"NERISSA!" teriak gadis itu.
Hanya ada tanah lapang dengan puing-puing bertebaran. Perlahan Rachel berjalan menuju reruntuhan itu. Mencoba memastikan bahwa itu bukan rumahnya. Berharap salah mengenali reruntuhan di depannya. Namun Rachel justru jatuh terduduk saat tak mendengar jawaban apapun melainkan melihat salah satu lukisan Nerissa yang diletakkan di beranda belakang jatuh di depannya. Reruntuhan itu adalah rumahnya.
Air mata Rachel menetes perlahan saat tahu ia terlambat. Rachel mencari disisi puing reruntuhan yang lain berharap mereka semua selamat dan berlindung di ruang bawah tanah. Namun hal yang ditemukannya justru menghancurkan hatinya. Dia menemukan adik-adiknya tertimpa reruntuhan itu. Merida yang memeluk adik-adiknya dan Nerissa yang masih memegang tangan Lily dan Sophie.
"Oh lihat, ada yang terlewat." Sebuah suara terdengar tak jauh di belakang Rachel.
Rachel berbalik dan memandang seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Dia berdiri diatas salah satu reruntuhan rumah sambil memandang Rachel dengan tatapan mencela. Wanita itu mengenakan pakaian serba merah dengan rambut hitam panjang yang melambai diterpa angin. Wajah wanita itu tertutup kain hitam transparan, namun Rachel masih bisa melihta bibir merah wanita itu yang melengkungkan senyuman.
"Siapa kau? Apa yang telah kau lakukan pada kota ini?" teriak Rachel marah pada wanita itu.
"Kau masih memiliki keberanian untuk bertanya? Aku sarankan kau segera lari sebelum temanku yang lain datang. Atau aku tidak akan bisa menjamin nyawamu aman bersamamu." Balas wanita itu.
Wanita itu berjalan dengan angkuh di atas reruntuhan sambil memamerkan senyumannya.
"Kau membunuh mereka." Gumam Rachel. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari bahwa wanita itu telah membunuh keluarganya.
Wanita itu tersenyum mendengar Rachel. Ia memainkan sebuah tongkat kecil di tangannya dengan jemari lentik miliknya. Tongkat sepanjang lengan Rachel namun sekilas tongkat itu terlihat seperti tulang manusia.
"Aku melihat ada sesuatu yang istimewa padamu. Apa kau memiliki sesuatu yang berharga? Selain nyawamu tentunya?" Tanya wanita itu dengan nada mencemooh. Tatapan matanya menilai Rachel dengan seksama.
"Kau .." wajah Rachel memerah menahan amarahnya.
"Oh lihat ekspresi itu, indah sekali. Apa kau sedang marah? Kau terlihat cantik saat marah." Wanita itu kembali mencibir Rachel. "Tapi aku tidak suka ada orang lain memasang ekspresi seperti itu padaku." Lanjutnya dengan suara yang dingin.
Wanita itu mengayunkan tongkatnya dan dalam sekejap tubuh Rachel melayang.
"Apa yang kau lakukan?” Rachel merasakan tubuhnya sekaan mengetat dan melayang begitu saja. Gadis itu meronta dengan keras dan berteriak, “TURUNKAN AKU!"
"Ah, tentu."
Wanita itu menyeringai pada Rachel, ia kembali mengayunkan tongkatnya dan membuat Rachel jatuh. Tubuh kecil gadis itu jatuh di atas reruntuhan rumahnya dan seketika membuat rasa nyeri menyebar di sekujur tubuh Rachel. Rachel melirik wanita itu yang hanya tersenyum singkat memandangnya yang kesakitan.
"Bukankah kau yang meminta?"
Rachel berusaha bangkit namun sebuah cahaya merah kembali mendekatinya. Cahaya merah itu keluar dari ujung tongkat wanita itu dan mengarah pada tubuh Rachel. Rachel merasakan rasa panas masuk ke tubuhnya. Panas itu menjalar pelan semakin lama semakin besar seakan ada api yang mengelilingi tubuhnya dan membakarnya.
"AHH.."
Wanita itu mulai tertawa lantang mendengar erangan kesakitan Rachel. Rachel terus meronta mencoba melawan rasa panas itu. Namun semakin keras Rachel meronta semakin besar pula rasa panas yang dia rasakan.
"Le-lepaskan dia." Sebuah suara pelan terdengar di antara reruntuhan.
Rachel melirik ke sumber suara itu dan melihat Nerissa yang perlahan bangkit dan mencoba keluar dari sana. Tubuh gadis itu dipenuhi debu dengan darah mengalir dari luka di tubuhnya.
"HA…HA…. . Memangnya apa yang bisa kau lakukan padaku? Bahkan untuk berdiri tegak saja kau tak mampu?" Ucap wanita itu setelah dia menghempaskan tangannya yang sontak membuat Nerissa terpental sejauh beberapa meter. Tubuhnya membentur reruntuhan bangunan membuat gadis itu kesakitan.
Rachel membelalak melihat apa yang wanita itu lakukan pada Nerissa.
"NERISSA!!"
Rachel melihat darah mengalir dari mulut Nerissa. Gadis itu masih sadar dan mencoba bangkit lagi.
"Kau... Ja-jangan sentuh saudariku... ." Ucap Rachel dengan suara terputus-putus.
"Aku bahkan tak perlu menyentuhnya untuk melukainya. Lihat!"
Wanita itu kembali mengayunkan tongkatnya dan rasa panas mendera Rachel semakin kuat. Rachel berteriak kesakitan membuat Nerissa semakin khawatir. Rasa panas dan sesak di sekitarnya membuat gadis itu meronta dengan keras. Rachel mulai kesulitan bernafas dan terbatuk-batuk pelan hingga cairan kental keluar dari mulut Rachel saat gadis itu mencoba melepaskan diri.
Wanita itu tersenyum puas melihat Rachel kesakitan. Dia melangkah mendekati Rachel dan semakin dekat wanita itu dengan Rachel semakin besar pula rasa sakit yang Rachel rasakan.
"Kau... Le-lepaskan dia…" Nerissa menatap wanita itu dengan tajam.
Tapi wanita itu kian tersenyum lebar. Mengangkat tangannya dan entah apapun itu gerakan singkat wanita itu sangat menyakiti Rachel akrena gadis itu berteriak semakin keras.
Akhhh…..
Setitik air mata meneter dari mata Nerissa saat melihat Rachel disiksa didepannya. Dengan sisa tenaga yang dia miliki gadis itu mengambil sebuah kalung dari sakunya lalu dengan perlahan mulai menggerakkan tangannya membuat pola tertentu. Sebuah cahaya biru kehijauan keluar dari jejak gerakan Nerissa. Gadis itu perlahan bangkit berdiri dan mengeluarkan sebuah perisai cahaya di sekitarnya.
"Jadi, kau memiliki Armor juga? Aku tebak adikmu ini tidak tahu." Gumam wanita itu melihat Nerissa.
"Lepaskan dia!" gumam Nerissa dengan suara lemah.
"Kenapa?" tanya wanita itu dengan tatapan mencemooh. Dia memiringkan kepalanya dan melayangkan sebuah senyuman mencela saat melihat Nerissa berjalan tertatih-tatih ke arahnya.
"Kau akan menyesal telah menyentuhnya."
Wanita itu tersenyum lebar mendengar ucapan Nerissa lalu tanpa melepaskan mantranya dari Rachel dia mulai menyerang Nerissa.
"Mari kita lihat, apakah aku akan menyesal atau tidak." Ucapnya.
Mata Nerissa menyipit mendengar jawaban wanita itu. Tanpa menunggu Nerissa mengayunkan tangannya dan menggerakkan benda apapun yang bisa dilemparkan ke arah wanita itu. Namun wanita itu dengan mudah menghempaskannya atau menghancurkan semua benda itu dengan cepat.
Nerissa tidak kehabisan akal. Gadis itu menggerakkan tangannya dan mengendalikan air yang ada di sebuah kolam kecil tak jauh darinya. Gadis itu memejamkan matanya sejenak sambil menggumamkan sesuatu, dalam sekejab air di kolam itu bergerak dan melayang kea rah Nerissa. Gadis itu merentangkan kedua tangannya menarik nafas dalam lalu mengepalkan tangan. Gerakannya itu membuat gumpalan air itu berubah menjadi ratusan jarum kecil yang melayang di depan gadis itu.
"Seorang Mermaid, di tanah Crator? apa kau tidak takut manusia akan memburumu?"
"Diam, kau!"
Rachel hanya bisa menahan kesakitan saat tubuhnya terus disiksa. Apalagi dia melihat Nerissa yang berduel dengan wanita di depannya. Rachel melihat Nerissa menggerakkan air didepannya dan mengubahnya menjadi jarum untuk menyerang wanita itu. Namun wanita itu terlalu kuat dan dengan mudah mematahkan semua serangan Nerissa.
"Kau akan kalah, mermaid…" ucap wanita itu sembari tertawa.
Lalu setelah menyelesaikan kalimatnya, wanita itu menyerang Nerissa dengan mantra dan di saat bersamaan dia menusukkan tongkatnya di perut Nerissa. Nerissa yang tak menyadari gerakan wanita itu tak bisa menghindar. Tubuhnya luruh saat wanita itu mencabut tongkatnya menyisakan jejak darah Nerissa di atasnya. Rachel melihat Nerissa jatuh dengan perut terluka.
"Sudah ku bilang dia akan kalah." Ucap wanita itu sembari tersenyum membersihkan tongkatnya.
Rachel marah mendengar ucapan wanita itu. Amarah memenuhi dirinya. Dalam sekejab dia seakan lupa dengan rasa panas yang sedari tadi menyiksanya. Nafasnya naik turun seiring dengan kemarahan yang semakin besar ia pendam. Dalam kalutnya tangan Rachel mengepal hingga buku-buku tangannya memutih.
Melihat perubahan pada reaksi Rachel wanita itu terdiam. Dia melihat Rachel yang seakan tidak tersiksa oleh sihir apinya lagi. Ia kembali mengarahkan tongkatnya pada Rachel meningkatkan pengaruh sihir apinya namun Rachel seperti tidak terpengaruh oleh hal itu.
"Apa? Apa yang terjadi?" gumam wanita itu bingung. "Kenapa sihirku tidak bisa melukainya?"
Wanita itu kembali mengarahkan tongkatnya. Kali ini ia mengeluarkan cahaya merah kehitaman pada Rachel cahaya itu kembali membuat Rachel kesakitan dan meronta. Rasa panas itu kembali menjalar dan diikuti rasa tersayat di seluruh tubuhnya. Rachel meringis kesakitan merasakan tubuhnya yang disiksa dengan rasa panas itu.
Namun tiba-tiba sebuah cahaya berwarna ungu terang memancar keluar dari tubuh Rachel. Cahaya itu mengikis sihir api yang dikeluarkan dari tongkat wanita itu. Perlahan cahaya itu melingkupi tubuh Rachel. Memberikan perasaan sejuk pada tubuhnya. Saat tubuh Rachel telah terbebas dari siksaan itu, perlahan cahaya itu berbalik dan mendekat ke arah wanita itu dan membuat tongkatnya hancur.
Tubuh Rachel kembali jatuh dengan keras diatas reruntuhan bangunan di bawahnya. Gadis itu memekik pelan dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Rachel tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tidak mempedulikan wanita itu dan perlahan merangkak mendekati tubuh Nerissa.
"Kenapa bisa begini?” Gumamnya lagi. "Beraninya kau menghancurkan tongkatku!"
Wanita itu bermaksud merapalkan mantra lain saat suara tapak kaki kuda terdengar mendekat bersamaan dengan sebuah panah melesat ke arahnya.
"Sebaiknya kau berhenti sekarang, Lucinda." Teriak seorang pria dikejauhan. Pria berjubah hitam dengan ikat kepala perak. Rachel mengingatnya, pria di hutan malam itu.
"Vinetree?" wanita itu berbalik memandang pemuda itu.
Derap langkah kaki kuda terdengar samar dikejauhan. Tampak beberapa prajurit muncul di tempat itu. Dipimpin oleh pria yang Rachel kenal, pria dengan ikat kepala perak. Tanpa sadar, raut lega terpancar di wajah Rachel. Setidaknya sekarang dia tidak lagi sendiri.
"Kukira kalian sudah menyerah setelah kalah dalam pertempuran terakhir kita.” Ucap wanita itu dengan angkuh. Pemuda itu tidak menjawab namun tangannya telah bersiap dengan sebuah anak panah lain yang siap dia lepaskan. Wanita itu bersungut marah memandang pemuda itu, dia melirik ke arah Rachel singkat dan menyeringai.
“Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama disini. Kalau begitu aku permisi." Ujar wanita itu. Dia melompat ke arah Nerissa lalu menghilang meninggalkan tempat itu.
"Nerissa .. Akhh.."
Bunyi retakan di tubuh Rachel terdengar cukup keras. Pria berikat kepala perak bergegas mendekati Rachel. Dalam keadaan setengah sadar Rachel tersenyum pada pria itu.
"Kenapa kita selalu bertemu dalam sebuah kekacauan?" Gumam Rachel.
Pria itu tidak menjawab tapi segera mengangkat tubuh Rachel dan membawanya menaiki kuda meninggalkan tempat itu. Setelah itu Rachel tak sadarkan diri.
Sekali lagi semuanya kembali terulang. Peristiwa sepuluh tahun lalu kembali terjadi. Pembantaian sebuah wilayah, jika dulu hanya sebuah desa kecil kini seluruh kota dibantai habis. Namun apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu masih menyisakan tanda tanya karena tidak ada yang tahu siapakah pelakunya sedangkan kini, pembataian itu dilakukan salah satu klan terbesar di Crator, Klan Redrock. Dulu Rachel tak tahu apa yang terjadi dan hanya bisa menangis saat menemukan tubuh kakek dan neneknya tak bernyawa tapi kini dia melihat sendiri bagaimana Nerissa dibunuh di hadapannya. Ingatan saat wanita bernama Lucinda itu menghempaskan tubuh Nerissa dan membuat gadis itu terluka parah kembali muncul di kepala Rachel. “Kau baik-baik saja?” Seorang gadis menyapa Rachel yang terus diam menundukkan kepalanya. Rachel enggan berbicara pada siapapun jadi dia hanya menggeleng pada gadis itu lalu beranjak pergi. Tak satupun dari penduduk Delvish yang selamat, kecuali dirinya. H
Rachel melihat apa yang tersisa dari rumah lamanya. Puing-puing yang berserakan dan debu tebal di sekitarnya. Dengan cekatan Rachel membersihkan tempat itu. Gadis mengeluarkan belatinya dan mulai memotong rumput dihalaman itu. Membersihkan tanaman liar dan membuang dedaunan kering yang ada di dalam rumah. Rachel juga mencari beberapa kain bekas untuk selimutnya nanti malam. Saat Rachel keluar, pemuda itu telah duduk dihalaman rumah. Dia tersenyum lebar melihat Rachel sambil menenteng beberapa ikan.“Aku menangkap beberapa ikan.”Rachel menghela nafas dan membiarkan pemuda itu membuat api unggun dihalaman rumahnya. Dapur milik neneknya sudah hancur tak bersisa. Dia tak mungkin membersihkan semua puing-puing ini dalam sehari tapi hari sudah mulai gelap.“Kau bisa memanggilku Ethan, Ethan Bedwyn.” Sekarang Rachel tahu nama pemuda yang selalu menganggunya itu, “dan aku seorang anggota Redrock.”Gerakan tangan Rache
Ethan membawa Rachel pergi ke Redrock, tanah para Wizard. Setelah mereka berhasil kabur dari para Vinetree Rachel memilih mencoba percaya pada Ethan meski sebagian dari dirinya masih merasa ragu karena identitas Ethan. Ethan membawa Rachel menuju kediamannya secara diam-diam. Ethan mengatakan bahwa mereka tidak di ijinkan membawa orang luar masuk ke dalam wilayah mereka.“Mengapa kau pergi kesana?”Pertanyaan itu sudah ditahan oleh Rachel sejak pertama kali dia tiba di Redrock tapi dia ingin tahu alasan kenapa Ethan membantunya. Ethan tak langsung menjawab pertanyaan Rachel tapi menghindar dengan memberikan beberapa pakaian bersih pada Rachel.“Sebaiknya ganti pakaianmu dulu.”Rachel menerima pakaian itu lalu pergi untuk mengganti pakaiannya. Setelah selesai berganti pakaian Rachel keluar dan tak menemukan Ethan disana. Rachel mengelilingi rumah Ethan yang jauh lebih sederhana dari panti asuhannya dulu. Sebuah ruang tamu, ruang mak
Rachel membawa Ethan menuju tempat dia menyimpan Jade Amora setelah dia melihat sendiri tubuh Nerissa yang masih bernafas di istana Redrock. Gadis itu ada disana meski nafasnya sangat lemah. Tapi setidaknya ada harapan bahwa dia akan selamat. Rachel membawa Ethan dan beberapa anggota Redrock kembali ke hutan Fleure karena disanalah dia menyembunyikannya. Rachel mengatakan bahwa mereka harus melewati air terjun yang ada disana. Namun dengan sekali ayunan tangan aliran air terjun itu terbelah dan memperlihatkan sebuah gua kecil disana. Rachel bermaksud masuk ke dalam tapi Ethan menghentikannya. “Aku tidak tahu jebakan apa yang kau siapkan disana. Sebaiknya kau diam disini bersamaku.” Ethan menatap pengawalnya dan dua orang di belakangnya masuk ke dalam gua itu. Sesuai perkiraan Ethan tak berapa lama terdengar teriakan dari dalam gua disertai suara geraman keras di dalam sana. Rachel bergidik ngeri mendengar suara geraman itu tapi Ethan biasa saja. Setelah menun
Camp itu berbeda dengan perkemahan yang berada di pegunungan Mitah. Tempat itu jauh lebih luas dan dihuni banyak orang. Namun dari sekian banyak penghuni campe tersebut tak ada satupun yang mengenal Rachel atau menatap Rachel dengan tatapan aneh. Mereka semua fokus pada apa yang mereka kerjakan tanpa sibuk mengurusi orang lain. Selain itu, perkemahan itu sangat berbeda dengan Camp sebelumnya karena bukan didirikan dengan banyak tenda melainkan bangunan permanen yang layaknya istana luas. Mereka menyebut kastil itu dengan sebutan Kastil Irdawn.Elise telah menceritakan sedikit sejarah tentang Crator yang tak pernah Rachel pedulikan sama sekali selama ini. Terutama tentang Redrock dan Vinetree. Dua Klan terbesar di kerajaan ini yang saling bersaing selama bertahun-tahun. Vinetree adalah golongan orang yang terlahir dengan kemampuan istimewa dalam hal kekuatan fisik. Mereka memiliki kelebihan yaitu memiliki senjata mereka sendiri sejak lahir. Senjata itu akan
Pandangan Rachel semakin kabur dan telinganya berdengung keras. Tiba-tiba tubuhnya terasa seperti terjatuh ke dalam air dingin yang sangat dalam. Penglihatannya memudar dan dia kesulitan bernafas. Rachel berusaha meraih apapun di sekitarnya namun sayangnya tak ada apapun disana. Semakin Rachel berusaha bergerak maka semakin dalam dia akan terjatuh dan semakin gelap pula pandangannya.Rachel terbangun di sebuah padang rumput hijau yang dipenuhi bunga. Kupu-kupu beterbangan di tempat itu mengelilingi Rachel. Mereka berkumpul dan membentuk siluet seorang gadis yang menunduk seakan memberi salam pada Rachel. Rcahel mengangguk samar pada kumpulan kupu-kupu itu yang segera beterbangan menjauh. Rachel bangkit dari tempatnya dan mulai menjelajahi tempat itu. Dia berjalan mengelilingi padang rumput itu hingga dia tiba di sebuah tebing tinggi.Saat dia tiba di tebing tinggi itu tiba-tiba langit berubah gelap. Rachel tak tahu apa yang terjadi padanya namun tubuhnya bergerak denga
“Rae..” Rachel mendengar suara Elise dan melihat gadis itu berlari ke arahnya. “Aku lupa ingin menanyakan sesuatu padamu, siapa Nerissa? Kau memanggilku Nerissa sebelum kau pingsan.” Jadi itu hanya bayangan Rachel saja rupanya. “Tidak, aku hanya salah lihat.” “Jadi siapa dia?” “Kupikir kau pernah mendengar namanya, gadis Mermaid.” “Tidak, bukan itu. Maksudku, siapa Nerissa dihidupmu?” Rachel mengamati wajah Elise dengan seksama. Jika orang lain yang bertanya tentang Nerissa saat ini, mungkin Rachel akan mencari berbagai alasan untuk menolak dan mengalihkan perhatian mereka tapi Elise. Gadis ini sedikit berbeda. Aura yang dipancarkan gadis ini mengingatkannya pada Nerissa yang dikenalnya. “Nerissa, dia saudariku. Kami tumbuh dan besar di panti asuhan yang sama. Bagiku dia seperti kakak yang selalu melindungi dan merawatku. Bahkan di akhir nafasnya dia masih berusaha melindungiku.” “Dia telah tiada?” “Aku
Hari ini salju kembali turun menyelimuti kastil Irdawn dengan selimut putih yang lembut dan basah. Di atas lapisan putih itu terdapat jejak halus yang mulai memudar. Sebuah jejak yang tercipta dari sebuah kaki mungil yang berjalan di pagi buta. Jejak tersebut berjalan lurus ke arah gerbang kastil dan menghilang dilebatnya hutan. Namun satu yang tidak di ketahui pemiliki jejak kaki itu. Bahwa ada jejak lain yang mengikutinya tak lama setelah kepergiannya. “Apa kau bermaksud mengelilingi Crator dengan berjalan kaki?” tanya Kenneth saat melihat tubuh kecil Rachel meringkuk dibawah pohon tak jauh dari sungai. Gadis itu mengangkat kepalanya dan membuka tudung yang menutupi wajahnya. Gadis itu tampak terkejut melihat Kenneth namun dia segera mengatur ekspresinya dan kembali menatap datar pada Kenneth. Dia menghela nafas pelan sehingga menciptakan kepulan uap didepan wajahnya yang memerah kedinginan. “Jangan bilang kau mau menukar kudamu dengan busurku. Maaf