"Kalian lanjutkan makannya, ya! Papa sudah selesai, mau lanjutkan kerjaan kantor yang tadi belum kelar, " ucap Papa."Iya, Pa," jawab Mas Tama.Setelah Papa meninggalkan meja makan, Mas Tama menatapku lagi dengan senyuman yang berhasil membuatku tersepona dengan ketampanannya. Eh ... Terpesona."Rupanya istriku ini pandai masak, ya!"Aku tersipu mendengar pujian dari suamiku itu."Ah, Mas Tama bisa saja. Di kampung, aku sudah biasa masak, Mas,""Berarti lain kali boleh dong kalau aku minta kamu masakin aku setiap hari, khusus untukku!" ucapnya, sambil mengerlingkan."Tentu boleh dong, Mas."&nb
"Aduh, Mas pelan-pelan, sakit banget nih," lirihku"Kamu tahan ya, Han, memang sekarang sakit, tapi nanti juga enakan,"Aku menggigit bibir bawahku menahan rasa sakit.*** Hari sakral yang dinanti kedua pihak keluarga akhirnya terlaksana.Acara yang cukup mewah menjadi pelengkap kebahagiaan pun digelar.Keindahan dekorasi lengkap dengan kibaran janur kuning membuatku takjub. Bagaimana tidak?!Acara luar biasa ini dipersembahkan untukku. Hari bahagia selalu terasa cepat berlalu.Walaupun pernikahan ini atas dasar perjodohan, namun aku rasa mas Tama tidaklah buruk.Dengan wajahnya yang tampan , dan sepertinya dia adalah orang yang baik.Kami dipertemukan satu bulan yang lalu oleh kedua orang tua kami.Dan, dua minggu kemudian kami bertuangan.Dan saat itulah telah ditetapkannya hari ini,menjadi hari terpenting dalam sejarah hidupku.Hanya satu minggu
"Eh, ma-maaf, Han," ucapnya gugup, seraya mencoba bangkit dari posisinya dengan wajah yang memerah.Sepertinya, mas Tama grogi, jadi salah tingkah begitu, aku terkekeh lirih."Mas, masa gendong aku aja nggak kuat," ejekku."Tadi kan udah gendong dari tangga sampe kamar , udah capek , makanya nggak kuat." Ia berjalan memunggungiku dengan body languange yang menggemaskan.Ia kembali meraih sapu dan mengerjakannya dengan gesit, sepertinya ingin segera menyembunyikan salah tingkahnya itu. Semenjak adegan bopong membopong yang mas Tama lakukan , muncul rasa aneh dari dalam diriku.Seperti contohnya, jantung berdebar acap kali dekat dengannya, dan merasa risau jika tak nampak batang hidungnya.Seperti malam ini,saat terbangun dari tidur ku tadi sore.Aku tak mendapati sosok mas Tama dalam jangkauan penglihatanku.Kulihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul tujuh malam.Ku paksakan berdiri dan me
Sudah satu minggu usia pernikahan kami, namun kami belum melakukan hubungan selayaknya suami istri yang sesungguhnya.Sebenarnya jika mas Tama meminta , aku tak akan menolaknya, karena aku sadar itu adalah haknya.Tapi memang kami masih merasa sama-sama canggung."Hani, aku minta maaf ya, jika selama ini ada sikapku yang kurang berkenan di hatimu," ucap mas Tama,sembari menggengam ragu jemariku.Aku terhenyak lalu membenarkan posisi dudukku.Aku merasa gugup dengan perlakuan mas Tama, terlebih ini adalah kali pertama mas Tama berlaku demikian."Tidak mengapa, Mas. Aku paham, lagi pula pertemuan kita ini bukan kehendak mas,bukan?! Melaiknkan kehendak orang tua kita." Tatapku nanar."Apalagi, mantan Mas yang begitu modis, berbanding terbalik dengan penampilanku yang lusuh ini," lanjutku. Air mata pun kembali menganak sungai."Apakah, Mama dan Pricilia menghinamu, Han?"Aku meng
Terdengar deritan pintu, itu berarti Mas Tama memang ingin menemui Pricilia."Dasar lelaki, padahal aku hanya ingin mengetes dia, kok malah ditemui beneran," cebikku.Ku raih ponselku yang tergeletak di samping lampu tidur, di layar ponsel tertera jam digital yang menunjukkan pukul sembilan malam.Aku hubungi Ibu dan Bapak aja lah, baru satu hari aku berada di sini, tetapi rasa rindu sudah sangat menggebu.Ku tekan tombol hijau dan tertera nomor ponsel bertuliskan nama Bapak.Bapak dan Ibu memang bukan tergolong orang berada, namun jika hanya sekadar ponsel yang hanya dapat menerima panggilan dan pesan pun beliau memilikinya.[Tuut ... Tuut ... Tuut]"Hallo assalamu'alaikum, Nduk," seketika terdengar suara setelah panggilan terhubung."Wa'alaikum salam, Bu, Ibu belum tidur ya? " tanyaku basa-basi."Belum, Nduk, jam segini kok telpon kemari, Nduk?  
"Hani ... " Panggilan dan sentuhan lembut di bahuku, menyadarkanku. "Eh... Iya, Mas, ada apa?" "Nanti aku sudah mulai kerja, kalau kakimu masih sakit, biar aku beritahu mama agar antarkan makanan ke kamar," ucapnya dengan ekspresi wajah datar. "Tidak usah, Mas, kakiku sudah mendingan, nanti biar aku turun saja," ujarku. Ia hanya mengangguk menanggapi ucapanku. Melihat ekspresinya begitu, ingin sekali kugoda dirinya.Suka perhatian tapi cuek, dasar MMTP alias malu malu tapi mau. Aku terkekeh sembari berceloteh dalam hati.Tapi entah mengapa aku menyukai perlakuan suamiku, apakah aku mulai menyukainya? "Kamu 'tu aneh ya, Han. Kadang bengong, kadang senyum-senyum sendiri, kesambet baru tau rasa." Mas Tama beranjak dari hadapanku. Kupandangi lelaki yang kini sudah resmi menjadi imamku tersebut, bukan hanya pekerja keras, ternyata ia juga cu
Mas Tama menatapku lekat.Entah tatapan yang berarti apa, akupun tak mengerti.Ketika tatapan kami bersirobok, aku terpaku beberapa detik.Tatapan mata yang tajam itu seolah mengisyaratkan ketidaksukaannya atas apa yang baru saja kuucapkan.Meskipun Mas Tama cenderung bersikap dingin, tapi ia tak pernah menatapku semarah itu.Aku lantas memalingkan wajah ke arah depan."Kamar sebelah? Maksud kamu apa, Han? ""Semalam kamu dan Pricilia kan yang di kamar sebelah? "Mataku mulai berkaca-kaca.Entah rasa macam apa ini, apakah ini cemburu?Atau aku seperti ini hanya karena merasa tak dihargai sebagai istri?Mataku memanas, rasanya tak perlu aku menangis di depan Mas Tama.Namun, mataku justru tak mau diajak kompromi.Seenaknya sendiri cairan bening itu lolos begitu saja."Itu tidak seperti yang kamu fikirkan, Han," sergahnya."La
"Aku temani sampai selesai, nanti aku antar kamu pulang sampai rumah!" ucapnya."Tapi, Mas, ... ""Ini perintah bukan pilihan!" pangkasnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku.Aku hanya mengangguk kecil.Setelah pesanan datang, aku dan Mas Tama menyantapnya tanpa banyak bicara.Sebenarnya, perasaan Mas Tama kepada Pricilia gimana sih sekarang? Aku takut jika Mas Tama hanya berpura-pura saja di hadapanku.Mendekati suapan terakhir, aku termenung memikirkan kehidupan yang tengah aku jalani ini.Apakah aku beruntung memiliki suami yang mapan dan tak terlalu buruk tabiatnya ini? Atau justru saat ini aku sedang terbelenggu dalam drama yang mereka semua sedang perankan?Entahlah ... Semoga Allah senantiasa memberikan jalan terbaik untukku."Cepat habiskan makanannya! Kita harus segera kembali untuk mengantre!"Aku tersadar dari lamunanku, dan segera menyapu bers