami kekerasan dan penghinaan setiap hari selama pernikahannya.
Siapa yang akan memahaminya? Siapa yang akan mendukung dan menolongnya?
Namun, tidak ada yang mengetuk pintu apartemennya untuk menawarkan bantuan. Di sisi lain, kondisi Emma semakin memburuk. Emma akhirnya memutuskan mengunjungi dokter untuk mendapatkan pengobatan. Dokter mengatakan bahwa ia menderita cedera otak traumatis atau gegar otak. Emma mengambil obat di apotek dan pulang ke rumah.
Dalam perjalanan, Emma berhenti di sebuah toko roti dan kue. Dia membeli beberapa roti dan minuman. Saat keluar sambil menata kembali barang-barang bawaannya. Emma tidak sengaja menabrak seorang pria.
"Maaf, saya tidak sengaja," kata Emma, panik, tangannya gemetar saat mengambil barang yang jatuh. Rotinya menjadi kotor dan tidak bisa dimakan lagi.
Sayangnya, Topan hanya menatapnya dengan tatapan dingin saat Emma berdiri sambil memegangi kepalanya karena sempoyongan. Kemudian, Emma menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak ada yang terluka. Emma juga tidak menemukan barang belanjaan atau apapun di tangan pria itu.
"Apa kamu baik-baik saja?" Emma bertanya, tetapi pria itu tetap diam. "Kamu tidak punya belanjaan atau apa pun...?"
Karena Topan tidak menjawab pertanyaannya, Emma bertanya lagi. "A-apa kamu terluka?"
Namun, lelaki itu menjawab singkat. "Ya."
"Oh, akhirnya, Terima kasih Tuhan." Emma mengembuskan nafas. Dia mengira pria itu tuna wicara. "Saya tidak tahu bagian mana dari tubuh kamu yang terluka, tapi saya benar-benar minta maaf. Saya sedang terburu-buru."
Sayangnya, Topan merasakan getaran suara Emma. Perempuan itu sedikit menunduk untuk pamit dan berbalik untuk pulang. Apartemennya hanya berjarak dua puluh menit perjalanan dengan bus.
Usai meletakkan barang belanjaan di meja, Emma mengambil air minum di dapur untuk minum obat. Namun, Emma terkejut tidak menemukan obatnya dimanapun. Matanya terbelalak saat teringat obat itu mungkin terjatuh di depan toko roti.
Emma memukul pelan kepalanya dan mulai menangis lagi. Dia sangat membutuhkan obat itu, tetapi tidak bisa pergi keluar hanya untuk mencarinya, karena akan menghabiskan biaya bus, waktu dan tenaganya untuk kembali. Dia merasa lemah. Tubuhnya bahkan gemetar dan napasnya terengah-engah sampai satu ketukan di pintu berbunyi. Emma menyeka air mata, mencoba berdiri lalu bergerak untuk membuka pintu.
"Obatmu."
Emma terkejut. Pria yang tadi bertemu dengannya di jalan, berdiri di hadapannya sambil menyerahkan obat, tepat saat dia membuka pintu.
"Terima kasih," kata Emma merasa terharu. Dia hendak berbicara lagi, tetapi Topan langsung pergi, setelah Emma menerima obatnya.
"Tunggu, siapa nama kamu?" Emma fokuskan pandangannya pada lelaki itu. Sayangnya, pria itu tidak menghentikan langkah hanya untuk sekadar menoleh padanya.
***
Sampai hari ini, Emma bertanya-tanya siapa sebenarnya Topan. Bagaimana mungkin dia akan setuju dengan kontrak tersebut jika mengetahui namanya saja tidak.
Emma baru saja berpisah dengan suaminya, bahkan perceraian mereka belum selesai. Dia mengalami trauma atas pernikahan dan kekerasan yang dialaminya. Butuh waktu untuk sembuh. Meminta untuk menikahi Topan hanya beberapa hari setelah kedatangannya ke apartemen adalah hal yang bodoh untuk dilakukan.
"Emma, bawa ke ruang direktur! Cepatlah!"
"Baik." Emma mengangguk,mwmbawa nampan dengan hati-hati ke lantai atas menggunakan lift staf. Di lantai yang dituju, Emma mencari ruangan yang ada papan nama di pintunya. Dia menemukannya dan mengetuk pintu dengan sopan.
"Masuk!" Seorang pria berteriak.
Emma masuk ke dalam ruangan besar yang nyaman untuk bekerja. Detak jantungnya tidak terkendali sejak tadi, karena dia takut membuat kesalahan dan mengecewakan mereka yang telah mempekerjakannya.
Dia lekas meletakkan gelas dan cangkir sambil mendengar mereka berbicara, lantas keluar tanpa melihat seisi ruangan dan kenapa Topan menatapnya tanpa ekspresi.
"Mungkin kamu perlu menawarkan dua kali lipat dari tawaran sebelumnya," kata asisten pribadinya.
Topan mengangguk samar-samar. "Aku yakin itu tidak akan berhasil untuk dia, tapi mungkin akan berhasil untuk ayahnya. Dia butuh banyak uang untuk melunasi utang-utangnya."
"Aku sangat setuju. Ada lagi? Aku akan pergi untuk menangani masalah yang terjadi."
"Silakan." Topan akhirnya bangkit berdiri, berjalan keluar setelah sepuluh menit asistennya keluar.
Minum secangkir kopi tidak membantunya keluar dari pikiran yang berlebihan. Sejak semalam, Topan sudah memikirkan cara untuk membuat Emma percaya bahwa dia memiliki niat baik, menjamin keuangannya, menyediakan pelayan untuknya, dan sebagainya.
Selama sisa hidupnya, Emma adalah wanita lemah pertama yang menolak uangnya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan wanita seperti Emma. Miskin, bercerai, terlilit utang, tetapi mengaku bukan orang yang materialistis.
Topan menggelengkan kepala, tersenyum kecil, dan menertawakan dirinya sendiri karena Emma terus saja muncul di benaknya. Dia harus menyingkirkan Emma sebelum perempuan itu menghancurkan seluruh harinya. Namun, mimpinya menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari dua menit. Dari koridor menuju lobi, Topan mendengar keributan.
"BOHONG! Kamu baru saja bekerja di sini, tapi sudah mencuri uang!"
Matanya datar melihat Emma yang tertunduk dan terluka karena dituduh mencuri. Emma terus menyangkal tuduhan yang mereka layangkan padanya.
"Ikut saya!" kata supervisor.
Emma berjalan di belakang supervisor itu. Topan kembali ke ruangannya hingga jam kerja selesai. Pulang kerja, Topan berhenti di apartemen Emma untuk memastikan kondisi Emma.
"Bagaimana keadaanmu?" Topan bertanya saat Emma membuka pintu.
Emma mengabaikan pertanyaan Topan, lalu saat dia akan menutup pintu, Topan menahannya agar tetap terbuka. Namun, Emma tetap berusaha menutupnya.
"Pergilah. Jangan ganggu saya!"
Topan berusaha menahan pintu, sedangkan Emma mengerahkan seluruh tenaganya, membuat Topan mendorong pintu hingga Emma terdorong mundur dan tersandung.
"Kamu tidak baik-baik saja." Topan masuk dan menutup pintu. "Aku turut prihatin atas apa yang terjadi padamu."
Emma tersentak. Bagaimana dia tahu tentang hal itu?
"Kamu … " Emma menunjuk ke arahnya, Tidak lagi menggunakan kata 'Anda' karena gerah pada Topan. Harusnya lelaki itu sadar atas penolakan Emma. "Apa yang kamu inginkan? Mau menertawakanku? Aku dipecat di hari pertamaku bekerja, dituduh mencuri uang ... aku tidak tahu uang siapa itu ...."
Emma berhenti sejenak untuk menghela napas. Dia melangkah mundur ketika Topan berjalan mendekat tanpa mengalihkan pandangannya.
"Pada akhirnya kamu pulang tanpa membawa uang. Kamu tidak akan direkomendasikan untuk bekerja di perusahaan manapun. Jadi, katakan apa yang kamu punya sekarang."
"Kamu ... kamu membuat skenario ini supaya aku berhenti menolak kamu dan kontrak sialan itu," kata Emma dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu siapa kamu, apa hubungan kamu dengan mereka di perusahaan, apa tujuan kamu, AKU TIDAK PEDULI, karena aku tetap pada prinsipku!"
Namun, Topan mengeluarkan kontrak dan menunjukkannya pada Emma, seolah-olah tidak ada cara lain selain menyetujui perjanjian tersebut.
"Masih untung kamu tidak dilaporkan ke polisi. Apa kamu mau tidur di hotel prodeo? Itu sangat tidak enak. Tidur di hotel bintang lima sangat enak," ejek Topan mulai tersenyum miring.
Belum sempat Emma menyahut, telepon Emma berdering. Dia bicara beberapa menit, tetapi kepanikan di wajahnya terlihat jelas oleh Topan. "Apa yang terjadi?" Topan bertanya setelah Emma menutup telepon.Emma tiba-tiba berlari ke arah Topan, lantas menarik kerah bajunya dengan kuat. "SIALAN KAMU! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA AYAHKU?" Topan tercekik oleh cengkeraman kuat Emma, kepalanya bahkan menunduk ke arah Emma yang sangat marah menatapnya dengan mata merah, suaranya melengking parau dan bergetar,"Aku tidak melakukan apa-apa. Apa yang aku lakukan pada ayahmu?" tanya Topan bernada bingung. Ekspresinya yang sedikit pongah, mendadak hilang karena reaksi Emma. "PECUNDANG!" Emma meludah ke wajah Topan, yang membuat Topan spontan menutup matanya. "Kamu membuatnya tertekan karena hutangnya. Mereka akan membunuhnya kalau dia tidak melunasinya besok."Topan mengambil sapu tangan dari balik jas, mengelap bekas ludah sambil menahan amarah. Lalu, menarik tangan Emma dari kerah bajunya. "Itu bag
Emma sama sekali tidak mengerti tentang jalan hidupnya, yang masih membingungkan baginya bahwa semuanya berubah dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Dia juga tidak menyangka bahwa Topan akan memenuhi semua perkataannya untuk mengubah hidupnya secara drastis dalam sekejap. Gaun pengantin yang dia kenakan terlihat indah, riasan wajahnya juga cantik, Emma terlihat sangat menawan. Penata rias menciptakan momen yang tak terlupakan untuk Emma. Topan tidak berkedip saat melihat Emma di tempat pernikahan. Hanya kakeknya dan ayah Emma yang hadir dalam pernikahan yang tersembunyi itu. Beberapa orang lainnya adalah pengawal dan asistennya. "Selamat atas pernikahanmu," bisik Alex. "Kakek harap Kakek akan segera memiliki cicit." "Aku juga, Kakek. Semoga rencana ini berjalan lancar. Harus," sahut Topan, "aku sudah memikirkan rencana lain, tapi Erica tidak masuk dalam daftar berikutnya. Dia sulit diatur. Kita membutuhkan wanita seperti Emma. Dia sempurna untuk rencana ini." Namun, Topan lup
Kabar dari asisten pribadinya sangat mengejutkan hingga membuat Topan berada di dua sisi. Topan merasa senang dengan kabar itu, tetapi juga terkejut karena berita itu datang tepat di hari pernikahannya. Sepanjang pesta berlangsung, Topan tidak bisa menaruh fokusnya seperti sedia kala. Pikiran Topan terpecah antara merahasiakan statusnya dan Laura dari Emma, bagaimana dan kapan mengunjungi Laura, bagaimana menghadapi mertua saat mereka tahu pernikahannya bersama Emma, dan pertanyaan apakah Laura sudah benar-benar bangun dari komanya atau belum. Terlebih, kedatangan mertuanya yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi semakin pelik. Pesta sederhana yang mewah pun tidak dia nikmati, sebab Topan dipaksa berpikir keras untuk membuat situasi baik-baik saja, termasuk perasaannya. "Kedatangan mereka untuk memberitahu kabar tentang Nyonya Laura. Tuan Besar sudah mengurusnya, Pak. Saya tidak tahu apa yang beliau katakan pada mereka," ujar asisten ketika memberitahunya. "Tuan Besar juga meminta B
"HENTIKAN, NANCY! AKU SEDANG TIDAK INGIN!" pekik Topan sambil menyingkirkan tangan Nancy dari dalam celananya. Nancy langsung terdorong ke belakang, terkejut melihat mata Topan sengit menatap padanya, mukanya merah padam, dan napasnya tertahan. Jeremy langsung bangun dan menarik Nancy menjauh dari Topan, keluar dari area sofa tempat mereka duduk. "Aku sudah bilang tinggalkan kami! Majikanku sedang ingin sendiri! Pergi!" "Kau sangat kasar padaku, Jeremy!" geram Nancy dengan mata nyalang. "Jangan ganggu kami, atau Tuan Topan bisa membuatmu ditendang dari bar ini!" balas Jeremy tak kalah sengit. Nancy pergi membawa dongkol dan muka masam, merasa dihina oleh Jeremy sebagai perempuan. Meski dia seorang pelacur, tetapi Nancy tidak terima diperlakukan kasar oleh laki-laki manapun. Bagi Nancy, itu menginjak harga dirinya. Saat Jeremy berbalik untuk kembali ke sofa, Topan sedang meneguk Vodkanya hingga tandas. "Tambahkan lagi!" teriak Topan dari sofanya sambil mengangkat gelas,
Emma menggeliat antara sadar dan tidak sadar. Dia merasa tubuhnya seperti terhalang sesuatu, gerak tangannya tidak leluasa, dan ada benda berat di atas perut dan kakinya., Saat sedang membalik badan, Emma terkejut karena kepalanya terantuk benda keras. Dia berulang kali mengedipkan mata lalu mendelik melihat laki-laki memeluknya sangat erat. "Astaga! Siapa dia?" Emma sontak bangun dengan susah payah, matanya semakin mendelik seperti akan keluar saat melihat pria di sampingnya.Udara dingin, tidak berselimut, pria itu malah telanjang bulat tanpa merasa tulangnya ditusuk nyeri dingin. "Hei, lepaskan aku, kenapa kamu ada di sini? Siapa kamu?" Emma berusaha melepaskan tangan dan kaki dari belenggu pria itu, memukul-mukul bahu Topan di posisi duduk yang sulit. Topan tak bereaksi sama sekali. Suara parau Emma yang perlahan menghilang, dibalut ketakutan dan panik, tergambar jelas di dini hari. Rasa bingung Emma tak bisa dikatakan. Bersama lelaki tidak dikenal, telanjang, satu alas, memak
Dua hari lalu saat bangun dari koma, Laura menghabiskan beberapa jam untuk mengingat kisah yang menjadi sejarah dalam hidupnya. Dia ingat Topan dan suaranya yang berkata cinta serta memberinya semangat, orang tuanya dan kejadian sebelum kecelakaan. "Aku ingat tentang kecelakaan itu setelah Papa mengatakannya," sahut Laura bersuara serak dan sesegukan. Dia mengusap air mata dan mengelap ingus dalam kondisi berbaring. Binar mata Topan dan Laura sirna karena histeria Laura yang terkejut. Pertemuan mereka seharusnya disertai tangis haru bahagia. Namun, perasaan mereka bercampur sedih dan senang, bahkan tidak satu pun dari mereka ada yang bisa mengungkapkan rasa itu. Dua tahun menanti dalam rindu, ketidakpastian dan harap-harap cemas, Topan seperti kapal yang hilang arah. Dia terpuruk hingga berbulan-bulan tak punya semangat hidup. Waktu yang terasa hampa bagi Topan karena kehilangan belahan jiwa. "Bagaimana kabar kamu?" Emma bertanya lagi, kali ini dengan sorot mata yang berubah binar.
Jeremy berdecih kecewa, berkacak pinggang melihat ke pintu ruang utama dengan harap-harap cemas. Tak lama berselang, mobil mewah Topan berhenti di depan pintu utama. Jeremy menutup mata, mengutuk keadaan yang tidak mendukungnya. Lantas, segera menuju teras untuk menyambut Topan."Semua sudah siap?" Topan bertanya sambil lalu, menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. "Saya tidak menemukan Bibi Dagna di rumah, sejak tadi mencarinya. Pelayan juga tidak ada yang tahu ….""Apa maksud kamu Bibi Dagna tidak ditemukan?" Topan mendadak berhenti. Suaranya keras ketika mengklarifikasi kata-kata Jeremy.Asisten pribadi Topan itu menundukkan kepala sedikit. Intonasi Topan menunjukkan kemarahan dan keterkejutan karena Dagna yang dipikirnya menghilang. "Maksud saya, perintah Bapak belum saya sampaikan karena Bibi Dagna tidak ada di rumah sejak tadi. Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi Bibi tidak juga ditemukan," sahut Jeremy hati-hati saat menatap Topan. Topan hanya diam sambil menatap tanpa a
"Selamat datang kembali di rumah kita, Sayang," kata Topan sumringah sambil mendorong kursi roda. Para pelayan sudah berdiri menyambut Laura sesuai perintah Topan. Mereka menundukkan kepala sambil mengucapkan sambutan selamat datang dan lainnya. "Senang sekali Nyonya pulang lagi ke rumah ini. Saya sangat sedih Nyonya mengalami hal buruk itu dan selama Nyonya tidak ada di sini, rumah ini rasanya sangat sepi," tutur Dagna dengan tulus, lalu memeluk Laura. "Terima kasih, Dagna. Aku juga merindukanmu. Semua baik-baik saja selama aku tidak di rumah, kan?" Laura melepas pelukan, berbinar sekaligus tersenyum getir menatap Dagna."Semua baik-baik saja selama Bibi Dagna yang mengurus rumah ini," sela Topan tak ingin ada pertanyaan lebih banyak. "Ayo, kita masuk.""Aku senang mendengarnya," balas Laura mengangguk dan bermuka sedih, ketika Topan mendorong kursi rodanya. "Selamat datang cucuku, akhirnya kamu pulang lagi ke rumah ini," sambut Alex merentangkan tangan. Di ruang tamu, dia menungg