Share

Menjalankan misi

sepuluh lewat empat puluh lima menit, angka itulah yang tertera pada layar ponselku saat Mas Tama melenggang masuk ke kamar dengan dua bingkisan di tangannya. 

Ia mengulurkan satu bingkisan itu kepadaku saat telah tepat berada di hadapanku. 

"Ini makanannya sudah sampai, makanlah!" ucapnya. 

"Terima kasih, Mas. Mas Tama temani aku makan di sini ya!" rengekku. 

"Iya, makanya aku bawa juga makananku ke sini, Han,"

Aku tersenyum mendengarnya, syukurlah ia mempunyai inisiatif untuk itu. 

Semoga saja ini awal yang baik untuk rumah tanggaku.

Kubuka bingkisan yang telah mendarat di genggamanku itu, terdapat boks berisi nasi, dan beberapa bungkus lauk pauk seperti udang balado, daging rendang dan beberapa potong timun dan selada. 

Kubuka satu persatu lauk pauk itu dengan gerakan seribu bayangan, agar aku selesai terlebih dahulu dari pada suamiku. 

Lalu kuserahkan kepada Mas Tama, 

"Ini, Mas, sudah aku bukakan,"

Ia nampak mengernyitkan dahi dalam beberapa detik, lalu menerima boks yang kuberikan dan menukar dengan yang ia pegang. 

Kubuka lagi boks yang tadi milik Mas Tama yang berisi semua lauk pauk dengan kondimen yang sama dengan isi boks satunya. 

Sungguh sangat menggugah selera. 

Aku pun melahap dan menikmati makanan tersebut. 

Tiba-tiba aku teringat artikel yang tadi kubaca. 

Aku harus memberanikan diri, jika suamiku terkesan cuek, maka aku yang harus memulai.

"Mas ... Ak!" Kusodorkan sesuap nasi beserta udang balado ke hadapan suamiku. 

Mas Tama nampak salah tingkah, aku jadi malu sendiri melihatnya. 

"Aku bisa makan sendiri, Han," tolaknya. 

"Mas ... " aku merengek manja.

Ia pun membuka mulutnya ragu, saat mengunyah, ia memalingkan wajahnya dariku. 

Semakin gemas aku dibuatnya, dan semakin menambah semangatku untuk meluluhkan suamiku ini. 

      Setelah makan aku memilih istirahat walau hanya sekedar berbaring dan memainkan ponselku. 

Mas Tama yang sedari selesai makan tadi keluar belum jua kunjung kembali. 

 Terdengar muazin mengumandangkan azan pertanda masuknya waktu salat zuhur.

Mas Tama masuk ke kamar dan mengajakku salat berjemaah. 

"Han, ayo salat!" himbaunya. 

"Iya, Mas, aku wudu dulu." Aku berjalan menuju kamar mandi.

Sebelum masuk kamar mandi aku menoleh ke arah Mas Tama yang duduk di sofa kamar, menungguku.

"Emangnya Mas sudah wudu?"

"Sudah, tadi di bawah, Han." sahutnya. 

Aku mengangguk lalu masuk ke kamar mandi.

 Saat keluar dari kamar mandi, rupanya Mas Tama telah menyiapkan peralatan salatku. 

Aku tersenyum melihatnya yang telah rapi dengan baju koko, dengan rambut jambulnya yang sedikit basah. 

MasyaAllah, rupanya air wudu menambah kadar ketampanan suamiku. 

Aku pun mengenakan mukena dan berdiri di belakang Mas Tama. 

Ia pun memasang kopiah di kepalanya lalu memulai salat dengan khusyuk. 

Aku segera meraih tangan suamiku setelah salam, lalu mencium punggung tangannya, takzim. Kami melanjutkan berdo'a sendiri-sendiri melangitkan harapan yang semoga segera terijabah. 

"Mas, aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku setelah selesai melantunkan do'a. 

"Boleh!" jawabnya singkat. 

"Apakah Mas Tama menyesali perjodohan kita? Setiap aku bertanya sesuatu, aku tak pernah mendapat jawaban yang gamblang dari Mas, dan sikap Mas yang terkesan dingin kepadaku," ucapku tertunduk menekuri lantai. 

"Kenapa kamu bertanya begitu, Han?" 

Mas Tama malah bertanya balik. 

"Aku hanya tak mau memaksakan kehendak, jika kenyataannya Mas Tama masih mencintai Pricilia," jelasku. 

"Hani ... Kamu yakin dengan pilihan orang tuamu bukan?! 

Begitulah aku yang juga yakin pilihan orang tuaku adalah yang terbaik untukku," jawabnya. 

Jawaban yang begitu bijak itu membuatku sedikit lega. 

Setidaknya ia tidak menolak perjodohan ini seperti yang di katakan Mama Anita saat hari pertama aku tinggal di rumah ini. 

"Mas, apakah kamu akan berusaha mencintaiku?" tanyaku spontan. 

Aku menutup mulutku karena merasa malu atas pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulutku. 

Mas Tama justru tersenyum menanggapi pertanyaanku. 

Lalu melanjutkan melipat sajadahnya. 

Kini Mas Tama menghadapku dan menatapku lekat.

Tiba-tiba ia meraih tanganku, lalu berkata "Hani, aku bukan tipikal orang yang pandai mengada-adakan apa yang tiada, dan meniadakan apa yang sebenarnya ada. Kita ikuti alur yang ada dan melakukan hal terbaik yang kita bisa. Selebihnya kita serahkan semua kepada Allah,"

Ucapannya menyejukkanku, bak embun yang membasahi dedaunan di pagi hari. 

Tiba-tiba terdengar lengkingan suara khas yang sudah pasti pemiliknya adalah Mama Anita. 

"Tama ... " panggilnya. 

Mas Tama segera melepas genggaman tangannya dan segera mendekat ke asal suara. 

Aku menghela nafas. 

"Hem ... Mengganggu saja" gumamku.

Aku segera melipat peralatan salatku, lalu menyimpannya. 

Aku tak mau ikut keluar, takut sakit hati setiap kali bertemu dengan mertuaku. 

" Rindu sekali rasanya sama Ibu dan Bapak, aku telpon saja, semoga tidak sedang sibuk,"

"Halo, Assalamu'alaikum, sapa wanita yang sangat kucintai di sebrang sana,"

"Wa'alaikumsalam, Bu, Ibu apa kabar?" tanyaku. 

"Alhamdulillah, kabar Ibu baik, Nak, "

"Bapak ... ?"

"Bapakmu ... " suara Ibu menggantung tak lagi terdengar. 

"Bapak kenapa, Bu? " 

"Bapak hanya sedang meriang, Nak, "

"Lo, kok Hani tidak dikabari sih, Bu, kalau bapak sakit,"

"Hanya meriang biasa, tadi juga sudah dibawa ke Bidan kok, Han," kata Ibu. 

"Bu, Hani kangen, besok Hani pulang ya, Hani pengen temenin Bapak," tak terasa air mataku menetes karena rasa rindu bercampur dengan khawatir atas keadaan Bapak. 

"Kamu bicarakan dulu sama suamimu, kalau sedang sibuk jangan dipaksakan ya," kata Ibu. 

"Iya, Bu. Hani boleh bicara sama Bapak?"

" Bapak baru saja bisa tidur setelah minum obat tadi, Han, kasihan kalau dibangunkan,"

"Ya sudah, Bu,  semoga Bapak lekas sembuh. Ibu sudah makan? "

"Sudah, Nak, kamu sendiri sudah makan?"

"Sudah, Bu, tadi Mas Tama pesankan makanan untuk Hani,"

"Loh,  emangnya kamu tidak masak?"

"Mas Tama yang memaksa, Bu, katanya sesekali biar Hani tidak kelelahan," dustaku, aku tak ingin membuat Bapak dan Ibu khawatir jika aku mengatakan keadaan kakiku. 

"Alhamdulillah, yang akur ya, Nak, nurut sama suami," 

"Iya, Bu, pasti,"

"Ya sudah, Ibu istirahat dulu ya, baik-baik di sana ya Nak"

"Iya, Bu, besok Hani kabari kalau Hani jadi pulang,"

"Iya Nak, Assalamu'alaikum," ucapnya mengakhiri percakapan kami. 

"Wa'alaikumsalam, Bu," jawabku.

Panggilan pun terputus. 

Tak sengaja terdengar kegaduhan dari depan kamar. 

Entah sepertinya suara Mas Tama. 

Ada apa lagi ya Allah... 

"Hani, keluar kamu!" pekik seseorang di luar sana. 

Aku pun membuka pintu kamar, dan di hadapanku sudah ada tiga manusia di antaranya Mas Tama,  Mama Anita dan Pricilia.

Belum sempat bertanya ada apa, tiba-tiba tangan Mama Anita mendarat tepat di pipiku. 

Seketika aku tersungkur, terdengar berlebihan memang, tapi kenyataannya aku tak dapat menjaga keseimbanganku karena tamparan yang cukup kuat, apa lagi kakiku tak sekuat sedia kala. 

"Mama ... " pekik Mas Tama. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status