Share

Bab 4. Identitas

Belum sempat Emma menyahut, telepon Emma berdering. Dia bicara beberapa menit, tetapi kepanikan di wajahnya terlihat jelas oleh Topan. 

"Apa yang terjadi?" Topan bertanya setelah Emma menutup telepon.

Emma tiba-tiba berlari ke arah Topan, lantas menarik kerah bajunya dengan kuat. "SIALAN KAMU! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA AYAHKU?" 

Topan tercekik oleh cengkeraman kuat Emma, kepalanya bahkan menunduk ke arah Emma yang sangat marah menatapnya dengan mata merah, suaranya melengking parau dan bergetar,

"Aku tidak melakukan apa-apa. Apa yang aku lakukan pada ayahmu?" tanya Topan bernada bingung. Ekspresinya yang sedikit pongah, mendadak hilang karena reaksi Emma. 

"PECUNDANG!" Emma meludah ke wajah Topan, yang membuat Topan spontan menutup matanya. "Kamu membuatnya tertekan karena hutangnya. Mereka akan membunuhnya kalau dia tidak melunasinya besok."

Topan mengambil sapu tangan dari balik jas, mengelap bekas ludah sambil menahan amarah. Lalu, menarik tangan Emma dari kerah bajunya. 

"Itu bagus, berarti kamu harus menandatangani kontrak ajaib ini untuk menyelamatkannya. Jangan buang waktumu dengan omong kosong," kata Topan tanpa rasa bersalah. Kemudian, Topan mencengkeram lengan Emma menggiringnya sofa. "Tanda tangan sekarang!" 

Ayah Emma berada dalam bahaya karena mereka mengatakan bahwa Emma hanya punya waktu delapan belas jam untuk melunasinya. Emma tidak pernah tahu untuk apa ayahnya meminjam begitu banyak uang kepada rentenir. Sejauh yang dia tahu, ayahnya memiliki sebuah bisnis kecil dan berjalan dengan baik. Terakhir kali dia meneleponnya dua minggu sebelum perceraian, tetapi ayahnya tidak mengatakan apa pun.

"Kamu tidak punya banyak waktu, Emma. Ayahmu ada di sana," kata Topan lagi sambil melihat jam tangannya. Hampir lima menit berlalu begitu saja. 

Emma menyeka air mata yang sudah menetes, mengabaikan ucapan yang terdengar seperti badai yang menyakiti telinganya. Selain itu, dia sudah mengatakan bahwa Topan tidak bisa mendapatkannya dengan cara apa pun. 

"Setelah kamu menandatanganinya, aku akan melunasi semua utangnya dan aku juga akan melindunginya. Apa yang kamu dapatkan setelah pernikahan ini, semuanya tertulis di dalam kontrak ini." 

Emma menatap sadis pada Topan. "Kamu belum beritahu siapa kamu sebenarnya." 

"Itulah alasanku menyuruhmu membacanya dengan cermat, supaya kamu tidak melewatkan poin-poinnya." 

Topan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karena dia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk memastikan calon pengantin wanitanya aman dan selamat. 

Emma membenci situasi yang terjadi karena jarak antara dia dan Topan sangat dekat. Mereka terlalu dekat sehingga Emma tidak bisa menghindari aroma harum Topan, sangat wangi dengan bentuk tubuh ideal yang terbungkus pakaian mahal. Rambut cokelatnya kusut, wajahnya terlihat lelah tanpa menghilangkan ketampanannya. 

Tak tahan dengan situasi itu, Emma berpaling wajah. Dia juga sengaja mengulur waktu agar tak terlibat dalam pernikahan konyol garapan Topan yang tidak Emma tahu bibit dan bobotnya.

"Bagaimana kalau aku tidak bisa hamil dalam dua tahun atau bayinya tidak akan pernah lahir?" 

Itu adalah masalah serius bagi Topan jika asumsi itu terjadi. Hal itu akan merusak rencananya untuk menyelamatkan hidupnya dari kehilangan generasi penerus demi kepentingan kekuasaan. Emma sengaja menanyakan hal itu untuk mencuci otak Topan pelan-pelan agar Topan berubah pikiran. 

"Aku akan memikirkannya," jawab Topan mengejutkan Emma. 

"Kamu seharusnya memikirkannya dari awal." Semakin banyak pertanyaan, semakin banyak yang terlewat, lalu Topan akan jenuh dan pergi dengan sendirinya. Itu tujuan Emma. "Lagi pula kamu harus memastikan kesehatanku lebih dulu sebelum memintaku menandatangani kontrak itu." 

Topan mengambil kertas itu dan menunjukkannya pada Emma dari dekat. 

"Tidak perlu. Karena setelah tanda tangan, kamu tidak akan bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi padaku."

Malang sekali nasib Emma, dijadikan tumbal mendapat keuntungan dalam situasi terjepit, dipaksa membuat keputusan cepat tanpa peduli kondisinya yang masih terluka karena ulah mantan suami. 

Emma membenci Topan yang sudah membuat situasi mengerikan baginya demi mencapai tujuan. Dia membuat Emma melanggar prinsipnya sendiri, karena di bawah tekanan–Emma pada akhirnya menandatangani kontrak dengan pertimbangan nyawa ayahnya. 

Emma melihat Topan tersenyum pada kertas itu. "Kerja bagus."

Lalu, Topan menelepon sebuah nomor dan berbicara dengan seseorang untuk mentransfer uangnya kepada si lintah darat. Kurang dari satu menit kemudian, dia menutup telepon. 

"Selesai. Aku akan segera mempersiapkan pernikahan. Besok, asistenku akan menjemputmu untuk mencoba gaun, memeriksa kesehatan kamu dan membawamu ke Psikolog. Ingat, ini pernikahan yang tersembunyi. Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan ini, oke? Ini bersifat rahasia."

Emma terkejut, karena tidak menyangka akan secepat itu. "Tidak, aku takut. Aku tidak siap kalau secepat itu, apalagi besok. Tidak. Aku perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan lukaku." 

"Harus, karena aku harus segera memiliki ahli waris. Apa pun jenis kelaminnya," kata Topan sambil melepas salinan, lalu menyimpan yang asli ke dalam tas kerja. "Karena itu kamu harus dibawa ke Psikolog. Mereka akan menyembuhkanmu."

"Bahkan kalau bayi itu perempuan?" tanya Emma terdengar ragu, karena ingin memastikan dia tidak salah mendengar 'tak peduli apapun jenis kelaminnya.'

"Aku lebih suka anak laki-laki daripada anak perempuan, tapi aku tidak bisa menghentikan takdir untuk tetap berpihak padaku, bukan?"

Untuk kali ini, entah apa yang membuat Emma tiba-tiba menyetujui kata-kata Topan. Dengan mengusap air mata yang membasahi pipi, Emma mengangguk. 

"Kamu hanya perlu mempersiapkan diri dengan baik untuk pernikahan dan kehamilan. Tugasmu dimulai dari sekarang. Kamu berada di bawah pengawasanku," kata Topan lagi. 

"Bagaimana dengan ayahku?" Wajah cemas Emma masih terlihat saat Topan meliriknya. 

"Dia sekarang sudah aman," jawab Topan,  "dan panggil aku Topan. Salinannya disimpan baik-baik karena pasti akan berguna untukmu."

"Baiklah." Emma menghela napas lega setelah ayahnya baik-baik saja, tetapi setelah Topan meninggalkan apartemennya, kepala Emma penuh dengan hal-hal yang tidak dia mengerti. 

Emma membaca salinan kontrak dengan perasaan campur aduk. Di sana tertera identitas Topan sebagai direktur utama, berusia di atas tiga puluh tahun–yang semula mengecoh Emma karena penampilan, yang Emma kira berusia kurang dari tiga puluh tahun. 

"Richo Nicho perusahaan pembuat minuman cokelat terbesar di Indonesia. Ini 'kan kantor tempatku bekerja," gumam Emma tidak percaya menatap kertas salinan 

Emma sendiri hanya janda muda miskin dari perceraian yang masih digelar. Tubuhnya kurus, kusam, terlihat tekanan dalam dirinya. Meski punya pembawaan yang menarik, tetapi Emma tak memiliki pembawaan takdir yang menarik. 

"BODOH ... BODOH ... BODOH!" Emma mengetuk kepala, lalu terduduk lemas di lantai. "Kenapa nasibku begini?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status