Belum sempat Emma menyahut, telepon Emma berdering. Dia bicara beberapa menit, tetapi kepanikan di wajahnya terlihat jelas oleh Topan.
"Apa yang terjadi?" Topan bertanya setelah Emma menutup telepon.
Emma tiba-tiba berlari ke arah Topan, lantas menarik kerah bajunya dengan kuat. "SIALAN KAMU! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA AYAHKU?"
Topan tercekik oleh cengkeraman kuat Emma, kepalanya bahkan menunduk ke arah Emma yang sangat marah menatapnya dengan mata merah, suaranya melengking parau dan bergetar,
"Aku tidak melakukan apa-apa. Apa yang aku lakukan pada ayahmu?" tanya Topan bernada bingung. Ekspresinya yang sedikit pongah, mendadak hilang karena reaksi Emma.
"PECUNDANG!" Emma meludah ke wajah Topan, yang membuat Topan spontan menutup matanya. "Kamu membuatnya tertekan karena hutangnya. Mereka akan membunuhnya kalau dia tidak melunasinya besok."
Topan mengambil sapu tangan dari balik jas, mengelap bekas ludah sambil menahan amarah. Lalu, menarik tangan Emma dari kerah bajunya.
"Itu bagus, berarti kamu harus menandatangani kontrak ajaib ini untuk menyelamatkannya. Jangan buang waktumu dengan omong kosong," kata Topan tanpa rasa bersalah. Kemudian, Topan mencengkeram lengan Emma menggiringnya sofa. "Tanda tangan sekarang!"
Ayah Emma berada dalam bahaya karena mereka mengatakan bahwa Emma hanya punya waktu delapan belas jam untuk melunasinya. Emma tidak pernah tahu untuk apa ayahnya meminjam begitu banyak uang kepada rentenir. Sejauh yang dia tahu, ayahnya memiliki sebuah bisnis kecil dan berjalan dengan baik. Terakhir kali dia meneleponnya dua minggu sebelum perceraian, tetapi ayahnya tidak mengatakan apa pun.
"Kamu tidak punya banyak waktu, Emma. Ayahmu ada di sana," kata Topan lagi sambil melihat jam tangannya. Hampir lima menit berlalu begitu saja.
Emma menyeka air mata yang sudah menetes, mengabaikan ucapan yang terdengar seperti badai yang menyakiti telinganya. Selain itu, dia sudah mengatakan bahwa Topan tidak bisa mendapatkannya dengan cara apa pun.
"Setelah kamu menandatanganinya, aku akan melunasi semua utangnya dan aku juga akan melindunginya. Apa yang kamu dapatkan setelah pernikahan ini, semuanya tertulis di dalam kontrak ini."
Emma menatap sadis pada Topan. "Kamu belum beritahu siapa kamu sebenarnya."
"Itulah alasanku menyuruhmu membacanya dengan cermat, supaya kamu tidak melewatkan poin-poinnya."
Topan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karena dia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk memastikan calon pengantin wanitanya aman dan selamat.
Emma membenci situasi yang terjadi karena jarak antara dia dan Topan sangat dekat. Mereka terlalu dekat sehingga Emma tidak bisa menghindari aroma harum Topan, sangat wangi dengan bentuk tubuh ideal yang terbungkus pakaian mahal. Rambut cokelatnya kusut, wajahnya terlihat lelah tanpa menghilangkan ketampanannya.
Tak tahan dengan situasi itu, Emma berpaling wajah. Dia juga sengaja mengulur waktu agar tak terlibat dalam pernikahan konyol garapan Topan yang tidak Emma tahu bibit dan bobotnya.
"Bagaimana kalau aku tidak bisa hamil dalam dua tahun atau bayinya tidak akan pernah lahir?"
Itu adalah masalah serius bagi Topan jika asumsi itu terjadi. Hal itu akan merusak rencananya untuk menyelamatkan hidupnya dari kehilangan generasi penerus demi kepentingan kekuasaan. Emma sengaja menanyakan hal itu untuk mencuci otak Topan pelan-pelan agar Topan berubah pikiran.
"Aku akan memikirkannya," jawab Topan mengejutkan Emma.
"Kamu seharusnya memikirkannya dari awal." Semakin banyak pertanyaan, semakin banyak yang terlewat, lalu Topan akan jenuh dan pergi dengan sendirinya. Itu tujuan Emma. "Lagi pula kamu harus memastikan kesehatanku lebih dulu sebelum memintaku menandatangani kontrak itu."
Topan mengambil kertas itu dan menunjukkannya pada Emma dari dekat.
"Tidak perlu. Karena setelah tanda tangan, kamu tidak akan bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi padaku."
Malang sekali nasib Emma, dijadikan tumbal mendapat keuntungan dalam situasi terjepit, dipaksa membuat keputusan cepat tanpa peduli kondisinya yang masih terluka karena ulah mantan suami.
Emma membenci Topan yang sudah membuat situasi mengerikan baginya demi mencapai tujuan. Dia membuat Emma melanggar prinsipnya sendiri, karena di bawah tekanan–Emma pada akhirnya menandatangani kontrak dengan pertimbangan nyawa ayahnya.
Emma melihat Topan tersenyum pada kertas itu. "Kerja bagus."
Lalu, Topan menelepon sebuah nomor dan berbicara dengan seseorang untuk mentransfer uangnya kepada si lintah darat. Kurang dari satu menit kemudian, dia menutup telepon.
"Selesai. Aku akan segera mempersiapkan pernikahan. Besok, asistenku akan menjemputmu untuk mencoba gaun, memeriksa kesehatan kamu dan membawamu ke Psikolog. Ingat, ini pernikahan yang tersembunyi. Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan ini, oke? Ini bersifat rahasia."
Emma terkejut, karena tidak menyangka akan secepat itu. "Tidak, aku takut. Aku tidak siap kalau secepat itu, apalagi besok. Tidak. Aku perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan lukaku."
"Harus, karena aku harus segera memiliki ahli waris. Apa pun jenis kelaminnya," kata Topan sambil melepas salinan, lalu menyimpan yang asli ke dalam tas kerja. "Karena itu kamu harus dibawa ke Psikolog. Mereka akan menyembuhkanmu."
"Bahkan kalau bayi itu perempuan?" tanya Emma terdengar ragu, karena ingin memastikan dia tidak salah mendengar 'tak peduli apapun jenis kelaminnya.'
"Aku lebih suka anak laki-laki daripada anak perempuan, tapi aku tidak bisa menghentikan takdir untuk tetap berpihak padaku, bukan?"
Untuk kali ini, entah apa yang membuat Emma tiba-tiba menyetujui kata-kata Topan. Dengan mengusap air mata yang membasahi pipi, Emma mengangguk.
"Kamu hanya perlu mempersiapkan diri dengan baik untuk pernikahan dan kehamilan. Tugasmu dimulai dari sekarang. Kamu berada di bawah pengawasanku," kata Topan lagi.
"Bagaimana dengan ayahku?" Wajah cemas Emma masih terlihat saat Topan meliriknya.
"Dia sekarang sudah aman," jawab Topan, "dan panggil aku Topan. Salinannya disimpan baik-baik karena pasti akan berguna untukmu."
"Baiklah." Emma menghela napas lega setelah ayahnya baik-baik saja, tetapi setelah Topan meninggalkan apartemennya, kepala Emma penuh dengan hal-hal yang tidak dia mengerti.
Emma membaca salinan kontrak dengan perasaan campur aduk. Di sana tertera identitas Topan sebagai direktur utama, berusia di atas tiga puluh tahun–yang semula mengecoh Emma karena penampilan, yang Emma kira berusia kurang dari tiga puluh tahun.
"Richo Nicho perusahaan pembuat minuman cokelat terbesar di Indonesia. Ini 'kan kantor tempatku bekerja," gumam Emma tidak percaya menatap kertas salinan
Emma sendiri hanya janda muda miskin dari perceraian yang masih digelar. Tubuhnya kurus, kusam, terlihat tekanan dalam dirinya. Meski punya pembawaan yang menarik, tetapi Emma tak memiliki pembawaan takdir yang menarik.
"BODOH ... BODOH ... BODOH!" Emma mengetuk kepala, lalu terduduk lemas di lantai. "Kenapa nasibku begini?"
Mereka turun di restoran mahal. Topan memesan menu-menu barat yang belum pernah Emma rasakan. Sambil menunggu pelayan mengantarkan makanan, Topan lanjut berbincang. Memperkenalkan banyak hal pada Emma tentang kehidupan orang-orang kaya, kebiasaan mereka dan lainnya."Aku sering melihatnya di tv. Kalian suka membuang-buang uang untuk barang-barang tidak penting. Sandal untuk ke WC saja harganya tiga juta Rupiah." Topan tidak terima dikatakan buang-buang uang hanya untuk sandal WC. Itu bukan buang-buang uang melainkan kualitas hidup dan prestige. "Emma, karena kamu bicara denganku maka aku masih mengerti. Tapi kalau kamu bicara dengan orang lain seperti tadi kamu akan ditertawakan. Tidak tahu apa-apa tentagn kehidupan orang kaya, kenapa membeli produk mahal hanya untuk dipakai di kamar mandi, kenapa beli tas mahal sampai satu milyar untuk satu tas."Topan mendekatkan dirinya lagi pada Emma. Dia ingin Emma memahami tentang gaya hidup dan cara pandang orang kaya dalam memaknai sesuatu b
"Kamu pernah ke sini?" Topan bertanya ketika mobil menginjak rem di Kota Tua. "Belum pernah, hanya sering mendengarnya. Katanya Kota Tua tempat wisata yang banyak nilai sejarah," kata Emma, terpana memandang pemandangan Kota Tua yang menakjubkan. Dengan menggendong Kia, Topan menggandeng tangan Emma masuk ke Kota Tua. Dia terlhat sangat keren dan menjadi pusat perhatian pengunjung di sana. Topan menggunakan kaca mata gelap, memakai pakaian kasual yang sederhana tetapi terlihat mahal.Emma awalnya tidak peduli dengan perhatian para perempuan di sana. Namun, dia menjadi risih pada akhirnya karena mereka turut meliriknya.Aroma parfum Topan juga sangat menggoda. Dia sangat wangi dan membuat perempuan semakin tidak bisa berpaling darinya. Emma tahu risiko menjadi istri orang ganteng dan kaya. Namun, apa mereka tidak bisa menjaga matanya sebentar saja?Entah apa yang membuat Emma mengeratkan jarinya di genggaman Topan, tetapi hatinya tidak suka melihat yang matanya lihat.Topan membawa
"Kamu tahu apa yang paling diinginkan seseorang yang mencinta?" Emma menoleh ketika pertanyaan Topan terdengar menggelikan di telinganya. Entah kenapa Topan terdengar seperti seorang pujangga kali ini."Aku tidak tahu. Aku tidak mengharapkan mencintai lagi karena itu menyakitkan," sahut Emma membuat Topan tertegun. "Aku hanya ingin bebas dan tenang, bahagia bersama Kia dan mewujudkan cita-citaku." Topan mendadak merasa kecil hati karena tidak dilibatkan dalam hidup Emma. Dia lalu bertanya, "Apa kamu tidak ingin bahagia bersamaku?" Emma menoleh padanya. Hati Emma berdesir dan dia merasa melambung ke awan. Emma merasa gugup dan kikuk, salah tingkah karena emosinya seketika berubah. "Apa aku salah kalau berkata 'mungkin' karena tidak mau terburu-buru?" "Kalau aku tidak mau menerima kata mungkin, bagaimana?" Topan malah membuat Emma terjun ke dasar jurang, tidak memiliki jalan keluar untuk naik lagi ke tebing. Kenapa dia suka sekali membingungkan Emma? Apa itu hobinya, membuat orang
Laura mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan Topan agar mantan suaminya itu terpancing amarah dan keceplosan mengatakan kebenaran tentang Erica."Saat dia disekap, aku juga ada di sana 'kan? Apa kamu lupa itu,Topan? Jadi sudah pasti aku tahu apa yang terjadi padanya.""Apa yang terjadi padanya?" serang Topan mulai mengikuti alur permainan Laura."Kamu suruh dia keluar menemui seseorang."Topan sempat menegang saat Laura mengatakan tentang perjanjiannya dengan Erica pada hari itu. Ekspresi itu sempat tertangkap oleh Laura meski sekilas. Perempuan itu tersenyum miring dan sinis melihat Topan masuk dalam permainannya. "Kamu dengar sendiri apa yang kukatakan padanya, lalu dia tewas bunuh diri meninggalkan surat permintaan maaf. Siapa yang menduga dia akan berakhir seperti itu? Mengenaskan. Aku tidak menyangka nekat yang dia miliki bisa sejauh itu."Laura memerhatikan Topan dengan ekspresi tajam. Mimik muka Topan ketika berbicara tampak sangat serius dan meyakinkan. Gerakan tubuhnya da
Topan terdiam kaku di depan ranjang Alex dengan perasaan sakit entah bagaimana mengatakannya. Dia menangis diam, tetapi tangannya menggenggam erat dan geram ketika memegang ujung besi ranjang tersebut. Setelah dokter mengatakan yang terjadi dan penyebab terjadinya penyakit tersebut, Topan sontak dihantui rasa takut. Dia bahkan melupakan Emma dan Kia yang menunggunya di luar. Dia ditemani Dagna menemui Alex. Topan tidak mempunyai kata-kata untuk dikatakan. Namun, di kepalanya bergelayut banyak hal yang membuat sesak dan penat. Satu-satunya orang yang dia miliki, temannya bermain, dan tempatnya berkeluh kesah, Alex akan menjadi mimpi buruk bagi Topan jika pria tua itu pergi. "Kita hanya bisa berdoa buat kakekmu," ujar Dagna mengusap punggung Topan untuk menenangkannya. "Maafkan Bibi karena lalai menjaga kakekmu."Dagna mengatakannya dengan suara dan bibir bergetar. Matanya belum berhenti meneteskan air matas sejak Topan mengajaknya masuk ke kamar Alex. "Kakek tidak boleh mati. Tid
"Tidak perlu, aku tahu kamu mengambil kesempatan." Emma memalingkan muka. Entah apa yang membuatnya kikuk dan pipinya merona.Emma juga tidak bisa menjabarkan bagaimana jantungnya berdetak tidak karuan dan sekujut tubuhnya mulai terasa gemetar."Kenapa kamu bilang begitu? Aku punya hak untuk melakukan itu. Kita suami istri. Jadi, apanya yang salah?"Emma tidak menggubris komentar Topan, melainkan beranjak menuju ke kasur, mengambil posisi di sebelah Kia. Topan juga melakukan hal serupa. Sebelumnya, dia mengirim pesan pada Jeremy untuk mengabarinya bila pesawat sudah tiba di bandara.Topan membelai pipi Kia. Dia merasa penat dan beban di bahu luruh ketika jarinya yang kasar dan besar menyentuh kulit Kia yang halus. Lelahnya pun menjadi hilang melihat Kia tidur lelap dengan polosnya."Ceritakan padaku, bagaimana masa kecilmu? Aku ingat kita tidak pernah membahas topik ini sebelumnya," kata Topan memandang Emma."Aku suka bermain layangan. Dulu aku sering bermain di lapangan dekat rumah