Rachel kembali dengan tanda tanya di kepalanya tentang Jade. Otaknya terus berkata bahwa dia mengenal kata itu, namun setiap kali dia berusaha mengingat rasa sakit akan mendera kepalanya hingga membuat Rachel menyerah. Rachel memilih mengabaikan pikirannya itu dan bergegas kembali ke rumah.
Jalanan masih cukup ramai meski salju tipis kembali turun. Dari ujung jalan, Rachel bisa melihat Sophie, Lily, dan Peter sedang bermain di teras mereka di temani Nerissa. Mereka berlarian mengejar satu sama lain. Rachel melihat tawa dan kebahagiaan yang terpancar di mata mereka hingga tanpa sadar membuat kedua sudut bibir Rachel ikut terangkat membentuk senyuman. Keluarga kecilnya yang telah menemaninya sejak sepuluh tahun lalu. Rachel mempercepat langkahnya agar segera tiba disana, namun belum sempat Rachel sampai ia mendengar sebuah ledakan keras di belakangnya.
BOOM...
Ledakan yang amat keras itu membuat semua orang terkejut dan ketakutan. Beberapa penduduk yang tadinya beraktivitas tampak terkejut dan bertanya-tanya. Rachel berhenti dan mencari arah datangnya suara itu. Sebuah asap tebal tampak membumbung dari arah timur. Rachel berlari dan menghampiri Nerissa yang memeluk ketiga adiknya. Rachel segera mendekap mereka lalu membawa mereka masuk ke dalam rumah.
"Tenanglah Lily, itu hanya suara balon yang meletus. Kau akan baik-baik saja." Ucap Nerissa mencoba menenangkan si bungsu Lily.
Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya dan melihat wajah Nerissa dan Rachel. Dia tidak mengatakan apapun, tapi Rachel tahu Lily sedang ketakutan.
"Sebaiknya kita bawa mereka ke ruang bawah tanah, entah mengapa aku merasa gelisah sejak tadi." guman Rachel pada Nerissa.
Tak lama kemudian Merida, ibu asuh mereka datang. "Apa yang terjadi? Suara apa tadi?" tanyanya dengan panik. Rachel dan Nerissa sama-sama menggeleng.
"Apapun itu sebaiknya kita berlindung dulu sampai semuanya jelas." Merida mengajak Nerissa, Rachel dan anak-anak yang lain untuk pergi ke ruang bawah tanah. Namun tiba-tiba Rachel teringat dengan busurnya. saat tak ada yang memperhatikannya diam-diam Rachel keluar dan pergi ke hutan belakang. Dia terus berlari dan mencari pohon Oak tempatnya menyembunyikan benda itu. Rachel menggali tanah disekitar pohon itu dan menemukan busur itu masih disana. Dan anehnya cahaya keunguan kembali muncul dari busur itu.
"Apa arti cahaya ini?"
Rachel bermaksud segera kembali ke panti asuhan, namun tiba-tiba terdengar dentuman lain dari kota. Rachel melihat ke langit dan asap pekat semakin besar terlihat disana bahkan hampir membuat langit gelap. Rachel terus berlari sambil membawa busur di tangannya. Ia berlari dengan cepat mengabaikan rasa perih lengannya saat dia tak sengaja menabrak tanaman berduri di sekitarnya. Jalan hutan saat itu cukup licin karena salju. Membuat Rachel juga harus berhati-hati dalam memilih langkahnya jika ia tidak mau dirinya akan terluka.
Samar-samar Rachel bisa mendengar suara jeritan dikejauhan. Pikiran Rachel semakin kalut, ia penasaran dengan apa yang terjadi, dia mengkhawatirkan rumah dan adik-adiknya yang lain. Rachel telah sampai di tepi hutan dan ia bisa melihat rumahnya. Namun saat Rachel hendak keluar dari hutan, tiba-tiba sebuah angin berhembus kencang membuat langkah Rachel terhenti. Karena kuatnya hempasan angin itu Rachel sampai harus menutup matanya dan terhuyung beberapa langkah ke belakang. Saat Rachel kembali membuka matanya ia benar benar terkejut. Tubuhnya terasa lemas dan tanpa sadar dia melepaskan busur di tangannya.
***
Di sebuah kastil nan megah, sekelompok pasukan tengah bersiap dengan senjata dan peralatan mereka. Setiap orang berlari untuk mempersiapkan diri secepat mungkin dan segera berbaris di halaman utama kastil tersebut. Beberapa komandan pasukan telah berteriak dan bersiap menunggu para anggotanya.
Ditengah kesibukan itu, tampak seorang pemuda melangkah dengan cepat di koridor panjang diikuti dua orang pria di belakangnya. Wajah runcing dan mata abu-abu pria itu menatap lurus ke depan dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
“Sebuah pesan darurat dari Delvish baru saja dikirim. Redrock telah tiba disana.” Ucap pemuda disisi kiri.
Pemuda itu menghentikan langkahnya. Ikat kepala perak didahinya terlihat mengetat saat dia mengernyitkan dahinya. Pemuda yang tak lain adalah Jendral pasukan itu berbalik menatap kedua rekannya. Kenneth Alaric mengangkat alis dengan wajah dinginnya.
“Bagaimana mereka bisa tiba di Delvish secepat ini? Apa yang dilakukan mata-mata kita disana?”
“Ken, kejadian semalam sudah memicu gerakan bintang. Bahkan tanpa ada yang membocorkannya mereka pasti akan menyadari pergerakan senjata itu.” Ucap pemuda bermata coklat dengan rambut hitam ikal, dia adalah wakil jendral Vinetree, George le Fay. George memiringkan kepalanya meyakinkan Kenneth. Sedangkan Robin yang berdiri di samping George hanya bisa menahan nafas saat mendapat tatapan tajam Kenneth karena dialah yang bertanggung jawab atas semua mata-mata Vinetree.
“Bagaimana dengan pasukan kita yang ada di Delvish?”
“Mereka tidak akan meminta bantuan jika bisa mengatasinya sendiri.” Kali ini Robin mencoba memberanikan diri angkat bicara.
“Redrock semakin kuat beberapa tahun terakhir, satu dua pasukan kecil tidak akan mampu menahan mereka.” Tambah George.
Kenneth menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia baru saja kembali pagi ini dan memeriksa pasukannya setelah pertarungan di Delvish beberapa hari yang lalu. Dia ingat senjata itu masih berada disana, tapi tidak menyangka akan memancing Redrock secepat ini.
“Kenneth, sebenarnya apa yang istimewa dari senjata itu? Kenapa bahkan Putri Florian tidak mengizinkan kita menyentuhnya?” George kembali bertanya saat melihat Kenneth yang terdiam.
Tidak ada yang tahu apa yang mereka kejar selain Kenneth saat ini. Karena dari seluruh anggota pasukan khusus yang berangkat beberapa hari lalu, hanya Kenneth seorang yang kembali dengan selamat. Bahkan dia terluka cukup banyak meski tidak membahayakan nyawanya. Saat ditanya siapa yang melukainya, Kenneth berkata jelas bukan Redrock.
“Tidak perlu disentuh, senjata itu bisa melindungi dirinya sendiri.” Gumam Kenneth.
“Apakah menurutmu senjata itu memiliki hubungan dengan Jade?” tanya Robin.
“Entahlah.” Kenneth menggeleng pelan. “Tapi orang-orang itu menyebutnya Jade Amora.” Lanjutnya.
Ketiga pemuda itu sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Tidak yakin dengan situasi yang mereka hadapi saat ini. Namun juga tidak bisa berdiam saja tanpa mengambil tindakan.
“Entahlah, apapun itu sekarang kita harus pergi ke Delvish,” cetus Robin setelah ketiga terdiam selama beberapa saat.
George mengangguk setuju dan memandang Kenneth. Pemuda itu telah memasang tampang dinginnya dan menatap tajam pada Robin. Satu hal yang dilupakan oleh Robin, Kenneth tidak suka situasi yang tidak terduga seperti ini. Kemungkinan besar Robin akan segera mendapatkan ceramah segera setelah masalah ini usai.
“Harusnya hal ini tidak akan terjadi jika kita memiliki pengawas yang lebih disiplin.” Gumam Kenneth.
“Rakyat Delvish adalah prioritas kita saat ini,” ucap George mengingatkan Kenneth. “Jaga markas. Jangan sampai kami tiba dan menemukan Markas ini hancur dibawah pengawasanmu.” Tambah George. Dia menepuk pelan bahu Robin yang mulai bergetar ketakutan karena tatapan tajam Kenneth.
Kenneth tidak berkata apapun tapi bergegas menuju kudanya yang telah di siapkan tepat didepan gerbang utama kastil. Pemuda itu segera menaiki kudanya diikuti seluruh pasukan dibelakangnya. Mengenakan penutup wajah mereka dan menarik tali kekang kudanya.
Hari ini dia harus mengenyahkan kegelapan yang ada di Delvish atau Delvish yang akan sirna didalam kegelapan itu.
“Berangkat!”
"NERISSA!" teriak gadis itu.Hanya ada tanah lapang dengan puing-puing bertebaran. Perlahan Rachel berjalan menuju reruntuhan itu. Mencoba memastikan bahwa itu bukan rumahnya. Berharap salah mengenali reruntuhan di depannya. Namun Rachel justru jatuh terduduk saat tak mendengar jawaban apapun melainkan melihat salah satu lukisan Nerissa yang diletakkan di beranda belakang jatuh di depannya. Reruntuhan itu adalah rumahnya.Air mata Rachel menetes perlahan saat tahu ia terlambat. Rachel mencari disisi puing reruntuhan yang lain berharap mereka semua selamat dan berlindung di ruang bawah tanah. Namun hal yang ditemukannya justru menghancurkan hatinya. Dia menemukan adik-adiknya tertimpa reruntuhan itu. Merida yang memeluk adik-adiknya dan Nerissa yang masih memegang tangan Lily dan Sophie."Oh lihat, ada yang terlewat." Sebuah suara terdengar tak jauh di belakang Rachel.Rachel berbalik dan memandang seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Dia b
Sekali lagi semuanya kembali terulang. Peristiwa sepuluh tahun lalu kembali terjadi. Pembantaian sebuah wilayah, jika dulu hanya sebuah desa kecil kini seluruh kota dibantai habis. Namun apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu masih menyisakan tanda tanya karena tidak ada yang tahu siapakah pelakunya sedangkan kini, pembataian itu dilakukan salah satu klan terbesar di Crator, Klan Redrock. Dulu Rachel tak tahu apa yang terjadi dan hanya bisa menangis saat menemukan tubuh kakek dan neneknya tak bernyawa tapi kini dia melihat sendiri bagaimana Nerissa dibunuh di hadapannya. Ingatan saat wanita bernama Lucinda itu menghempaskan tubuh Nerissa dan membuat gadis itu terluka parah kembali muncul di kepala Rachel. “Kau baik-baik saja?” Seorang gadis menyapa Rachel yang terus diam menundukkan kepalanya. Rachel enggan berbicara pada siapapun jadi dia hanya menggeleng pada gadis itu lalu beranjak pergi. Tak satupun dari penduduk Delvish yang selamat, kecuali dirinya. H
Rachel melihat apa yang tersisa dari rumah lamanya. Puing-puing yang berserakan dan debu tebal di sekitarnya. Dengan cekatan Rachel membersihkan tempat itu. Gadis mengeluarkan belatinya dan mulai memotong rumput dihalaman itu. Membersihkan tanaman liar dan membuang dedaunan kering yang ada di dalam rumah. Rachel juga mencari beberapa kain bekas untuk selimutnya nanti malam. Saat Rachel keluar, pemuda itu telah duduk dihalaman rumah. Dia tersenyum lebar melihat Rachel sambil menenteng beberapa ikan.“Aku menangkap beberapa ikan.”Rachel menghela nafas dan membiarkan pemuda itu membuat api unggun dihalaman rumahnya. Dapur milik neneknya sudah hancur tak bersisa. Dia tak mungkin membersihkan semua puing-puing ini dalam sehari tapi hari sudah mulai gelap.“Kau bisa memanggilku Ethan, Ethan Bedwyn.” Sekarang Rachel tahu nama pemuda yang selalu menganggunya itu, “dan aku seorang anggota Redrock.”Gerakan tangan Rache
Ethan membawa Rachel pergi ke Redrock, tanah para Wizard. Setelah mereka berhasil kabur dari para Vinetree Rachel memilih mencoba percaya pada Ethan meski sebagian dari dirinya masih merasa ragu karena identitas Ethan. Ethan membawa Rachel menuju kediamannya secara diam-diam. Ethan mengatakan bahwa mereka tidak di ijinkan membawa orang luar masuk ke dalam wilayah mereka.“Mengapa kau pergi kesana?”Pertanyaan itu sudah ditahan oleh Rachel sejak pertama kali dia tiba di Redrock tapi dia ingin tahu alasan kenapa Ethan membantunya. Ethan tak langsung menjawab pertanyaan Rachel tapi menghindar dengan memberikan beberapa pakaian bersih pada Rachel.“Sebaiknya ganti pakaianmu dulu.”Rachel menerima pakaian itu lalu pergi untuk mengganti pakaiannya. Setelah selesai berganti pakaian Rachel keluar dan tak menemukan Ethan disana. Rachel mengelilingi rumah Ethan yang jauh lebih sederhana dari panti asuhannya dulu. Sebuah ruang tamu, ruang mak
Rachel membawa Ethan menuju tempat dia menyimpan Jade Amora setelah dia melihat sendiri tubuh Nerissa yang masih bernafas di istana Redrock. Gadis itu ada disana meski nafasnya sangat lemah. Tapi setidaknya ada harapan bahwa dia akan selamat. Rachel membawa Ethan dan beberapa anggota Redrock kembali ke hutan Fleure karena disanalah dia menyembunyikannya. Rachel mengatakan bahwa mereka harus melewati air terjun yang ada disana. Namun dengan sekali ayunan tangan aliran air terjun itu terbelah dan memperlihatkan sebuah gua kecil disana. Rachel bermaksud masuk ke dalam tapi Ethan menghentikannya. “Aku tidak tahu jebakan apa yang kau siapkan disana. Sebaiknya kau diam disini bersamaku.” Ethan menatap pengawalnya dan dua orang di belakangnya masuk ke dalam gua itu. Sesuai perkiraan Ethan tak berapa lama terdengar teriakan dari dalam gua disertai suara geraman keras di dalam sana. Rachel bergidik ngeri mendengar suara geraman itu tapi Ethan biasa saja. Setelah menun
Camp itu berbeda dengan perkemahan yang berada di pegunungan Mitah. Tempat itu jauh lebih luas dan dihuni banyak orang. Namun dari sekian banyak penghuni campe tersebut tak ada satupun yang mengenal Rachel atau menatap Rachel dengan tatapan aneh. Mereka semua fokus pada apa yang mereka kerjakan tanpa sibuk mengurusi orang lain. Selain itu, perkemahan itu sangat berbeda dengan Camp sebelumnya karena bukan didirikan dengan banyak tenda melainkan bangunan permanen yang layaknya istana luas. Mereka menyebut kastil itu dengan sebutan Kastil Irdawn.Elise telah menceritakan sedikit sejarah tentang Crator yang tak pernah Rachel pedulikan sama sekali selama ini. Terutama tentang Redrock dan Vinetree. Dua Klan terbesar di kerajaan ini yang saling bersaing selama bertahun-tahun. Vinetree adalah golongan orang yang terlahir dengan kemampuan istimewa dalam hal kekuatan fisik. Mereka memiliki kelebihan yaitu memiliki senjata mereka sendiri sejak lahir. Senjata itu akan
Pandangan Rachel semakin kabur dan telinganya berdengung keras. Tiba-tiba tubuhnya terasa seperti terjatuh ke dalam air dingin yang sangat dalam. Penglihatannya memudar dan dia kesulitan bernafas. Rachel berusaha meraih apapun di sekitarnya namun sayangnya tak ada apapun disana. Semakin Rachel berusaha bergerak maka semakin dalam dia akan terjatuh dan semakin gelap pula pandangannya.Rachel terbangun di sebuah padang rumput hijau yang dipenuhi bunga. Kupu-kupu beterbangan di tempat itu mengelilingi Rachel. Mereka berkumpul dan membentuk siluet seorang gadis yang menunduk seakan memberi salam pada Rachel. Rcahel mengangguk samar pada kumpulan kupu-kupu itu yang segera beterbangan menjauh. Rachel bangkit dari tempatnya dan mulai menjelajahi tempat itu. Dia berjalan mengelilingi padang rumput itu hingga dia tiba di sebuah tebing tinggi.Saat dia tiba di tebing tinggi itu tiba-tiba langit berubah gelap. Rachel tak tahu apa yang terjadi padanya namun tubuhnya bergerak denga
“Rae..” Rachel mendengar suara Elise dan melihat gadis itu berlari ke arahnya. “Aku lupa ingin menanyakan sesuatu padamu, siapa Nerissa? Kau memanggilku Nerissa sebelum kau pingsan.” Jadi itu hanya bayangan Rachel saja rupanya. “Tidak, aku hanya salah lihat.” “Jadi siapa dia?” “Kupikir kau pernah mendengar namanya, gadis Mermaid.” “Tidak, bukan itu. Maksudku, siapa Nerissa dihidupmu?” Rachel mengamati wajah Elise dengan seksama. Jika orang lain yang bertanya tentang Nerissa saat ini, mungkin Rachel akan mencari berbagai alasan untuk menolak dan mengalihkan perhatian mereka tapi Elise. Gadis ini sedikit berbeda. Aura yang dipancarkan gadis ini mengingatkannya pada Nerissa yang dikenalnya. “Nerissa, dia saudariku. Kami tumbuh dan besar di panti asuhan yang sama. Bagiku dia seperti kakak yang selalu melindungi dan merawatku. Bahkan di akhir nafasnya dia masih berusaha melindungiku.” “Dia telah tiada?” “Aku