"Aku menawarkanmu kesempatan emas ini. Kamu hanya perlu mengikuti perjanjiannya," kata Topan dengan tatapan keren.
Mereka berada di apartemen Emma yang kecil dan baru saja tiba lima menit yang lalu. Topan bersikeras untuk masuk dan duduk di sofa dengan segelas air putih. Emma masih dengan gemuruh bingung, dengan dongkol–terpaksa mengizinkan Topan untuk masuk.
Emma benar-benar membutuhkan penjelasan tentang alasan Topan mampir ke apartemennya, percakapannya yang tidak dia pahami, dan kertas yang Topan letakkan di atas meja.
"Dengar, Emma Rahandi."
Napas Emma tertahan. Dia ingat bahwa mereka berdua belum pernah menyebutkan nama masing-masing dan mereka baru bertemu dua kali. "Bagaimana Anda tahu nama saya?"
"Namamu tertulis di plastik obat."
Emma menarik napas. Memang tidak baik jika ada orang lain yang menemukan obat itu karena mereka akan menyakitinya, atau menculiknya untuk perdagangan manusia, atau penjualan organ tubuh secara ilegal.
"Baiklah, jelaskan pada saya tujuan Anda dengan surat perjanjian itu."
"Kamu cuma perlu membacanya terlebih dulu." Topan menggeser kertas itu. "Ini kesepakatan yang menguntungkan kamu."
Sejenak, Emma menatap kertas itu dan menemukan nama yang tertulis di atasnya.
TOPAN DIANTA MARSELAIT
"Perjanjian pernikahan? Kontrak?" Emma mengernyitkan alis setelah membaca kertas itu sekilas. "Apa maksudnya ini?"
Topan berdehem. "Dengar, begitu kamu menandatanganinya, tidak ada lagi Emma Rahandi yang malang. Kalian tidak perlu lagi mencari uang dan tinggal di dalam kotak jelek ini."
Topan mengambil jeda sejenak agar Emma bisa mencerna kata-katanya. Mereka sama-sama diam dengan mata saling tatap.
"Kalian? Siapa yang Anda maksud dengan 'kalian'?" Alis Emma mendadak mengerut.
"Kamu dan ayahmu. Kalian sangat membutuhkan uang. Ayahmu tidak akan frustasi lagi karena pinjaman itu dan kamu tidak perlu mengkhawatirkannya, Emma. Dia akan mendapatkan uang yang ditransfer setiap bulannya."
"Bagaimana Anda tahu tentang saya dan ayah saya?" tanya Emma dengan sorot mata penasaran dan tak suka. Lelaki di depannya ini seperti tahu banyak hal tentang dirinya.
"Kamu hidup di dunia modern. Informasi bisa didapat hanya dengan sekali klik di internet," jelas Topan datar.
"Aku tidak mengerti. Ini sangat membingungkan. Tolong, bicara yang jelas dan jangan sepotong-sepotong."
Bibir Topan tersenyum tipis melihat Emma yang menurut Topan–bukan tidak mengerti, tetapi bodoh. "Aku ingin kamu menikah denganku."
"Menikah? A-apa yang Anda bicarakan? Emma menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. "Tidak, tidak, Anda jangan membuat saya tertawa."
"Dengar, Emma, ini adalah simbiosis mutualisme bagi kita. Kamu dapat uang, aku dapat bayi darimu."
"APA?" Mata Emma sontak mendelik dengan mulut menganga.
"Ya, Sayang. Aku butuh bayi darimu. Tanda tangan saja, maka kamu akan hidup seperti ratu."
Emma rasanya mau muntah mendengar panggilan sayang untuknya.
"Anda.pikir saya wanita jalang yang sudi menjual martabat dan kehormatannya demi uang? Tidak!" Emma menggelengkan kepalanya. "Tidak, saya tidak seperti itu. Saya tidak menyangkal bahwa saya hidup dalam kemiskinan dan saya... ya, saya butuh uang. Anda benar. Saya tinggal di dalam kotak yang jelek ini, tapi saya tidak akan pernah menurunkan harga diri saya demi uang. Anda tidak bisa membeli saya dengan cara apa pun!"
"Aku tidak membeli kamu. Ini transaksional. Kamu punya keuntungan di sini," sahut Topan santai lalu meneguk air minum.
"Tidak, saya mohon. Keluar dari sini." Emma menggeser kertas itu kembali kepadanya. "Pergilah."
Topan melihat kemarahan di wajah Emma, dari suaranya yang mulai meninggi saat berbicara, dan terlihat kacau hingga harus bernapas dalam-dalam agar bisa sedikit lega.
"Kamu punya keuntungan di sini." Topan meyakinkannya lagi, karena dia tidak boleh gagal. "Kamu menikah denganku, maka semuanya akan selesai."
"Saya tidak tahu apa yang Anda katakan, karena saya tidak ingin tahu apa-apa. Saya sudah berterima kasih atas bantuan Anda saat itu, tapi bukan berarti Anda bisa melakukan apapun yang Anda inginkan pada saya."
"Baiklah, izinkan aku mengatakan sesuatu untuk mengingatkanmu. Kamu tidak punya pilihan lain, karena kontrak ini akan menjadi caramu untuk mengucapkan terima kasih."
Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu? Mereka belum pernah bertemu sebelumnya untuk saling mengenal, tetapi Topan berbicara seolah-olah dia mengenal Emma dengan baik, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu.
Topan datang ke rumahnya, menawarkan kebaikan karena sudah menyelamatkan sebuah nyawa dan sekarang dia menawarkan pernikahan transaksional. Apa yang sebenarnya terjadi?
Topan benar-benar mengubah emosi Emma secara tiba-tiba. Lelaki itu bahkan tidak juga terpikir untuk memperkenalkan diri sejak dia masuk ke dalam apartemen jelek. Emma. Emma bergerak ke pintu, meminta Topan untuk pergi. Namun, Topan tetap bergeming.
"Dengan menandatangani kertas ini, hidup kamu dan ayahmu secepatnya akan berubah secara drastis. Pikirkan lagi sebelum kamu mengambil keputusan."
"Kenapa saya harus tanda tangan?" Emma sengaja tak memberi jeda pada Topan agar dia punya alasan untuk mengusirnya, karena terjebak jawaban yang bisa Emma pelintir.
"Sekali kamu membuat keputusan yang salah, kamu akan berada dalam kehidupan yang miskin ini untuk selamanya."
"Ada banyak gadis yang bisa Anda berikan kontra—"
"Tapi aku menginginkanmu," potong Topan cepat.
"Kenapa harus saya?" Emma semakin geram dengan mata nyalang, sebab lelaki di depannya benar-benar membuatnya hilang sabar.
"Karena kamu orang yang tepat untuk memberiku ahli waris."
"Pewaris?" Emma terkekeh. "Kalian, orang-orang kaya, selalu berbicara tentang pewaris seperti tidak ada hari esok. Kalian pikir kalian bisa melakukan apa saja terhadap orang miskin dengan uang kalian? Tidak, kalian salah. Sebagian besar dari kami akan melakukan apa saja untuk hidup termasuk yang buruk, tapi saya ... tidak akan pernah melakukannya. Lagi pula saya baru bercerai, itu sangat tidak mudah. Saya takut. Di titik ini, saya tahu Anda mengerti maksud saya, Pak."
"Aku mengerti maksud kamu." Topan berdiri dari kursi lalu mendatanginya ke pintu. Matanya terfokus pada mata Emma, lantas Topan menutup pintu. "Itu sebabnya aku tidak ingin kamu bicara lebih banyak lagi. Tanda tangan saja dan pembicaraan ini selesai."
Topan terus menekan Emma bahwa perempuan muda itu tidak bisa melarikan diri, karena berada dalam kekuasaannya. Dia tidak mau tahu soal trauma KDRT yang Emma rasakan. Topan hanya mau Emma tanda tangan kontrak tanpa banyak bertanya. Selama beberapa waktu, Emma berpikir bagaimana menyelamatkan diri dari pria tak dikenalnya itu.
"Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan, selain menandatangani kontrak itu. Kamu sayang ayahmu, kan? Pikirkan dia kalau kamu tidak memikirkan dirimu sendiri. Dia punya banyak pinjaman dari rentenir. Kamu pikir mereka akan melepaskannya begitu saja?"
Emma terdiam saat Topan semakin dekat dengan wajahnya. Dia takut Topan akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.
"Maafkan aku, Emma. Ini hanya untuk dua tahun, setelah itu kamu bisa pergi dengan membawa beberapa aset sebagai hak milik kamu."
Topan berkata dengan suara setengah berbisik, terkesan memelas karena raut wajahnya yang terlihat berubah murung. Apa yang dia ingin Emma mengerti?
Emma benar-benar mengerti apa yang Topan inginkan darinya, tetapi Emma tidak setuju dengan taktik yang Topan gunakan. Jika yang Topan inginkan adalah seorang ahli waris, dia bisa mencari ibu pengganti dari sejumlah wanita yang mau melakukannya. Kenapa apa harus Emma?
Emma tidak percaya dengan perkataan Topan bahwa Emma adalah orang yang tepat untuk dinikahi. Otak Emma memberi sinyal bahwa perjanjian itu akan menjadi lebih dari sekedar pernikahan biasa.
Sekarang, kedekatan wajah mereka membuat bibir mereka hanya berjarak satu inci. Mereka saling bertukar napas. Hidung Topan menyentuh hidung Emma hingga Emma merasa gugup. Saat dia memejam mata, Topan menjauhkan kepala, lalu membawanya kembali ke meja.
"Pikirkan tentang ayahmu." Topan meletakkan pulpennya. "Bacalah dengan seksama. Waktumu lima menit."
Hening. Emma terkejut karena tindakan Topan yang menyeretnya dengan tiba-tiba.
"Saya sudah dapat pekerjaan dan akan dimulai besok. Jadi saya tidak butuh ini. Maaf, Anda boleh keluar sekarang. Saya harus istirahat," sahut Emma pada akhirnya.
"Apa kamu yakin? Menolaknya berarti kamu membiarkan mereka membunuh ayahmu."
Beberapa hari sebelumnya, kepala Emma sakit–masih pusing akibat kekerasan, seluruh tubuhnya sakit, tetapi Emma harus keluar dari rumah mantan suaminya. Dia tidak ingin tinggal di sana lagi. Rumah itu bagaikan neraka baginya yang tidak bahagia selama dua tahun pernikahan.Emma menyewa sebuah apartemen murah untuk ditempati. Barang-barangnya sudah disusun. Emma kelelahan karena berjalan sepanjang hari sambil menahan rasa sakit. Sayangnya, hal itu justru menambah rasa sakitnya, sebab Emma menyeret kopernya sejak pagi sampai akhirnya menemukan apartemen tersebut malam itu. Emma tidak bisa menahan diri agar tidak menangis. Sebentar lagi, perceraiannya akan terbongkar. Bagaimana dia bisa menyembunyikan agar ayahnya tidak tahu tentang kehidupannya yang tidak bahagia? Bahwa dia telah mengalami kekerasan dan penghinaan setiap hari selama pernikahannya. Siapa yang akan memahaminya? Siapa yang akan mendukung dan menolongnya?Namun, tidak ada yang mengetuk pintu apartemennya untuk menawarkan ba
Belum sempat Emma menyahut, telepon Emma berdering. Dia bicara beberapa menit, tetapi kepanikan di wajahnya terlihat jelas oleh Topan. "Apa yang terjadi?" Topan bertanya setelah Emma menutup telepon.Emma tiba-tiba berlari ke arah Topan, lantas menarik kerah bajunya dengan kuat. "SIALAN KAMU! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA AYAHKU?" Topan tercekik oleh cengkeraman kuat Emma, kepalanya bahkan menunduk ke arah Emma yang sangat marah menatapnya dengan mata merah, suaranya melengking parau dan bergetar,"Aku tidak melakukan apa-apa. Apa yang aku lakukan pada ayahmu?" tanya Topan bernada bingung. Ekspresinya yang sedikit pongah, mendadak hilang karena reaksi Emma. "PECUNDANG!" Emma meludah ke wajah Topan, yang membuat Topan spontan menutup matanya. "Kamu membuatnya tertekan karena hutangnya. Mereka akan membunuhnya kalau dia tidak melunasinya besok."Topan mengambil sapu tangan dari balik jas, mengelap bekas ludah sambil menahan amarah. Lalu, menarik tangan Emma dari kerah bajunya. "Itu bag
Emma sama sekali tidak mengerti tentang jalan hidupnya, yang masih membingungkan baginya bahwa semuanya berubah dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Dia juga tidak menyangka bahwa Topan akan memenuhi semua perkataannya untuk mengubah hidupnya secara drastis dalam sekejap. Gaun pengantin yang dia kenakan terlihat indah, riasan wajahnya juga cantik, Emma terlihat sangat menawan. Penata rias menciptakan momen yang tak terlupakan untuk Emma. Topan tidak berkedip saat melihat Emma di tempat pernikahan. Hanya kakeknya dan ayah Emma yang hadir dalam pernikahan yang tersembunyi itu. Beberapa orang lainnya adalah pengawal dan asistennya. "Selamat atas pernikahanmu," bisik Alex. "Kakek harap Kakek akan segera memiliki cicit." "Aku juga, Kakek. Semoga rencana ini berjalan lancar. Harus," sahut Topan, "aku sudah memikirkan rencana lain, tapi Erica tidak masuk dalam daftar berikutnya. Dia sulit diatur. Kita membutuhkan wanita seperti Emma. Dia sempurna untuk rencana ini." Namun, Topan lup
Kabar dari asisten pribadinya sangat mengejutkan hingga membuat Topan berada di dua sisi. Topan merasa senang dengan kabar itu, tetapi juga terkejut karena berita itu datang tepat di hari pernikahannya. Sepanjang pesta berlangsung, Topan tidak bisa menaruh fokusnya seperti sedia kala. Pikiran Topan terpecah antara merahasiakan statusnya dan Laura dari Emma, bagaimana dan kapan mengunjungi Laura, bagaimana menghadapi mertua saat mereka tahu pernikahannya bersama Emma, dan pertanyaan apakah Laura sudah benar-benar bangun dari komanya atau belum. Terlebih, kedatangan mertuanya yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi semakin pelik. Pesta sederhana yang mewah pun tidak dia nikmati, sebab Topan dipaksa berpikir keras untuk membuat situasi baik-baik saja, termasuk perasaannya. "Kedatangan mereka untuk memberitahu kabar tentang Nyonya Laura. Tuan Besar sudah mengurusnya, Pak. Saya tidak tahu apa yang beliau katakan pada mereka," ujar asisten ketika memberitahunya. "Tuan Besar juga meminta B
"HENTIKAN, NANCY! AKU SEDANG TIDAK INGIN!" pekik Topan sambil menyingkirkan tangan Nancy dari dalam celananya. Nancy langsung terdorong ke belakang, terkejut melihat mata Topan sengit menatap padanya, mukanya merah padam, dan napasnya tertahan. Jeremy langsung bangun dan menarik Nancy menjauh dari Topan, keluar dari area sofa tempat mereka duduk. "Aku sudah bilang tinggalkan kami! Majikanku sedang ingin sendiri! Pergi!" "Kau sangat kasar padaku, Jeremy!" geram Nancy dengan mata nyalang. "Jangan ganggu kami, atau Tuan Topan bisa membuatmu ditendang dari bar ini!" balas Jeremy tak kalah sengit. Nancy pergi membawa dongkol dan muka masam, merasa dihina oleh Jeremy sebagai perempuan. Meski dia seorang pelacur, tetapi Nancy tidak terima diperlakukan kasar oleh laki-laki manapun. Bagi Nancy, itu menginjak harga dirinya. Saat Jeremy berbalik untuk kembali ke sofa, Topan sedang meneguk Vodkanya hingga tandas. "Tambahkan lagi!" teriak Topan dari sofanya sambil mengangkat gelas,
Emma menggeliat antara sadar dan tidak sadar. Dia merasa tubuhnya seperti terhalang sesuatu, gerak tangannya tidak leluasa, dan ada benda berat di atas perut dan kakinya., Saat sedang membalik badan, Emma terkejut karena kepalanya terantuk benda keras. Dia berulang kali mengedipkan mata lalu mendelik melihat laki-laki memeluknya sangat erat. "Astaga! Siapa dia?" Emma sontak bangun dengan susah payah, matanya semakin mendelik seperti akan keluar saat melihat pria di sampingnya.Udara dingin, tidak berselimut, pria itu malah telanjang bulat tanpa merasa tulangnya ditusuk nyeri dingin. "Hei, lepaskan aku, kenapa kamu ada di sini? Siapa kamu?" Emma berusaha melepaskan tangan dan kaki dari belenggu pria itu, memukul-mukul bahu Topan di posisi duduk yang sulit. Topan tak bereaksi sama sekali. Suara parau Emma yang perlahan menghilang, dibalut ketakutan dan panik, tergambar jelas di dini hari. Rasa bingung Emma tak bisa dikatakan. Bersama lelaki tidak dikenal, telanjang, satu alas, memak
Dua hari lalu saat bangun dari koma, Laura menghabiskan beberapa jam untuk mengingat kisah yang menjadi sejarah dalam hidupnya. Dia ingat Topan dan suaranya yang berkata cinta serta memberinya semangat, orang tuanya dan kejadian sebelum kecelakaan. "Aku ingat tentang kecelakaan itu setelah Papa mengatakannya," sahut Laura bersuara serak dan sesegukan. Dia mengusap air mata dan mengelap ingus dalam kondisi berbaring. Binar mata Topan dan Laura sirna karena histeria Laura yang terkejut. Pertemuan mereka seharusnya disertai tangis haru bahagia. Namun, perasaan mereka bercampur sedih dan senang, bahkan tidak satu pun dari mereka ada yang bisa mengungkapkan rasa itu. Dua tahun menanti dalam rindu, ketidakpastian dan harap-harap cemas, Topan seperti kapal yang hilang arah. Dia terpuruk hingga berbulan-bulan tak punya semangat hidup. Waktu yang terasa hampa bagi Topan karena kehilangan belahan jiwa. "Bagaimana kabar kamu?" Emma bertanya lagi, kali ini dengan sorot mata yang berubah binar.
Jeremy berdecih kecewa, berkacak pinggang melihat ke pintu ruang utama dengan harap-harap cemas. Tak lama berselang, mobil mewah Topan berhenti di depan pintu utama. Jeremy menutup mata, mengutuk keadaan yang tidak mendukungnya. Lantas, segera menuju teras untuk menyambut Topan."Semua sudah siap?" Topan bertanya sambil lalu, menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. "Saya tidak menemukan Bibi Dagna di rumah, sejak tadi mencarinya. Pelayan juga tidak ada yang tahu ….""Apa maksud kamu Bibi Dagna tidak ditemukan?" Topan mendadak berhenti. Suaranya keras ketika mengklarifikasi kata-kata Jeremy.Asisten pribadi Topan itu menundukkan kepala sedikit. Intonasi Topan menunjukkan kemarahan dan keterkejutan karena Dagna yang dipikirnya menghilang. "Maksud saya, perintah Bapak belum saya sampaikan karena Bibi Dagna tidak ada di rumah sejak tadi. Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi Bibi tidak juga ditemukan," sahut Jeremy hati-hati saat menatap Topan. Topan hanya diam sambil menatap tanpa a