Share

Bagian 4 : Darkness in Delvish

Rachel kembali dengan tanda tanya di kepalanya tentang Jade. Otaknya terus berkata bahwa dia mengenal kata itu, namun setiap kali dia berusaha mengingat rasa sakit akan mendera kepalanya hingga membuat Rachel menyerah. Rachel memilih mengabaikan pikirannya itu dan bergegas kembali ke rumah.

Jalanan masih cukup ramai meski salju tipis kembali turun. Dari ujung jalan, Rachel bisa melihat Sophie, Lily, dan Peter sedang bermain di teras mereka di temani Nerissa. Mereka berlarian mengejar satu sama lain. Rachel melihat tawa dan kebahagiaan yang terpancar di mata mereka hingga tanpa sadar membuat kedua sudut bibir Rachel ikut terangkat membentuk senyuman. Keluarga kecilnya yang telah menemaninya sejak sepuluh tahun lalu. Rachel mempercepat langkahnya agar segera tiba disana, namun belum sempat Rachel sampai ia mendengar sebuah ledakan keras di belakangnya.

BOOM...

Ledakan yang amat keras itu membuat semua orang terkejut dan ketakutan. Beberapa penduduk yang tadinya beraktivitas tampak terkejut dan bertanya-tanya. Rachel berhenti dan mencari arah datangnya suara itu. Sebuah asap tebal tampak membumbung dari arah timur. Rachel berlari dan menghampiri Nerissa yang memeluk ketiga adiknya. Rachel segera mendekap mereka lalu membawa mereka masuk ke dalam rumah.

"Tenanglah Lily, itu hanya suara balon yang meletus. Kau akan baik-baik saja." Ucap Nerissa mencoba menenangkan si bungsu Lily.

Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya dan melihat wajah Nerissa dan Rachel. Dia tidak mengatakan apapun, tapi Rachel tahu Lily sedang ketakutan.

"Sebaiknya kita bawa mereka ke ruang bawah tanah, entah mengapa aku merasa gelisah sejak tadi." guman Rachel pada Nerissa.

Tak lama kemudian Merida, ibu asuh mereka datang. "Apa yang terjadi? Suara apa tadi?" tanyanya dengan panik. Rachel dan Nerissa sama-sama menggeleng.

"Apapun itu sebaiknya kita berlindung dulu sampai semuanya jelas." Merida mengajak Nerissa, Rachel dan anak-anak yang lain untuk pergi ke ruang bawah tanah. Namun tiba-tiba Rachel teringat dengan busurnya. saat tak ada yang memperhatikannya diam-diam Rachel keluar dan pergi ke hutan belakang. Dia terus berlari dan mencari pohon Oak tempatnya menyembunyikan benda itu. Rachel menggali tanah disekitar pohon itu dan menemukan busur itu masih disana. Dan anehnya cahaya keunguan kembali muncul dari busur itu.

"Apa arti cahaya ini?"

Rachel bermaksud segera kembali ke panti asuhan, namun tiba-tiba terdengar dentuman lain dari kota. Rachel melihat ke langit dan asap pekat semakin besar terlihat disana bahkan hampir membuat langit gelap. Rachel terus berlari sambil membawa busur di tangannya. Ia berlari dengan cepat mengabaikan rasa perih lengannya saat dia tak sengaja menabrak tanaman berduri di sekitarnya. Jalan hutan saat itu cukup licin karena salju. Membuat Rachel juga harus berhati-hati dalam memilih langkahnya jika ia tidak mau dirinya akan terluka.

Samar-samar Rachel bisa mendengar suara jeritan dikejauhan. Pikiran Rachel semakin kalut, ia penasaran dengan apa yang terjadi, dia mengkhawatirkan rumah dan adik-adiknya yang lain. Rachel telah sampai di tepi hutan dan ia bisa melihat rumahnya. Namun saat Rachel hendak keluar dari hutan, tiba-tiba sebuah angin berhembus kencang membuat langkah Rachel terhenti. Karena kuatnya hempasan angin itu Rachel sampai harus menutup matanya dan terhuyung beberapa langkah ke belakang. Saat Rachel kembali membuka matanya ia benar benar terkejut. Tubuhnya terasa lemas dan tanpa sadar dia melepaskan busur di tangannya.

***

Di sebuah kastil nan megah, sekelompok pasukan tengah bersiap dengan senjata dan peralatan mereka. Setiap orang berlari untuk mempersiapkan diri secepat mungkin dan segera berbaris di halaman utama kastil tersebut. Beberapa komandan pasukan telah berteriak dan bersiap menunggu para anggotanya.

Ditengah kesibukan itu, tampak seorang pemuda melangkah dengan cepat di koridor panjang diikuti dua orang pria di belakangnya. Wajah runcing dan mata abu-abu pria itu menatap lurus ke depan dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

“Sebuah pesan darurat dari Delvish baru saja dikirim. Redrock telah tiba disana.” Ucap pemuda disisi kiri.

Pemuda itu menghentikan langkahnya. Ikat kepala perak didahinya terlihat mengetat saat dia mengernyitkan dahinya. Pemuda yang tak lain adalah Jendral pasukan itu berbalik menatap kedua rekannya. Kenneth Alaric mengangkat alis dengan wajah dinginnya.

“Bagaimana mereka bisa tiba di Delvish secepat ini? Apa yang dilakukan mata-mata kita disana?”

“Ken, kejadian semalam sudah memicu gerakan bintang. Bahkan tanpa ada yang membocorkannya mereka pasti akan menyadari pergerakan senjata itu.” Ucap pemuda bermata coklat dengan rambut hitam ikal, dia adalah wakil jendral Vinetree, George le Fay. George memiringkan kepalanya meyakinkan Kenneth. Sedangkan Robin yang berdiri di samping George hanya bisa menahan nafas saat mendapat tatapan tajam Kenneth karena dialah yang bertanggung jawab atas semua mata-mata Vinetree.

“Bagaimana dengan pasukan kita yang ada di Delvish?”

“Mereka tidak akan meminta bantuan jika bisa mengatasinya sendiri.” Kali ini Robin mencoba memberanikan diri angkat bicara.

“Redrock semakin kuat beberapa tahun terakhir, satu dua pasukan kecil tidak akan mampu menahan mereka.” Tambah George.

Kenneth menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia baru saja kembali pagi ini dan memeriksa pasukannya setelah pertarungan di Delvish beberapa hari yang lalu. Dia ingat senjata itu masih berada disana, tapi tidak menyangka akan memancing Redrock secepat ini.

“Kenneth, sebenarnya apa yang istimewa dari senjata itu? Kenapa bahkan Putri Florian tidak mengizinkan kita menyentuhnya?” George kembali bertanya saat melihat Kenneth yang terdiam.

Tidak ada yang tahu apa yang mereka kejar selain Kenneth saat ini. Karena dari seluruh anggota pasukan khusus yang berangkat beberapa hari lalu, hanya Kenneth seorang yang kembali dengan selamat. Bahkan dia terluka cukup banyak meski tidak membahayakan nyawanya. Saat ditanya siapa yang melukainya, Kenneth berkata jelas bukan Redrock.

“Tidak perlu disentuh, senjata itu bisa melindungi dirinya sendiri.” Gumam Kenneth.

“Apakah menurutmu senjata itu memiliki hubungan dengan Jade?” tanya Robin.

“Entahlah.” Kenneth menggeleng pelan. “Tapi orang-orang itu menyebutnya Jade Amora.” Lanjutnya.

Ketiga pemuda itu sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Tidak yakin dengan situasi yang mereka hadapi saat ini. Namun juga tidak bisa berdiam saja tanpa mengambil tindakan.

“Entahlah, apapun itu sekarang kita harus pergi ke Delvish,” cetus Robin setelah ketiga terdiam selama beberapa saat.

George mengangguk setuju dan memandang Kenneth. Pemuda itu telah memasang tampang dinginnya dan menatap tajam pada Robin. Satu hal yang dilupakan oleh Robin, Kenneth tidak suka situasi yang tidak terduga seperti ini. Kemungkinan besar Robin akan segera mendapatkan ceramah segera setelah masalah ini usai.

“Harusnya hal ini tidak akan terjadi jika kita memiliki pengawas yang lebih disiplin.” Gumam Kenneth.

“Rakyat Delvish adalah prioritas kita saat ini,” ucap George mengingatkan Kenneth. “Jaga markas. Jangan sampai kami tiba dan menemukan Markas ini hancur dibawah pengawasanmu.” Tambah George. Dia menepuk pelan bahu Robin yang mulai bergetar ketakutan karena tatapan tajam Kenneth.

Kenneth tidak berkata apapun tapi bergegas menuju kudanya yang telah di siapkan tepat didepan gerbang utama kastil. Pemuda itu segera menaiki kudanya diikuti seluruh pasukan dibelakangnya. Mengenakan penutup wajah mereka dan menarik tali kekang kudanya.

Hari ini dia harus mengenyahkan kegelapan yang ada di Delvish atau Delvish yang akan sirna didalam kegelapan itu.

“Berangkat!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status