Semalaman Rachel mencari keluarga paman Freden namun tak kunjung menemukan mereka. Sedangkan Nerwin dan pasukannya membantu penduduk sekitar memadamkan api. Ketika pagi menjelang seluruh api di Abendbrise telah berhasil dipadamkan.. Menyisakan puing-puing rumah yang mengepulkan asap hitam. Bahkan beberapa bangunan tidak bisa diselamatkan dan runtuh begitu saja.
Nerwin dan anggota Mermaid Thalassa telah membantu menyelamatkan penduduk dan juga mengobati beberapa penduduk yang terluka. Salah seorang penduduk mengatakan bahwa pasukan Redrock tiba di kota sore itu dan langsung membakar kota dengan membabi buta. Mereka menghancurkan kereta kuda dan membunuh hewan ternak dan juga kuda mereka sehingga tidak ada yang bisa pergi jauh dari kota. Mereka juga telah membunuh walikota Abendbrise sehingga semua penduduk hanya bisa berlari menyelamatkan diri masing-masing.
R
Rachel menatap sosok yang berdiri diam di depannya. Masih sosok yang sama dengan yang ada di ingatannya satu bulan yang lalu. Pendiam dan angkuh. Namun dibalik itu, dia juga tetaplah sosok pelindung yang akan membantu siapapun.“Sudah puas menatapku?” tanya sosok itu membuat Rachel tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan dan beralih menatap rimbun pepohonan yang berada tak jauh dari tempat mereka.“Mengapa kau pergi ke Abendbrise?” tanya sosok itu.Sosok itu tak lain adalah Kenneth Alaric, Komandan Pasukan Vinetree. Pemuda yang dulu pernah menyelamatkannya, namun juga pemuda yang pernah menjerumuskannya dalam sebuah peristiwa berbahaya.Rachel hanya diam tak menjawab pertanyaan Kenneth. Baginya, tidak
Kenneth sedang merapikan pelana kudanya saat dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Pemuda itu tetap acuh dan mengabaikan seseorang yang telah berdiri di belakangnya. Ekhm … Sebuah suara deheman terdengar pelan. Tapi Kenneth tetap diam. Dia menarik kencang tali pelana kudanya memastikan dia terikat dengan benar. Mengambil beberapa perbekalan yang dia perlukan dan memasukkannya ke dalam kantong yang ada di sisi pelana kudanya. Memeriksa tapal kuda dari tunggangannya untuk memastikan perjalanannya akan lancar. Ekhm … Sebuah deheman kembali terdengar, namun kali ini lebih keras dan sedikit dipaksakan. Kenneth menarik satu sudut bibirnya sekilas dan berbalik. Dia bersikap seolah terkejut melihat Rachel berdiri di belakangnya.
Malam ini hujan mengguyur Abendbrise. Membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Tenda-tenda darurat yang di bangun oleh penduduk mulai bergetar pelan saat angin berhembus sedikit kencang. Cahaya lentera yang menemani mereka pun mulai ikut bergoyang mengikuti sang angina bergerak. Sedangkan orang-orang yang berteduh di dalamnya, hanya bisa diam dan berharap bahwa mereka bisa melewati malam itu dengan selamat. Rachel yang berada di tenda yang sama dengan keluarga Paman Freden hanya bisa menarik selimut miliknya dan berusaha menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil. Sebuah perasaan aneh terus menghantui Rachel sejak siang tadi. Perasaan gelisah atas sesuatu yang tidak bisa Rachel jelaskan. Bahkan berkali-kali dia menanyakan Nerwin apakah pasukan Redrock kembali, tapi pemuda itu tetap meyakinkan Rachel bahwa Redrock tidak akan kembali. Rachel melihat bibi Arwen
Sepasang tangan itu tengah bertaut rapat. Manik mata hitamnya terpejam erat dengan bibir yang bergerak pelan. Memanjatkan doa pada siapapun yang bersedia mendengar permintaannya. Hanya satu doa, ‘lindungi Crator selamanya’. Gadis itu, Rachel Chevalier. Sang gadis ajaib desa Fleure. Gadis tangguh dari Kota Delvish. Satu-satunya yang hidup dari sisa-sisa Dewwy. Gadis yang selamat dari tiga pembantaian kota. Gadis pembawa senjata ajaib, Jade Amora. Kini berdiri di tengah sisa kota Abendbrise dengan mata terpejam memanjatkan doa, berharap tidak ada lagi pembantaian atas sebuah kota. Gadis itu membuka matanya. Menengadahkan wajahnya ke atas langit. Melihat awan gelap yang perlahan memudar. Menyisakan serabut tipis dengan rintik hujan kecil yang masih menderanya. Gadis itu menghe
Ketika sebuah ambisi disimpan dengan baik di dalam ingatan seseorang maka ambisi tersebut akan berubah menjadi sebuah motivasi bagi orang tersebut. Namun ketika amarah disimpan dalam hati seseorang, maka amarah tersebut perlahan akan menumbuhkan sebuah dendam yang menggerogoti hati sosok tersebut. Seperti itulah yang tengah di rasakan oleh Ethan saat ini. Ambisinya untuk membuktikan kemampuannya sebagai Tuan Muda Klan Redrock mendorongnya untuk terus bergerak dan berusaha meraih apapun yang diinginkan oleh pemimpin Klan. Namun, beriringan dengan ambisi tersebut perlahan amarah muncul dalam diri Ethan ketika satu per satu targetnya tidak tercapai. Kemarahan dan kekecewaan dalam diri pemuda itu terus terkumpul dan menyatu. Menciptakan sebuah titik hitam pekat didalam hatinya, sebuah dendam. Sesuatu yang sangat kuat namun juga berbahaya jika tidak bisa dikendali
Entah siapa yang memulai namun dua pemuda itu telah saling menyerang dan melayangkan serangan masing-masing. Kilatan cahaya perak dan biru saling bersahutan saat keduanya melancarkan serangan. Diiringi suara petir dan hujan yang semakin deras, pertarungan dua tuan muda dari dua klan besar itu terasa semakin sengit. Ethan tongkat sihir peraknya dan Nerwin bersama tombak birunya. Seluruh pasukan Redrock yang berada di tempat kejadian terlihat waspada melihat pertarungan kedua pemuda itu. Dengan Lucinda yang berada di barisan terdepan pasukan, wanita itu hanya mendecih pelan saat satu serangan NErwin berhasil mengenai tubuh Ethan. Tanpa aba-aba wanita itu dengan mudahnya masuk kedalam pertarungan antar Ethan dan Nerwin, sehingga Nerwin harus bertarung melawan dua orang sekaligus. Rachel yang melihat gerakan tiba-tiba Lucinda lantas segera menarik belatinya dan menerjang wanita itu. Bunyi denting Snowdrop yang beradu dengan tongkat Lucinda seketika mengalihkan perhatian
Gelegar petir itu terdengar dahsyat dan memekakkan telinga. Ditambah dengan hujan deras dan angin kencang membuat siapapun pasti memilih untuk berdiam diri di dalam ruangan atau setidaknya mencari tempat untuk berteduh. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Kenneth. Segera setelah dia meninggalkan camp Vinetree dia bergegas memacu kudanya menuju Abendbrise. Mengabaikan hujan badai yang tengah mengguyur wilayah selatan, karena satu firasat dalam hatinya selalu meneriakkan bahwa badai ini bukanlah badai biasa. Kenneth memilih jalan pintas dengan melewati lembah sungai Hyeti untuk tiba di Abendbrise lebih cepat. Namun seperti yang seluruh orang ketahui, arus sungai dan jalur wilayah tersebut sangat terjal dan curam karena berdekatan dengan tebing-tebing teluk Feilas. “Kita harus bertahan, Fero.” Gumam pemuda itu pada kudanya.
Rachel menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar. Gadis itu menggeleng pelan masih tidak habis pikir dengan orang-orang yang berada di depannya.“Seberharga itukah Jade Amora itu bagi kalian?”“Ya, sangat.”Rachel marah. Sangat marah. Namun bukan pada dirinya melainkan pada Jade Amora. Kini dia menyadari bahwa kata-kata Putri Florian saat itu benar adanya, selama dia memiliki Jade Amora bahaya akan selalu mengikutinya. Namun, kini senjata itu bahkan tidak berada di tangannya. Mengapa senjata itu masih mengancam nyawanya?“Ambil saja. Kau bisa memilikinya,” tukas Rachel. Ethan dan Lucinda terheran. “Setelah kalian bisa mengalahkanku.”Rachel mengambil pedang Zurin dan berlar